Sebelumnya...
Seharusnya Gumara tak usah sekaget itu. Sampai pagi dia tak tidur. Dia menyesali
diri, mengapa dia setolol dan sepengecut itu. Dia sudah banyak mendengar ciri khas
desa Kumayan ini. Terutama dari ibunya. Sehingga khayal mengenai yang aneh-aneh
tentang desa ini sudah hidup semenjak dia kecil. Karena itu ketika muncul tawaran
mengajar ke desa, dari tujuh desa yang diajukan maka dipilihnyalah desa Kumayan.
Tetapi yang sebenarnya menghendaki dia kesini adalah ibunya. Juga ibunya yang
menyuruh dia menemui Lebai Karat melebihi Pak Camat atau Kakanwil setempat
Seharusnya pagi ini Gumara letih sekali. Tapi karena dia sudah puas memaki-maki
ketololannya semalam, pagi ini dia seperti sadar apa yang mesti dilakukannya.
Gumara segar bugar. Dia berolahraga di kamar tahanan, sehingga mencengangkan
polisi-polisi jaga disana .
Tiba-tiba saja, muncul seseorang yang tidak dia kenal. Orang itu tua, bercakap-cakap
sejenak dengan petugas jaga, lalu menuju ke kamar tahanan. Letaki tua itu bersikap
amat sopan.
Ketika dia mengulurkan tangan menyalami Gumara, dia memperkenalkan dirinya
“Panggil saya Pak Lading Ganda”. Namun genggaman salamannya tidak dia lepaskan
setelah Gumara memperkenalkan nama dirinya.
“Apa maksud Bapak ke sini?” tanya Gumara.
“Tadi kau tidak melihat seseorang yang saya serahkan pada polisi?”
“Siapa dia?” tanya Gumara.
“Pendekar Cacing. Dialah yang membunuh si Tohing. Dia taruh goloknya di
Kelangkan atap rumahmu. Jadi saya ke sini bukan ingin menonjolkan jasa baik saya.
Tetapi hanya memberitahu, bahwa saya telah tangkap pembunuh Tohing yang
sebenarnya. Satu jam lagi paling-paling tuan guru muda akan dibebaskan dari
tahanan”, barulah lelaki tua itumelepaskan salamannya. Gumara hampir tak yakin
akan keterangan ini. Dadanya seakan sesak. Dia tak mengira, bahwa di desa ini masih
ada seseorang yang berbudi baik.
“Siapa nama Bapak? Mau bapak mengulangi?” ujar Gumara.
“Lading Ganda, Mampirlah ke padepokan saya setelah keluar. Nah, selamat atas
kebebasanmu!” ujar Pak tua Lading Ganda.
Rasanya terlalu singkat bagi Gumara pertemuan indah ini. Dia akhimya memang
dipersilahkan keluar dari tahanan dan menerimasurat pembebasan. Cuma, dengan
syarat untuk 15 hari berikutnya dia tidak diperkenankan meninggalkan kecamatan
Kumayan. Kemudian dia mengucapkan Terimakasih pada Letnan Amir, tapi Letnan
Amir ber tanya “Pak Guru tahu lewat jalan mana untuk sampai ke rumah?”
“Saya bisa menanyakannya ke sekolah tempat saya mengajar”, kata Gumara.
Kebetulan di tengah jalan dia sendiri pun sudah jadi perhatian banyak anak sekolah
dan orang-orang. Dia menanyakan rumah Pak .Yunus. Seorang murid mengantarnya
ke SMP. Ah, aku belum mandi. Kepada anak itu Gumara bertanya
“Mau menunjukkan rumah tempat pembunuhan Tohing terjadi?”
“Kenapa kakak dibebaskan?” tanya anak itu.
“Karena aku seorang Guru, bukan pembunuh. Pembunuhnya Pendekar Cacing, yang
kini meringkuk di bekas kamar tahananku”, kata Gumara.
Dengan diiring beberapa anak sekolah, Gumara tiba di rumah jabatan. Dia berusaha
ramah kepada anak-anak yang baik hati itu. Tapi dia perlu segera mandi. Sebab dia
mesti menghadap Bapak Kakanwil, lalu ke sekolah tempat dia harus mengajar.
“Maaf, kalian terlambat masuk kelas nanti. Kakak akan mandi dulu ya?” ujar Gumara
ramah.Setelah anak-anak itu pergi, Gumara siap untuk mandi pagi. Dia membawa
handuk, tetapi secara naluriah dia seperti nya merasakan sesuatu bau. Bau amis. Bau
darah yang sudah menginap! Bulu romanya merinding. Tapi dia tak ingin sekonyol
tadi malam. Dia harus berani dan mengusir khayal yang mirip dongeng itu.
Tapi ketika dia mendorong pintu kamar mandi, dia rasakan lagi bau lain. Bau bunga
tujuh macam, yaitu bau bunga untuk orang mati. Namun terus didorongnya pintu. Dia
belalakkan mata melihat sekeliling. Lalu dia mandi. Tetapi, sewaktu Gumara selesai
mengenakan celana dalam, lehemya seperti kena tepuk tangan. Dan dia berbalik ...
Bah! Tampak ada satu kepala bergantung tanpa tubuh. Kepala itu kepala Tohing,
penuh bintil dan nanah, dengan leher terjulur dan mata terbelalak. Gumara kali ini tak
mau tertipu oleh pandangan matanya. Dia melotot terus menatap kepala tergantung
itu, kemudian meludahinya dan berteriak “Setan!”. Gumara berhasil, Dalam
sekelebatan, sehabis diludahi, kepala tergantung mengerikan itu tenyap dari
pandangan matanya. Hatinya lega. Dan dia tetap lega ketika melangkah ke luar rumah
menuju Kantor Kakanwil.
Bersambung...