Sebelumnya...
Yang agak aneh pada perasaan Gumara ketika itu adalah kopiah yang dikenakan orangtua itu. Warnanya mengingatkan kemungkinan itu. Kopiah itu berwama putih dan berwama kelabu, Jangan-jangan, dialah Tuan Guru Putih Kelabu. Setiba di rumah, Gumara masih mencoba mengingat kopiah orangtua tadi. Dan secara tiba-tiba saja terjadi kejutan.
Pintu terdengar diketuk. Gumara tenang dan membuka pintu. Terdengar salam dan
dilihatnya ada orang membungkukkan tubuh begitu hormatnya “Maafkan saya tadi
jika kurang sopan meminta api rokok, Tuan Gumara”.
“Bapak tentu Tuan Guru Putih Kelabu”, ujar Gumara seraya mempersilahkan masuk.
“Benar”, sahut orangtua itu melangkah sopan.
“Tapi begitu secepat kilat secara mendadak Bapak sudah di sini.
Dengan kendaraan apa Bapak ke sini?” tanya Gumara masih heran.
“Katakanlah dengan angin”, ujar sang Guru.
Gumara bukan orangnya yang sok merahasiakan rasa terkajut. Nafasnya terhempas
dan bibirnya menanya “Berkendaraan angin Pak Guru ke sini? Wah, ilmu anda amat
tinggi sekali?”
“Anak muda salah, Yang datang menghadap sebetulnya ilmunya rendah. Saya
mendatangi anda, itu berarti ilmu andalah yang tinggi!”
“Ha? Ilmu saya? Saya cuma Guru Ilmu Matematika, Tuan Guru!”
“Itu bukti ilmu anda tinggi. Anda merendah sampai ke bawah bumi, sehingga saya tak dapat mengenali anda. Tapi agar saya jangan merasa terjerumus mengagumi anda,
saya nyatakan apa maksud saya menemui Guru Gumara sekarang?”
“Silahkan, Tuan Guru”, ujar Gumara amat sopan.
“Begini! Saya dengar tuan menjadi guru di sini. Di sekolah tempat anda mengajar, di situ ada anak perempuan saya. Dia masih gadis mentah. Belum punya kematangan.
Karena anda gurunya disana , saya mohon anda melindungi Pita Loka dari segala
kemungkinan!” Gumara terpelongo beberapa detik.
“Jadi Pita Loka itu puteri Tuan Guru?” tanya Gumara.
“Betul. Dia bandel, jika berkata melukai orang. Jadi ada kemungkinan anakku itu
dijahati orang. Sebelum hal itu terjadi, mohon perlindungan anda, Tuan Guru
Gumara”. Begitu santun dan hormatnya orangtua itu, sampai Gumara terlena di
ambang pintu sewaktu melepasnya. Tapi terlena itu mendadak berubah menjadi
terpelongo ketika orangtua itu dalam sekejap mata hilang berbentuk asap putih kelabu
Secepat angin beliung.
Dan sewaktu mengajar di depan kelas, Gumara lebih dahulu bertanya “Siapa di antara kalian di kelas ini yang paling gemar pada matematika?”
“Wah, itu pertanyaan bohong”, kata seorang murid.
Dan waktu Gumara melihat murid itu, temyata suara jelas itu dari Pita Loka.
“Kamu yang bernama Pita Loka?” tanya Gumara,
“Sudah gaharu cendana pula, sudah tahu bertanya pula”, jawab murid itu.
Memang mulutnya culas dan judes. Gumara hanya tersenyum. Lalu dia mencatat
nama murid-murid yang menjadikan pelajaran matematika sebagai mata pelajaran
favorit.
Tapi Pita Loka tidak mengacukan telunjuknya.
Sekedar menguji sejauh mana kemampuan murid di sini terhadap mata pelajaran
matematika, Gumara membuatlima soal di papan tulis.
“Wuwwww”, gerutu murid sekelas.
Gumara membalik pada mereka, bertanya “Kenapa berteriak wuuu?”
“Guru baru jangan kejam, Pak!”
“Lho, koq saya dibilang kejam?” Gumara bertanya tertawa.
“Soalnyalima , sulit-sulit lagi”, ujar Pita Loka.
“Buat yang pandai tidak ada yang sulit”.
“Buat yang bodoh seperti saya, tentu itu sulit, Pak”, ujar Pita Loka.
Gumara tertawa menyengir sejenak, lalu tidak dilayaninya lagi ocehan murid itu.
