Sebelumnya...
Aneh sekali, ketika Gumara memasuki rumah Tarikh, wanita yang tak sadar dan muntah darah itu berteriak, bagai mengenalnya “Peto Alam, tolong hentikan muntahku”. Gumara heran, dan tak tahu menahu bagaimana caranya. Sebab dia bukan dukun. Dia cuma memekap mulut wanita itu. Lalu wanita itu menggelepar. Tetapi kemudian setelah Gumara melihat wanita itu sudah sadarkan diri, pekapan telapak tangannya pada mulut Bu Tarikh dilepasnya.
Darah tak keluar lagi. Bu Tarikh lalu duduk bersimpuh. Dia melihat Gumara berdiri, tapi dijambanya kaki lelaki muda itu, seraya bersembah; “Ampuni kesalahan saya. Hampir saja saya mati konyol, Peto Alam”.
Semua yang menyaksikan kejadian itu tercengang. Mereka bergumam. Tapi Gumara
kemudian berkata; “Tolong buatkan makanan yang lebih enak besok ya Bu Tarikh?”
Pak Tarikh lalu menoleh pada isterinya.Ada bahasa rahasia antara kedua suami isteri
itu, tanpa berkata sepatahpun.
Seperginya Gumara, Pak Tarikh memberitahu pada tetangga-tetangga yang menengok
kejadian seram tadi “Maaf, mungkin kalian semua sudah lelah, dan isteriku pun
lelah”.
Semua tamu pulang. Sepulangnya mereka Pak Tarikh berkata pada isterinya,
“Ternyata kau lebih dulu dari saya”.
“Aku menyesal telah meracuni dia”, kata Bu Tarikh.
“Sekarang tahulah kita, dia bukan sembarang manusia. Jangan-jangan dia memiliki
ilmu Harimau Juga”, kata Pak Tarikh.
Sementara itu Gumara telah tiba di rumah.
Pak Yunus bertanya “Sempat bertemu dengan Lebai Karat?”
“Sempat”, sahut Gumara membuka jacketriya.
“Lalu, besok makanan rantang kita minta pada orang lain?”
“Jangan. Itu akan menyinggung perasaan. Tetap saja minta makanan rantang dari Bu
Tarikh”.
Yunus melongo sesaat, lalu dia pamitan.
Dan Gumara kemudian menggeletak di balai-balai. Kedua telapak tangannya dijadikan bantalan. Ketika itu dia seakan berbicara dengan dirinya sendiri “Aku datang ke Kumayan ini untuk kebaikan. Kenapa aku disambut dengan kejahatan berturut-turut”.
Dan pagi harinya Gumara kaget sekali mendengar suara ketukan pintu yang agak
keras. Ketika dia buka, dilihatnya Pita Loka yang cantik sudah berdiri di depan pintu.
Gadis itu bertanya “Pagi ini Bapak tidak mengajar?”
“Pagi ini tidak”, ujar Gumara.
“Jam berapa Bapak mengajar?”
“Jam sepuluh”.
Dan barusan saja Pita Loka akan pamit, muncul pula Harwati. Harwati menyapa Pita
Loka. lalu dia bertanya pada Gumara; “Berhasilkah pak Guru tadi malam?”
“Berhasil. Tapi aku bukan dukun. Aku hanya menuruti perintah Ayahmu saja, Wati”.
Ucapan itu menjadi tanda tanya bagi Pita Loka, yang masih sempat mendengar seraya
keluar dari pekarangan. Maka ditunggunya Harwati di pekarangan. Tetapi sampai
dekat lonceng masuk kelas pelajaran pertama berbunyi, Pita Loka belum melihat
Harwati muncul. Perasaan cemburunya pun berkobar.
Dan rupanya, persaingan antara Harwati dan Pita Loka tidak dapat dirahasiakan lagi. Bahkan hal ini sampai ke telinga Ki Putih Kelabu, ayah Pita Loka. Ayah yang bijak itu memanggil Pita Loka ketika gadis ini pulang dari sekolah.
“Saya gembira dan karena itu ingin bicara denganmu, nak”, ujar sang Ayah.
“Gembira karena apa, Ayah? Dan bicara tentang apa?” tanya Pita Loka.
“Saya gembira karena mendengar kau jatuh hati pada Guru Gumara”.
“Hmmm”.
“Dan saya ingin bicara tentang itu, nak.”
Sang Ayah memilin-milin Jenggotnya. Dia sebenarnya gemetaran. Tapi dia
memaksakan diri juga untuk berkata “Segembira-gembira seorang ayah, tetapi jika
ada sesuatu yang kurang wajar, perlu dikatakan juga, Pita Loka”
“Katakan saja. Jangan bicara bertele-tele”, kata Pita Loka.
“Kau . . . akan sia-sia, Pita Loka!”
“Saya akan berhasil. Berhasil menyantol Pak Guru Gumara”, ujar gadis itu dengan
nada ketus.
“Nanti kau akan kecewa”, kata Ki Putih Kelabu.
“Dari sudut apa ayah berkesimpulan begitu?”
“Dari sudut ilmuku, tentu”.
