Sebelumnya...
Harwati pulang dengan langkah-langkah gemas. Lebai Karat menyambut puterinya
dengan ketenangan seorang Guru.
“Dia pasti menolak tawaran jasa baikmu, Wati”.
“Benar, Pak”, sahut Wati.
“Aku sudah menduga”.
“Dan kesombongannya menjijikkan!”, gerutu gadis itu.
“Ya. Dia mungkin merasa dirinya mampu membebaskan tuduhan pembunuhan itu.
Tapi kamu lihat dia masih dalam tahanan polisi ? tanya Ki Karat.
“Biarlah dia mampus. Tapi kesan saya dia meremehkan Bapak”, kata Harwati dengan
harapan agar ayahnya ikut jadi gemas. Tetapi sifat waskita seorang Guru, Ketua dari
harimau-harimau Kumayan ini, justru lebih menonjol.
“Namun aku tahu siapa yang bekerja di balik pembunuhan Tohing ini”, ujar Ki Karat,
“Ini pasti pekerjaan kawanku juga”.
“Maksud bapak, ini kerja Pak Humbalang?” tanya Harwati.
“Bukan. Ini pasti pekerjaan si Lading Ganda”.
“Di mana Bapak tahu?” tanya sang anak.
“Setiap kerja iseng dengan golok, itu pasti kerja si Lading Ganda. Dia pasti tak suka
Gumara ada di Kumayan ini”, kata sang Guru.
Ramalan itu tepat Memang benar kepala Tohing terpisah dari badannya adalah akibat
tebasan sebuah golok. Dan golok itu ditemukan polisi berada di langkan atap rumah
jabatan Gumara. Sehingga menambah lagi bukti bahwa memang Gumara yang
membunuh Pak Tohing.
Dan malam ini Gumara tak bisa tidur, Karena nyamuk sangat banyak di kamar
tahanan. Sedangkan ia satu-satunya berada di kamar tahananan itu, Tapi, ketika dia
mengebaskan kain sarong mengusir nyamuk, dia tiba-tiba melihat ada satu gerak aneh
di luar jeruji besi itu.
“Siapa itu!” Gumara berseru mematikan puntung rokok.
“Aku”.
“Siapa?”
“Tohing”, jawab sosok yang berdiri di kegelapan itu.
“Hei, bukankah kau sudah mati terbunuh?”
“Bukan aku yang dibunuh pagi tadi. Aku masih hidup.
Boleh aku mendekati kau, guru muda?”
Gumara bukan menjadi puas atas jawaban itu. Malahan dia jadi ngeri. Jangan-jangan
itu hantu, atau roh si Tohing yang masih berkeliaran!
Tetapi, sebelum Gumara melarang, tubuh tinggi itu mendekat Karena cahaya lampu
lorong amat suram, tak jelas sosok yang mendekatinya itu. Semakin dia mendekat,
sepertinya semakin tinggi tubuhnya. Dan ini membuat Gumara merinding lalu
memejamkan mata.
Namun langkah sosok orang tinggi itu semakin dan semakin mendekat menuju jeruji
kamar tahanan itu. Dan kini terasa pula ban yang amat menusuk. Yaitu bau bunga
mayat.
“Jangan takut. Aku bukan hantu”, Gumara mendengar suara.
“Tapi siapa anda?!”
“Aku Tohing”.
“Tidak. Tidak!”
“Aku Tohing” Bukalah matamu, jangan takut”, suara itu kini lembut. Tapi Gumara
tetap takut untuk membuka mata. Dia benar-benar ngeri saat ini. Sebab yang semacam
ini dirasakannya bersuasana aneh.
“Hai, guru muda. Dengarlah. Percayalah. Aku Tohing yang masih tetap hidup
sepulang dari rumahmu semalam”, kata suara di balik terali besi itu.
“Jika kau tak mau melihatku, ulurkan tanganmu. Supaya bisa kubantu untuk meraba
wajahku yang penuh bintil ini, yang penuh getah yang mirip getah pepaya ini”.
Biarpun punya rasa ngeri, tapi hatinya agak terpikat untuk menyaksikan kebenaran
ini. Siapa tahu memang dia ini Tohing. Dan aku bisa bebas dari tuduhan membunuh
Tohing. Agak enggan, Gumara mengulurkan tangan kirinya. Maksudnya sedikitpun
tiada membuka mata. Tapi setelah jarinya merasakan bintil-bintil yang menjijikkan
itu, Gumara cepat menarik tangannya. Lalu matanya dibukanya! Bah, benar! Benar
Tohing masih hidup. Mata Gumara melotot heran. Lalu didengarnya Tohing berkata
“Beri aku sebatang rokok”.
Dan Gumara merogoh kantong. Karena rokok itu ada di
kantong belakang celana dalam, ia agak sulit mengeluarkannya. Dan setelah rokok itu
dia dapatkan, maksudnya akan menyodorkan pada Tohing. Tetapi ... yang dilihatnya
adalah tubuh tanpa kepala! Gumara menjerit dan ketika dilihatnya lagi, sosok itu tak
berkepala itu sudah menghilang. Sersan jaga Ahmad mendekat, lalu bertanya; “Kau
melihat setan ya?”. Gumara tidak menjawab. Keringat dinginnya bercucuran, tak
henti-henti.
Bersambung...