Ketika semua murid menyerahkan jawaban soal, hanya Pita Loka yang menyerahkan
kertas tanpa jawaban soal. Yang ditulis cuma salinan soal dari papan tulis belaka.
Malahan, setelah salinan soal no. 5, Pita Loka menulis kalimat
KARENA GURU LEBIH PANDAI DARI MURID, SEBAIKNYA LIMA SOAL INI
DIJAWAB OLEH PAK GURU SAJA. Pita Loka ...
Gumara ternyata bukan guru sembarangan. Setelah membaca itu, dia peragakan kertas
itu ke hadapan murid-murid itu, disertai tanya “Siapa Pita Loka yang cukup sok ini?”
“Saya, Pak Guru” jawab gadis itu.
“Oh kamu, ya. Saya minta kamu beristirahat di luar kelas saja”, ucap Gumara cukup lembut, tapi tegas.
Seketika kelas pun hening. Wajah Pita Loka merah padam karena dlanggapnya
dirinya dipermalukan guru baru itu. Tapi dia pun cukup tabah, Dia merentak berdiri,
lalu melangkah dengan masgul meninggalkan kelas. Seperginya, Gumara berkata
penuh wibawa “Harap kamu ketahui, setiap pekerjaan bersama, butuh pimpinan.
Begitupun belajar, adalah pekerjaan bersama. Guru, dalam hal ini saya, jadi pimpinan.
Jadi setiap yang menciptakan hilangnya wibawa dalam satu pekerjaan bersama,
dianggap melanggar konsensus, dan dia berhak menerima perintah agar minggir. Jelas
oleh kalian?”
Murid-murid semuanya terdiam.
Murid-murid kelas yang terdiam itu mendadak menjerit. Karena mereka melihat Pak
Guru Gumara muntah. Lalu bergumpal darah pun turut dimuntahnya.
“Pak Guru muntah darah!” teriak di antara mereka. Pita Loka mendengar juga suara
itu. Lalu dia menjenguk ke dalam. Bahkan dia juga mendengar suara sumbang dalam
kelasnya “Wah, Pak Guru dikerjain oleh Pita Loka”. Mendadak saja suara gumam
dugaan itu terhenti karena terdengar bentakan seorang gadis yang baru masuk ke kelas
itu, dari kelas lain “Kalian jangan menyebar fitnah!”
“Hai, Harwati!” seru Pita Loka yang meloncat masuk kelas.
Pak Guru Gumara masih mengurut dadanya yang dirasanya terbakar, untuk mengurangi darah yang meleleh dari bibirnya.
“Saya jadi terkena fitnah, Wati”, kata Pita Loka. Tetapi Harwati rupanya tidak
menjawab. Dia sedang berkonsentrasi dengan menyerap saringan napas, Tiap serapan
yang dilakukannya, Gumara merasa napasnya teratur. Dan panas yang membakar dada berkurang. Harwati terus bagai orang bersemedi dengan kedua tangan bersilang
di dada.
Rupanya Harwati membuat bejana abstrak antara pernapasan Gumara dengan
pernapasannya. Lalu, puncaknya yang menegangkan semua orang, adalah sikap
Harwati yang tenang meniupkan napasnya keluar mulut. Terciptalah pemandangan
aneh mengagumkan. Dari mulutnya keluarlah gelembung-gelembung merah jambu
bagai gelembung sabun. Tiap gelembung itu menabrak dinding dan pecah disana ,
tampaklah bercik merah muda itu menjadi semacam percikan darah.
Pada puncak yang paling menegangkan, ketika Harwati menghembuskan gelembung
terakhir, bukan gelembung lagi yang terlempar dari mulutnya. Melainkan segumpal
darah beku.
Baru setelah itu dia berkata; “Tolong berikan padaku segelas air putih”. Beberapa
murid bersibuk diri mendapatkan segelas air putih dari warung depan sekotah. Lalu
Harwati berkumur-kumur dengan air itu. Setelah itu barulah ada gema pembicaraan
dari murid ke murid, guru ke guru, dan juga Kepala Sekolah.
Pita Loka terkagum-kagum, lalu duduk di bangkunya, Gumara berkata pada Wati,
“Terimakasih atas bantuanmu, Dadaku kini lapang”.
