Sebelumnya...
Sepeda itu terpaksa dituntun oleh Gumara. Tentu saja, mendorong sepeda yang kedua-dua bannya kempis, buat seorang guru baru, memalukan. Apa lagi dia tak tahu di mana tempat tukang tambal ban. Tapi Gumara punya cukup peralatan yang dibawanya ke Kumayan ini, bahkan sampai jarum pentul sekalipun. Dia berniat akan menambal ban itu sendiri di rumah.
Memang kadangkala dia menjadi orang aneh dengan menuntun sepeda begitu. Namun
dia berharap, orang yang menontonnya itu bukan karena mau menonton guru baru
yang menuntun sepeda, melainkan hanya ingin mengenal seorang penduduk baru saja.
Tapi menjelang dia berbelok ke gang rumahnya, dia disapa seseorang. Orang itu
memakai dastar, berkain sarung dililit ke leher, berpakaian hitam-hitam, bersandal
jepit terbuat dari kulit Kayaknya orang ini pendekar silat Sapa orang ini cukup ramah
“Dua ban kempes ya guru muda?”
“Betul”, sahut Gumara.
“Mampir ke rumah saya, guru!”
“Terimakasih”.
“Kalau begitu ke ladang saya!”
“Lain kali saja, Pak”.
Orang itu ramah memperkenalkan dirinya “Saya Ki Limbubu”.
“Saya Gumara”.
“Saya sudah tahu. Tapi memang aneh dua ban kempes sekaligus. Apa anda melindas
tumpukan beling?” tanya Ki Limbubu.
“Tidak”, sahut Gumara, “Dua-dua ban ini kempis dalam jarak semenit sebelum saya
naiki”.
“Kalau begitu kempisnya bukan karena paku atau beling kaca. Ini tentunya
dikempiskan oleh kuku-kuku yang tajam”, ujar Ki Limbubu.
Gumara tak paham kata-kata itu. Atau dia kurang perhatian karena merasa perut lapar, Apalagi dia tak enak jika Pak Yunus yang mengantarkan makanan rantangan harus
menunggu lama di depan rumahnya. Maka dia pun mengangguk hormat pertanda
pamitan.
Maka, ketika dia tiba di pekarangan, dia pun menyatakan maaf pada Pak Yunus. Lalu dia tak lupa menceritakan bertemu Ki Limbubu.
“Dia juga manusia harimau”, kata Pak Yunus.
“Oh ya”, Gumara agak heran, lalu “Pantas dia mengambil istilah kuku ketika dia
mencurigai penyebab kempisnya ban sepeda saya”.
“Di sini kita tak boleh melukai hati seseorang”, kata Pak Yunus. Ucapan ini membuat Gumara tak dapat menghabiskan makanan rantangnya. Kini dia tatap lagi rantang
yang masih ada isi itu. Melintas perasaan ganjil yang membuatnya me rinding. Yaitu
kenangan pada ucapan Pak Lading Ganda soal peringatan akan diracun.
Lalu Gumara pun ingat pesan ibu, agar di Kumayan menghindari diri daripada makan
di warung. Ah, Gumara pada akhirnya menanakan lagi pesan ibu agar dia selalu
berbaik sangka. Adalah buruk sangka jika menduga makanan rantang itu berisi racun.
Tetapi ketika dia lihat sepedanya yang belum dia tambal itu, Jika betul dugaan Ki Limbubu bahwa kempisnya ban karena torehan kuku, bagaimana mungkin harus terus
berbaik sangka?
Gumara buru-buru menanggalkan ban sepeda itu. Dan memeriksa ban dalamnya.
Tampaknya, melihat koyaknya amat lebar, mungkin saja yang mengoyak ban itu
adalah harimau suruhan lewat kukunya. Tapi, fikir Gumara lagi, daripada dia
berburuk sangka, lebih baik ditambalnya saja ban sepeda itu. Dan dia pun mulai
menambal. Setelah selesai dua-duanya ditambalnya, lalu dipompanya, dia sandarkan
kembali sepeda itu pada tiang lunas rumah. Kemudian dia mencuci pakaian. Dan
senja pun tiba dengan cepat. Menjelang malam, muncul Pak Yunus membawa
rantang. Beliau heran makanan tak dihabisi Gumara.
“Kurang enak masakannya?” tanya Pak Yunus.
“Siapa yang memasak?”
“Isteri Pak Tarikh”, sahut Pak Yunus.
