Sebelumnya...
Beberapa cewek bertepuk tangan atas analisa Dina. Rika sediri pun terecengang. Memang penduduk Kumayan telah diwarisi sikap budaya yang merupakan paduan tehnologi dan cara berfikir maju bersamaan dengan tradisi kuno yang dipelihara, termasuk ilmu-ilmu ghaib. Remajanya paling suka menganalisa sesuatu secara rasional, namun tetap pula menghargai yang tradisional tapi yang belum terpecahkan oleh tehnologi dan ilmu mutakhir, seperti ilmu-ilmu ghaib dan soal paranormal.
Rika lalu berdebat; “Aku melihat, dan mendengar sendiri, bahwa Harwati menaruh
cinta pertama lewat pandangan pertama pada Pak Gumara”.
“Lalu kamu bikin kesimpulan Harwati bisa menarik simpati?”
Dina mendebat, dan melanjutkan debatnya “Lalu dengan demikian kamu beranggapan
bahwa Harwati dengan mudah bisa mencantol Pak Gumara?”
“Hai, aku koq jadi bahan gunjingan?” mendadak muncul saja Harwati ke kelompok
itu bersama Pita Loka.
“Kurasa akulah yang bisa mencantol Pak Guru”, ujar Pita Loka. Ucapan Pita Loka ini mengagetkan Harwati. Telinganya merah padam seakan disengat kala. Harwati
melirik pada Pita Loka dan berkata “Kamu memang yang tercantik, Pita Loka. Tetapi
dalam soal cantol menyantol itu ada faktor nasib”.
“Wah Nasib? Apa itu ada rumusnya?” tanya Pita Loka.
“Rumusnya di tangan Tuhan”, jawab Harwati.
“Jawabmu itu tidak ilmiah”, kata Pita Loka.
“Tapi cantol menyantol dan sejenisnya yang bernama cinta itu “kanmasuk dalam
klasifikasi jodoh”, ucap Harwati.
“Jadi kamu akan memojokkan saya, yang pada akhirnya tiba kita pada dogma, bahwa
jodoh, langkah, rejeki dan maut ada di tangan Tuhan?” debat Pita Loka.
Dina dan Rika memperhatikan dengan tekun perdebatan itu, terlebih murid lain yang ber-IQ rendah. Tampaknya Harwati terdesak, lalu berkata “Di atas kertas memang
kamu yang paling mendapat simpati Pak Guru. Karena kamu Jagoan matematika.
Karena kamu cantik. Karena kamu puteri Tuan Guru Terpandang, Putih Kelabu yang
bijak bestari. Tetapi dari fihakku sudah terekam sejarah, Yaitu kepada siapa pertama
kali Pak Guru menghadap manusia di Kumayan ini. Ya, semua tahu dia menghadap Ki Karat, kendati dia dijuluki Harimau Komersil dari yang iri hati. Bukankah kau sendiri ketika kita bertengkar dulu menyebutku dengan ejekan Puteri Harimau Komersil? Ingat?”
“Wah, sorry. Ini bukan debat sehat lagi. Unsur emosi sudah terlibat. Jadi saya mundur dari pembicaraan”, kata Pita Loka lalu meninggalkan teman-teman gadis sebaya,
masuk ke dalam kelas.
“Aku pendukungmu”, ujar Rika memegang bahu Harwati,
“Dan aku pendukung Pita Loka”, kata Dina.
“Wajar, karena di kelasmu engkau juara matematika juga”, tuding Harwati dengan
tertawa renyai.
Setelah itu kelompok itu membubarkan diri sebab lonceng masuk kelas sudah
berbunyi. Tetapi di dalam kelas, Harwati tampak begitu gelisah. Seakan hatinya tak
sabaran lagi menanti Pak Gumara masuk mengajar di kelasnya.
Gumara memasuki kelas Harwati dengan senyum yang lega. Tentu hal ini membuat
Harwati senang, Tetapi dia benar-benar merasa risau karena sudah pasti Pak Gumara
terkena racun.
Kebetulan Pak Gumara memberikan soalan matematika yang musti diselesaikan
dalam kelas. Jadi Pak Gumara harus berkeliling dari bangku-kebangku. Untuk
memperhatikan apa yang diperbuat setiap murid. Pada giliran Pak Gumara sampai ke
bangku Harwati, Harwati bertanya “Apa setelah maghrib Bapak ada waktu ke mmah saya?” Gumara agak kaget. Dia bertanya “Untuk keperluan apa?”
“Ya, siapa tahu ada yang dapat Bapak bicarakan dengan Ayahku”, ujar Harwati.
Gumara segera faham. Harwati adalah puteri Lebai Karat, seorang guru yang disegani
di Kumayan.
“Saya rasa, saya memang perlu datang”, ujar Gumara.
“Terimakasih, Pak”, ujar gadis itu.
Gumara pulang dari mengajar dengan pikiran tenang, Ketika Yunus tiba membawa
makanan rantang, Gumara bertanya; “Pak Yunus. Saya ingin bertanya. Sebagai
penduduk baru di Kumayan ini, apa kedatangan saya melukai hati Pak Tarikh?”
“Melukai hati?” tanya Pak Yunus heran.
“Lebih baik Pak Yunus tidak menyembunyikan sesuatu. Tiap Pak Yunus membawa
makanan ke sini, apakah Bapak tak pernah curiga?”
