Sebelumnya...
Sebelum langkahnya berbelok di simpang jalan yang menuju Kantor Kakanwil, terdengar seorang menegur “Nak Gumara”.Gumara menoleh. Kaget sekali dia. Tapi juga senang sekali. Sebab orang yang menegurnya itu adalah seseorang tempat Dia seharusnya berterimakasih. Dialah Pak Lading Ganda.
“Mau ke mana?” tanya Lading Ganda.
“Pagi ini saya harus laporan pada Pak Kakanwil”.
“Mari mampir ke padepokan saya dulu”, ujar Lading Ganda.
Gumara ragu. Lalu Pak tua itu berkata “Jika kau berkeberatan, lain waktu saja”,
“Wah, jika saya berkeberatan, saya jadi manusia tak berbudi, pak”.
“Nah katau begitu silahkan mampir”, ujar si tua itu.
Gumara memindahkan letak map ketangan kiri, Dia mengikuti langkah lelaki tua itu.
Jalan orang tua itu begitu cepat. Jadi Gumara harus mengepit map lebih kuat dan
melangkah lebih cepat.
Tapi...
Jarak ke padepokan pak tua ini tampaknya jauh. Keringat sudah mulai terasa di sekitar ketiak dan krah baju, Namun Gumara harus melangkah lebih cepat lagi, sebab Lading Ganda setiap disusul tampaknya malah mempercepat. Dan karena lelaki tua itu
beberapa meter di depan Gumara, Gumara merasakan ada bau bangkai dari arah
depan.
Ibunya dulu pernah berkata semasa dia kecil, bahwa orang yang memiliki ilmu
penjelmaan harimau memiliki pula bau bangkai, walaupun pada saat-saat tertentu
saja.
Tapi usaha Gumara untuk menyusul pak tua yang bersicepat itu akhirnya berhasil.
Dan ada kesan mengejutkan ketika dia mengikuti masuk pekarangan padepokan itu.
Yaitu satu tubuh melintas di depan Gumara, bagai baru terlempar. Tubuh berbaju
hitam-hitam itu terlempar sungguhan, menerjang rumpun pohon nenas. Dan pohon
nenas itu terbongkar sampal akar-akamya.
“Mereka muridku. Mereka latihan. Jangan kaget”, kata Pak Lading Ganda.
Hanya tiga orang sedang berlatih. Gumara terpaksa mencopot sepatu. ini mengikuti
Pak Lading yang mencopot sandalnya.
“Mari masuk”, ujar Lading Ganda.
Gumara agak ragu, sehingga orangtua tadi mengulangi ajakan masuknya. Lalu
Gumara melewati pendopo latihan itu. Dan masuk lewat pintu tak berdaun itu.
Ada ruangan lebar di dalam. Ditiap sudut ada pot-pot berisi menyan yang dalam
keadaan berasap. Tapi baunya tak menyengat, sebab cukup semerbak bagi hidung
Gumara.
Pak Lading Ganda sudah bersila. Ujarnya; “Silahkan bersila saja di hadapanku”.
Gumara “menaruh map di pahanya ketika bersila. Tapi Pak Lading memungut map itu
seraya berkata “Yang di dalam ini semua tidak begitu penting di bandingkan
persahabatan di antara kita”.
“Tentu, pak”
“Jika kamu ke Kumayan cuma mau menjadi Guru di SMP itu, tentu ada seseorang
yanq berkecil hati”, kata Pak Lading,
“Kenapa begitu, pak?” tanya Gumara.
“Yah.Ada guru tua yang harus kamu gantikan”, kata Pak tua itu.
“Wah soal itu saya kurang tahu. Yang terang saya dibutuhkan mengajarkan ilmu
matematika dan fisika di Kumayan ini”, kata Gumara.
“Hidup ini jangan sampai mengecilkan hati orang lain. Sebelum kamu datang, Pak
Tarikh sudah bersedih hati. Sebab dialah yang akan minggir dan kamu maju sebagai
penggantinya. Nah, sebelum kamu mati konyol diracun si Tarikh, ada baiknya ikuti
nasehatku!”
Gumara, betapapun harus berterimakasih, betapapun harus menghormati Pak Lading
yang berbudi ini, dia merasa harus terlebih dahulu menghormati tugas yang
dibebankan padanya.
“Atau kamu akan bersedia mati diracun?” tanya Pak Lading Ganda.
“Tapi saya belum mengerti maksud Bapak”, kata Gumara.
“Mudah saja. Mari kita bakar saja map ini, yang aku tahu berisisurat perintah tugas mengajar di Kumayan sini, di SMP sini. Kau tahu, aku membutuhkan murid, dan itu
adalah kau. Sebab kau seorang bibit unggul”, kata Lading Ganda. Suaranya berusaha
menekan, mempengaruhi, dan ingin menaklukkan Gumara secara tuntas. Justru cara
beginilah yang tak disukai Gumara, betapapun dia berhutang budi pada lelaki tua ini.
Lalu Gumara berusaha tak menyinggungnya. Yaitu menampilkan sikap tanpa kata.
Yaitu cuma mengambil map itu, seraya berkata “Terima kasih atas ajakan Bapak.
Ajakan itu mulia. Cuma, itu lebih baik lain kali saja”.
Bersambung...