Seketika itu juga darah berdesir di dada Gumara. Namun dengan keberanian dan
keyakinan pada mujizad kata bismillah, Gumara melahap juga makanan rantang
masakan Bu Tarikh. Dia merasa tak diliputi firasat buruk. Tetapi pada hari kelima ,
bukan saja firasat buruk yang dirasakan Gumara sehabis makan malam. Gumara
muntah. Dan gumpalan-gumpalan darah segar berhamburan dari mulutnya. Bahkan
dadanya sesak. Ketika itu Gumara harus memutuskan, apakah dia mesti ke Puskesmas
ataukah mendatangi Pak Lading Ganda. Gumara tak ingin pula berburuk sangka. Dia
cepat naik sepeda menuju Puskesmas. Dia mendapat suntikan. Dan darah pun terhenti
keluar dari mulutnya.
“Jangan menduga anda diracun orang, Pak Guru”, ujar dokter muda Kadir.
“Saya ke sini adalah bukti saya tak curiga. Kalau tidak, saya tentu ke dukun”, kata Gumara.
“Namun, kemungkinan anda diracun orang iseng pun ada”, ujar dr. Kadir.
Mendengar ucapan dr. Kadir itu pun wajah Gumara tidak berubah. Seolah-olah dia
memang tidak diracun seseorang pun. Lalu dia pamitan pada Dokter muda itu seraya
berkata “Terimakasih, dokter. Anda muda, saya pun muda. Anda bertugas di sini
berbakti untuk Peri Kemanusiaan. Saya pun mengajar di Kumayan ini atas keikhlasan
yang bertolak dari dasar Peri kemanusiaan jua. Tapi, sebelum saya pamit saya ingin
bertanya, apakah anda bertugas di sini sudah cukup lama?”
“Cukupanlah. Tiga tahun persis di bulan depan”.
“Pernahkah Anda diracun orang di sini?”
“Ya, pernah sekali”
“Lalu apa cara Anda mengatasi, dr, Kadir?”
“Saya terpaksa berguru”, ujar dr. Kadir.
“Siapa guru anda?”
“Tuan Putih Kelabu”, ucap sang dokter agak gugup.
“O, dia. Dia termasuk Tujuh Manusia Harimau di sini, bukan?”
Dokter” muda itu tercengang.
“Pak Guru mengetahuinya?” tanyanya.
“Ya”.
“Tetapi di Kumayan ini, termasuk guru saya Putih Kelabu itu, cuma ada Enam
Harimau”, lalu dokter muda itu bertanya “ dari mana ada keterangan di Kumayan ini
ada Harimau Tujuh? Buktinya, pancuran Pemandian Umum di sini pun cuma Enam
Pancuran”.
Gumara tersenyum lembut, lalu bertanya “Sulitkah untuk belajar pada Sang Guru
Putih Kelabu?”
“Jika anda rajin membaca, kedalaman ilmunya berdasarkan Kitab. Dan dia tidak
pernah mengandalkan kekuatan fisik. Dia lebih cenderung pada dunia obat-obatan”.
Dr. Kadir lalu menambahkan “Murid anda ada yang anak syah Tuan Putih Kalabu jika
saya tak salah duga”.
“Siapa nama murid saya itu?” tanya Gumara ingin tahu.
Tampaknya sang dokter agak berat menyebut nama itu. Dia cuma berkata “Pokoknya
yang tercantik di kelas, yang namanya aneh”.
Dengan segera Gumara dapat Mengingatnya “O, nama itu memang aneh. Pita Loka.
Rambutnya pun bagus. Memang diakah anak kandung Tuan Guru Putih Kelabu?”
“Betul. Tapi maaf jika saya terpaksa menyebutkan, bahwa si Pita Loka Konon
kabarnya sudah ditaksir orang”.
“Ditaksir orang? Maksud pak dokter sudah bertunangan?” tanya Gumara seolah
bernapsu.
“Begitulah menurut pendengaran saya”,”, jawab sang dokter.
“Oh, jika wanita belum bersuami, apalagi belum bertunangan, itu masih berupa bunga di kebun yang jika Tuhan kehendaki dapat saja dipetik. Tapi harap tuan muda ketahui, saya bukanlah type lelaki yang mudah jatuh cinta. Oh, sudah banyak obrolan kita. Jadi sekedar mencegah keracunan, suntikan tadi sudah cukup, bukan?”
“Sudah cukup”, sahut dokter muda itu.
“Terima kasih karena anda menolak pembayaran”, ujar Gumara lalu melambai hormat
dan berlalu menuju rumahnya.
Dan dalam perjalanan pulang ke rumahnya itu, dia dicegat seorang tua di tengah jalan.
“Maaf, Bapak ingin bicara dengan saya?” tanya Gumara sopan, “Saya mau minta
api.”
Gumara buru-buru memberikan korek api gas. Setelah menyulut, sebelum sempat
Gumara orangtua itu berlalu.
Bersambung...