Sebelumnya...
Semua sikap dan ucapannya serba polos. Tapi bagi Lading Ganda justru kepolosan demikian tidak dikehendakinya. Dia merasa, tak pernah ada seseorang yang berani menolak ajakannya. Baru anak muda inilah! Yang pertamakali pula! Jadi, fikir tua, orang begini mesti dicoba.
Sewaktu Gumara bangkit sehabis bersalaman pamitan pada Lading Ganda, sebelum ia
tegak lurus berdiri, sebuah tendagan sapu menyapu pantatnya. Gumara terjungkir di
permukaan batu-batu pualam di ruangan itu. Dia malahan menyerosot meluncur.
Ketika kepalanya hampir membentur dinding, untunglah ada gerak refleks sehingga
bahunyalah yang menghantam dinding. Memang cukup sakit juga.
Gumara belum pernah berkelahi. Dengan siapapun, semenjak kanak. Jadi dia tidak
tahu cara mengelakkan serangan sewaktu dia dengar ucapan Lading Ganda; “Anak
Keparat!” disertai satu tendangan yang hampir mencopot kepalanya andaikan dia tak
menghindari tendangan itu dengan menunduk. Semua kemampuan mengelak itu
bukannya karena dia pandai bersilat Bahkan dia sendiri tercengang sewaktu tubuh Pak
tua melontar ke langit-langit lalu turun cepat mau menginjaknya, namun Gumara
bergulung-gulung menghindari injakan demi injakan yang gagal itu.
Malahan, saking ngeri, akhirnya Gumara lari tunggang langgang meninggalkan
padepokan. Dan malahan dia amat terheran-heran, mengapa dia dapat lari sedemikian
cepatnya seperti derasnya angin limbubu.
Padahal tadi sewaktu mengikuti langkah cepat Pak tua Lading Ganda dia merasa
lelah.
Kini, di depan kantor Kakanwil, Gumara sedikit pun tak merasa lelah. Dia malahan
santai. Masuk menghadap. Segala pembicaraan menjadi lancar. Juga dia merasa amat
lancar sewaktu menghadap Pak Camat memperkenalkan diri, terlebih lagi menghadap
Pak Direktur SMP dan berkenalan dengan semua guru. Yang mencengangkan dia, dia
cukup merasa aman ketika berkenalan dengan pak Tarikh, malahan dipeluk oleh guru
tua itu seperti bapak memeluk anaknya.
“Nanti jam 10.30 giliran saya mengajar, sebaiknya Pak Gumara bersama saya masuk
kelas dan saya perkenalkan dengan murid-murid”, ujar Pak Tarikh. Keramahan Pak
Tarikh ini pun sebenarnya tidak menerbitkan rasa jengkelnya kepada Pak Lading
Ganda. Atau mau menuduhnya si tua pendusta Tidak! Dia cuma mendapatkan kesan
tercengang-cengang saja dari seluruh pengalaman singkat namun bertubi-tubi
semenjak dia memasuki wilayah Kumayan ini.
Maka, ketika sehabis diperkenalkan dan dipersilakan mengajar di Kelas I B itu,
Gumara menganggap dirinya bukan sebagai guru baru di sekolah ini.
“Kalian pernah mendapatkan pelajaran matematika dari Pak Tarikh. Dan saya akan
mengulangi sedikit dari pelajaran dasar, sekedar sebagai ulangan. Dan ini bukan
berarti pelajaran dari saya berbeda dari Pak Tarikh. Maksud saya cuma menjelaskan,
bahwa yang yang saya ulangi adalah semua yang pernah diajarkan Pak Tarikh”, kata
Gumara. Hal itu diucapkannya satelah guru tua tadi keluar kelas.
“Jangan kira saya lebih pandai dari Pak Tarikh. Karena beliau guru senior, lebih tua.
Lebih berpengalaman. Tentulah beliau lebih pandai dari saya. Saya baru
berpengalaman dua tahun mengajar. Itupun sebagai guru bantu. Berhubung Pak
Tarikh memasuki pensiun. saya ditawari ke sini, dan saya mengajar”.
“Pak Guru”, seorang murid lelaki mengacungkan tangan,
“Yah, nama kamu siapa?”
“Dalip, pak. Saya ingin menanyakan apakah betul Pak Guru ditahan polisi kemarin
pagi?”
Gumara hanya tersenyum dan menjawab ramah “Itu persoalan pribadi yang akan
menghabiskan waktu jika dibeberkan dikelas ini. Tapi baiklah saya jawab singkat
Saya ditahan, itu benar. Tapi saya tadi pagi dibebaskan dari tahanan, juga benar
Buktinya sekarang saya mengajar disini”.
Enak memang pengalaman pertama pada siang ini bagi Gumara. Tapi yang tidak
enak, setelah dia diberi sepeda oleh Direktur SMP, masih menuntun sepeda, ada suara
teguran dari arah warung kopi “Pak Guru Gumara!”,
Gumara menoleh ke arah warung.
Bah!Ada seseorang yang nyengir. Melambai padanya. Dan dia adalah Pak Lading
ganda, yang melambai berseru “Mari masuk makan siang bersamaku!”
Ajakan ini sungguh sebuah tantangan. Tak mungkin seorang guru makan di warung
yang memberi kesan inilah warung preman, manusia-manusia koboi. Gumara hanya
menghampir menuntun sepeda, lalu berkata “Maaf, terimakasih”.
Lalu akan dinaikinya sepedanya itu. Tapi terdengar bunyi desis pada ban belakang.
rupanya gembos. Eh, ban depan berdesis juga.
Bersambung...