“Ilmu ayah itu tidak rasional. Tapi alasan saya pasti masuk akal. Pak Gumara akan
terpikat pada saya, sebab saya menyenangi ilmu Matematika. Dan dia selalu kagum jika ada soal saya cepat menjawabnya”.
“Itu sajakah alasanmu?” tanya Ki Putih Kelabu.
“Alasan lain adalah karena saya lebih cantik dari Harwati. Semua teman bilang
begitu”.
“Tapi saya tetap gembira, karena kamu selalu punya keyakinan teguh berdasarkan
otak encermu itu. Namun ada kenyataan lain yang tidak dapat kau bantah. Tahukah
kau, sejak dia berada di Kumayan ini tidak seorang pun guru-guru yang dia datangi
rumahnya, kecuali Ki Lebai Karat?
Dia guru besar, memang itu wajar. Tapi aku tahu, Harwati lebih gesit mengajak
Gumara ke rumahnya dengan alasan berhubungan dengan ayahnya. Dalam matematika kamu memang hebat, tapi dalam hal siasat Harwati lebih hebat”, Pita Loka hanya tersenyum sinis. Lalu berkata gagah “Saya tidak sudi numpang bercinta dengan nama besar ayahku. Harwati menumpang dengan nama besar Ki Lebai Karat.
Saya ingin berjuang sendirian, tanpa bantuan. Tapi Harwati juga berjuang mau
merebut Gumara dengan bantuan ayah”,
“Dan dia akan menang”, ujar Ki Putih Kelabu.
“Huh! Pak Guru tidak pernah kagum pada seseorang yang nebeng dengan kebesaran
ayahnya. Dia kagum padaku, aku yakini itu!” ujar Pita Loka tandas. Hal ini membuat
Ki Putih Kelabu penasaran. Tengah malam dia duduk bersila menyatukan konsentrasi.
Lalu dia menjelma menjadi seekor harimau. Dan dia menyelinap keluar rumah secara
rahasia. Keluar masuk kebun jeruk dan kebun pisang, di tengah malam itu Ki Putih
Kelabu sampai juga ke pekarangan rumah Gumara.
Gumara sedang tidur pulas, Tapi kepulasannya terganggu oleh suatu bau yang amis.
Bau bangkai! Dia menyelidiki keadaan sekeliling.
Lalu dia membuka pintu.
Gumara tersentak sejenak begitu melihat seekor harimau bersimpuh tepat di depan
tangga rumahnya ia tahu, itu bukan harimau sejati, tapi harimau jadi-jadian. Dan ia
yakin, ini salah seekor dari harimau-harimau Kumayan yang sakti. Ia berkata pada
harimau itu dalam bahasa manusia “Silahkan bertamu, tuan. Tapi jika tuan memasuki
rumahku ini, harap tuan menjelma jadi manusia biasa saja”. Gumara sengaja
meninggalkan pintu masuk ke dalam, lalu dia duduk menanti. Lalu kedengaran pintu
berciut. Gumara mendongak menatap, Tampak olehnya lelaki tua berjenggot dan Gumara amat kagum melihat kebersihan wajah lelaki tua itu. “Anda belum mengenal siapa saya”, ujar Ki Putih Kelabu.
“Saya mengenal tuan, Bukankah tuan adalah Ki Putih Kelabu, ayah Pita Loka yang
pintar matematika?”
“Betul”.
“Tentu ada keperluan penting maka tuan di tengah malam ke sini”.
“Betul. Saya ingin membicarakan sesuatu. Sesuatu yang penting bagi diri saya,
keluarga saya maupun keturunan saya”, ujar Ki Putih Kelabu.
“Saya kira ada baiknya tuan bicara terus terang”, kata Gumara.
“Baiklah. Kami dari keturunan baik-baik dan karena itu ingin menjalin darah dengan
keturunan yang baik pula. Maksud saya, sebelum didahului orang lain, ada baiknya saya mendahului. Secara ringkas, saya ingin agar nak Gumara Peto Alam segera saja bertunangan dengan anak saya Pita Loka. Saya kuatir, saya memiliki saingan berat,
puteri Ki Lebai Karat yang konon menaruh hati pada anda”.
Gumara mencoba tersenyum. Kendati senyumnya pahit. Dan kepahitan senyum itu
dirasakan oleh Ki Putih Kelabu. Orangtua itu mulai merasa tak enak badan. Dia
menjadi rikuh. Apalagi Gumara hanya berdiam diri saja.
Ki Putih Kelabu mencoba menatap mata Gumara. Dia mencoba mengukur sampai di
mana ilmu ghaib yang dimiliki Gumara.
Dan dengan memberanikan diri, Ki Putih Kelabu bertanya “Anda menolak?”
Gumara hanya berdiam diri. Dia mencoba tersenyum lagi. Tapi pahit lagi! Dan Ki
Putih Kelabu seketika menjadi malu. Dia bertanya dengan menahan malu “Jadi anda telah ada pilihan?”
“Belum!”
“Anda jangan berdustal”
“Jangan marah, pak. Kita baik-baik saja. Saya tidak berdusta, dan saya memang
belum ada pilihan”, kata Gumara, tenang.
Bersambung...