“Curiga bagaimana?” tanya Yunus.
“Bahwa makanan itu berisi racun?” tanya Gumara.
Mata Gumara dengan tajam menatap pada Pak Yunus.
“Anda mungkin belum mengenal saya”, ujar Gumara.
“Jangan tuduh saya menjadi perantara si pemberi racun. Saya cuma membawa makanan rantang. Tapi tak pernah berfikir bahwa makanan yang saya bawa ini diberi racun oleh ibu atau Pak Tarikh”.
“Tadi siang saya muntah darah di depan kelas”, ujar Gumara.
Yunus terdiam, tapi dia ketakutan.
“Kalau begitu sebaiknya masakan yang saya bawa ini jangan Pak Guru makan lagi”,
kata Yunus,“Wah, itu tindakan tidak terpuji”, Ujar Gumara.
“Daripada anda mati terkena racun? Bukankah itu perbuatan tolol ?”
“Biarkan makanan rantang ini dikirimi terus. Tapi ... “, Gumara mengambil rantang demi rantang. Lalu dia berkata “Mari ikuti saya!”
Pak Yunus mengikuti Gumara menuju kamar mandi. Dan dia terpelongo ketika
Gumara membuang makanan itu. Terlebih kaget lagi ketika Gumara didengarnya berkata geram “Makanan dari setan, sebaiknya untuk setan”.
Lalu makanan yang sudah ditumpah ke lantai kamar mandi itu disiram Gumara “Siapa
yang belum kenal siapa Gumara Peto Alam mestilah menganggap dia leceh. Tapi aku
pernah digelari ibuku sipahit lidah ”.
Dengan meludahi bekas-bekas makanan itu, Gumara berkata geram; “Kembali pada
yang mengirimkan”
Ia meludah lagi “Semoga pahit terus lidahku!”
Ucapan Gumara bagaikan angin taufan yang dapat merubuhkan raksasa dalam sedetik. Pada detik itu pula, Bu Tarikh jatuh terpeleset di kamar mandi. Dia bagaikan orang kemasukan. Dia menggelepar. Pak Tarikh datang. Lalu menggotong isterinya masuk ke kamar tidur.
Wanita itu mengigau “Aku melihat raja harimau ketika masuk kamar mandi!”
“Ha?” Tarikh melotot
“Raja Harimau!” teriak bu Tarikh.
“Tentu kamu lagi diteluh oleh si Lebai Karat!”
“Bukan! Bukan Lebai Karat!”
“Siapa? Lading Ganda?” desak Tarikh.
“Harimau yang tidak kukenal di sini. Harimau perkasa!”
Pak Tarikh mencoba memikirkan sesuatu.
Tiba-tiba dia melotot melihat isterinya muntah darah.
Lelaki itu serentak berteriak “Kau muntah darah! Kau diracun orang!”
Wanita itu menangis terus, dan menggugu-gugu. Lalu dalam keadaan tak sadarkan
diri dia berkata “Tolong panggilkan Guru Peto Alam”.
“Siapa itu? Siapa Guru Peto Alam?” tanya Pak Tarikh.
“Yang mengajar matematika, guru baru!”
“Gumara?” tanya Tarikh lebih tercengang.
“Cepat panggilkan sebelum aku mati. Dialah harimau raksasa itu! Cepat, cepat,
cepattttt!”,
Darah kental terus meleleh, sementara Pak Tarikh dengan naik sepeda cepat menuju
rumah Gumara. Ia cuma menemukan Pak Yunus yang berada di rumah itu.
“Dia sedang pergi”, kata Yunus.
“Kemana?”
“Entah”.
Pak Tarikh jadi kebingungan.
Ki Lebai Karat menatap tajam pada mata Gumara “Anda sebaiknya segera pulang.
Aku tahu, ada seseorang yang membutuhkan kau, Peto Alam.
“Membutuhkan saya, Pak?”
“Ya. Dia dalam keadaan sekarat”.
“Siapa dia?” tanya Gumara heran.
“Seorang wanita”.
“Wanita?”
“Jika kau tidak segera menemuinya, dia akan mati”, ujar Ki Karat.
Gumara tenang bertanya “Katakan pada saya nama wanita itu !”
“Kau tau”.
“Tidak, Pak. Demi Tuhan saya tak kenal”.
Ki Lebai Karat hanya tersenyum ramah. Lalu dibelainya kepala Gumara seraya
berkata; “Peto Alam. Kau cepat saja meninggalkan tempat ini, Isteri si Tarikh sedang
sekarat membutuhkan kau. Kukatakan untuk kedua kalinya, jika kau tak segera menolongnya, dia mati. Nanti kau berdosa, nak!”
Harwati berada di pintu, berusaha mencegat Gumara sewaktu Gumara akan keluar.
Tapi tak sempat dia mengucapkan sepotong katapun. Malah dia ternganga melihat
Gumara meloncat dan berlari secepat kilat bagaikan angin limbubu!
Dan bagaikan angin limbubu sepertinya Gumara menerjang pohon-pohon kecil yang
berpatahan. Konsentrasi Gumara yang hebat telah mengalahkan seluruh jurang kecil maupun sungai kecil yang dia lompati, demi tertolongnya nyawa Bu Tarikh.
Bersambung...