Betapa gembira hati Harwati oleh ucapan itu. Wajahnya tak dapat menyembunyikan
rasa bangga dan bahagia. Matanya melirik pada Pak Guru Gumara dengan lirikan
getaranasmara , Lalu
“Kembalilah kamu ke kelasmu”, ujar Gumara.
Harwati kembali ke kelasnya. Gumara kembali berdiri menghadapi muridnya. Dia
menatap pada Pita Loka. Kelas tegang sejenak, begitu pun Pita Loka.
“Bapak curiga pada saya?” Pita Loka bertanya dengan nada cemas.
“Kamu begitu manis, tak mungkin melakukan hal yang kecil”, jawab Gumara.
Mendengar itu Pita Loka tersenyum ceria . Dia mengacukan telunjuk. Gumara heran.
Bertanya “Mau apa kamu, Pita Loka?” tanya sang guru,
“Saya mohon dapat menjawablima soal Bapak di papan tulis”, ujar Pita Loka.
Gumara tercengang. Dia melihat ke papan tulis di mana terteralima soal yang
dibuatnya untuk seluruh murid, tapi yang tak dikerjakan Pita Loka.
“Silahkan ke depan”, ujar Gumara.
Pita Loka mengambil sebatang kapur tulis. Dengan cepat dikerjakan satu demi satu
soal matematika itu. Seluruhnya diselesaikannya dalamlima menit saja, Gumara
tercengang dan berseru “Wah, kamu anak genius!”
“Semua soal betul jawabannya”, tambah sang guru dengan nada kagum. Mendengar
pujian itu, Pita Loka kelihatan berbinar-binar matanya. Dan dengan malu-malu dia
berkata bernada renyai, “Tapi sepandai-pandai saya, tentu lebih pandai Pak Guru”.
“Ayahmu Tuan Guru Putih Kelabu, ya?” tanya Gumara.
“Koq Bapak tahu?” tanya Pita Loka senang.
“Saya tahu”, ujar sang guru.
Murid yang cantik itu tampak senang sembari memperbaiki bagian depan rambutnya.
Karena diperhatikan seluruh biji mata di kelas, gadis inipun jadi salah tingkah. Lalu dia berkata “Maafkan kesalahan saya tadi sampai saya diusir. Tapi Pak. karena
kebetulan Bapak saya Ki Putih Kelabu, harap Bapak dan teman-teman sokelas ini
jangan lagi mencurigai bahwa muntah darah Bapak tadi karena perbuatan saya. Saya
memang berilmu. Tapi ilmu matematika. Ilmu akal. Bukan ilmu akal-akalan”.
“Percayalah, Bapak dan teman-temanmu tak mencurigaimu, Pita Loka dan
selanjutnya marilah kita lanjutkan pelajaran dengan rumus baru”, ujar Gumara.
Lalu ketika jam istirahat tiba, muncullah pembicaraan di emper-emper sekolah itu
pertaruhan dan spekulasi.
“Aku bertaruh, Pita Loka yang nantinya jadi isteri Pak Gumara”, ujar seorang gadis.
“O, tak mungkin. Harwati yang akan jadi tunangannya”.
“Apa alasanmu, Rika?”
“Alasanku berdasarkan budi baik. OrangIndonesia itu, betapapun tinggi derajat atau kesombongannya, masih bertolak pada budi baik. Dan orangIndonesia termasuk
penduduk bumi yang suka membalas budi. Bukankah ketika Pak Gumara muntah darah, yang menolongnya sembuh adalah Harwati? Tentu Pak Gumara suatu saat akan membalas budi itu, dan yang terkekal adalah melamarnya?”
Setelah Rika menjelaskan alasannya, temannya Dina menangkis pula “Tapi taruhlah
Pak Gumara ingin membalas budi. Apakah harus selalu dengan Cinta?”
“Pembalasan budi yang terbaik adalah memilih balasan yang terbaik dari semua yang baik. Yang terbaik balasannya adalah jalinan kasih melalui cinta”, ujar Rika.
“Tapi Pak Gumara tampaknya jenis lelaki yang berbeda”, kata Dina.
“Berbeda bagaimana?” tanya Rika.
“Istimewa. Kulihat dia tidak begitu kagum dengan pengobatan Harwati. Reaksi
wajahnya wajar-wajar saja. Tetapi ketika dilihatnya Pita Loka menyelesaikanlima soal
dalamlima menit saja, wajah Pak Gumara bersinar berbinar-binar. Kagum dan
tercengang. Ini bisa membuat bibitasmara ”.
Bersambung...