Sebelumnya...
Mendengar itu Gumara jadi ngeri. Di sini saja dia berdiri sudah ngeri. Dan seperti bocah yang menginginkan sesuatu, tapi kecut, maka dia melangkah selangkah saja, lalu berhenti.
“Bulu romaku tegaaaak!” teriaknya.
Gemetar dia, namun sempat mendengar wanita itu mentertawakannya. Dia mendengar suara lagi: “Maju lagi selangkah”.
“Aku takut”, ujar Gumara.
Namun dicobanya maju lagi. Pemandangan semakin gelap. Keringat dinginnya mulai dirasakannya. Bau stanggi itu semakin memadatkan indera hidungnya. Dan dia seakan-akan menyerah; “Aku takuttt”.
“Jangan takut. Aku gurumu! Bukankah kau ingin mendapatkan ilmu melalui Kitab yang kau baca lewat mimpi, bahwa kau harus menyingkap misteri tirai stanggj?
Semua orang ingin mempertinggi ilmunya. Tapi ilmu yang akan aku beri padamu adalah satu kedudukan ilmu yang Tertinggi, mengerti?!!!, wanita itu membentak. Dan karena gema suaranya bergemuruh, bentakan itu semakin menakutkan. Dan Gumara gemetar menjawab ketakutan: “Saya mengerti Ibu Betara Guru”.
“Jangan takutttt!” teriak wanita itu juga membentak dan bergema menakutkan.
“Saya mencoba berani”.
Dan wanita itu membentak lagi: “Ayoh melangkah lagi, tolol!”
Dan Gumara melangkah lagi dengan sangat rendah hati, bagai budak pada majikannya. Karena tiba-tiba merasakan bau bangkai, dia berhenti.
“Kenapa berhenti?!!!” bentak wanita itu.
Namun, hanya suara saja yang kedengaran. Sosok wajah apalagi tubuhnya tak tampak. Gumara tambah takut. Dia merasakan bau bangkai.
“Selangkah lagi. ayoh maju!!!” terdengar bentakan wanita itu lagi.
Suasana semakin gelap. Gelap sekali. Bau sekali. Dan menakutkan sekali! Dan dengan terpaksa dan terseot.Gumara melangkah selangkah lagi.
“Bagus”, kedengaran pujian Ratu Stanggi.
“Aku memohon, pelajaran yang tuan Ibu Betara Guru akan berikan dipersingkat. Saya takut, takut sekali”.
“Hah, mana ada ilmu yang gampang diperdapat! Semua ilmu ada jenjangnya. ngerti????” bentakan iagi.
Dengan nada hampir menangis Gumara berkata: “Saya mengerti, Guru”. Lalu dia merasa dirinya semakin lemah dan berkata: “Saya lapar, Betara Guru!”
“Kelaparan adalah bagian dari ilmu yang akan kuberikan”.
“Tapi saya sekarang ini ... lapar sekali!”
“Diam, bangsat!” bentak suara wanita itu.
Gumara merasa dirinya tak kuasa apa-apa lagi. Bau bangkai itu semakin menusuk hidung. Rasa lemah dan takut semakin membuatnya tak mampu berfikir. Dan dengan merengek dia bersuara melolong: “Tolong katakan padaku kelak saya akan menjadi apa. Betara Guru yang mulia!”
“Kau akan manjadi sembahan seluruh jawara, dari Bukit Kumayan hingga ke Bukit Lebah. Bahkan Pita Loka akan menghatur sembah padamu!”
Airmata Gumara meleleh. Dalam gelap airmata itu bagaikan mutiara yang antara tampak dan tiada berada di kerang terkelupas dalam lautan biru. Dan menjelmalah sosok tubuh yang luar biasa cantiknya. Dipergelangan tangannya teruntai gelang bertatah ratna mutu manikam.
Tubuhnya seakan dilapisi sutra tipis sehingga menciptakan bentuk wanita yang menerbitkan birahi namun begitu kaya.
Dan sungguh membuat Gumara tolol ternganga melihat wanita itu duduk di tahta emas, kursi yang takkan pernah dilihatnya, hanya kecuali dalam cerita-cerita lukisan.
“Tuan memang pantas jadi ratu!” kata Gumara terpesona.
“Dan engkau akan menjadi Rajaku!”
“Aduh, saya orang lemah dan tolol. Saya muridmu! Mana mungkin?”
“Ratu Stanggi sudah harus menjadi jodoh Raja Gumara. Kini ikuti perintahku! Pejamkan matamu!”
“Baik Ratuku tercinta”.
“Jongkoklah. Meraba di permukaan guha ini. Bila kau rasakan ada benda bulat seperti kelapa yang sudah dikupas sedikit, peganglah itu!”
Gumara bagai orang dongok, berjongkok. Tangannya meraba. Hidungnya merasa bau amis. Tapi rasa ingin cepatnya mendapatkan ilmu tertinggi dengan kedudukan Sembahan Semua Juara, dia akhirnya berteriak setelah meraba kelapa dimaksud Guru itu.
“Ini kelapa sudah kupegang!”
“Batu stanggi di tangan kiri, kelapa di tangan kanan! Ayoh cepat keluar dan ikuti arus sungai dengan menghanyutkan dirimu!”
Gembira Gumara menuruti perintah. Dia memegang kelapa dan batu stanggi tadi, meninggalkan Guha tadi, melewati air terjun dan berhanyut-hanyut ke arah Barat Timbul tenggelam dia dalam gelombang sungai, terhanyut mengikuti arus sungai seperti orang gila tak sadarkan diri.
Kadang dibiarkan kepalanya terbentur pada batu sungai yang menghadang arus.
Biarpun terasa sedikit, dia tak menjerit. Yang penting kelapa di tangan kanan, batu stanggi di tangan kiri ... tak lepas dari pegangan!
Tak terfikir lagi lapar dan haus. Juga dia tak menyadari hari telah malam. Dan di langit ada bulan. Bulan yang sedang purnama. Waktu itulah Gumara mendengar seruan dari atas batu tebing; “Pak Gumara ...!”
Dia mendahulukan kakinya. Sepatu Phuma yang melekat di kakinya dia sodok ke batu bawah air. Tubuhnya tertahan dan dia menyandarkan punggung bertahan ke batu curam.
“Pak Gumara!” terdengar lagi suara dari atas tebing. Gumara mencoba melihat ke atas, tapi terhalang oleh rumpun bambu. Lalu dia merasakan bau amat busuk.
Dicarinya sumbernya. Ternyata di tangan kirinya itu. Dia buka tangan kirinya…ternyata itu bukan batu. Tapi gigi manusia yang menggigit batu. Gigi bangkai manusia!
Gumara membanting sehingga muncrat air sungai membuat waiahnya bersimbah air.
Ini membantu penglihatannya. Dia lalu merasakan bau lagi! Ternyata bau di tangan kanan. Ternyata itu bukan kelapa tetapi kepala manusia, yang tampaknya baru mati.
Begitu Gumara mau membantingnya, dia mendengar suara dari balik batu. Suara itu suara wanita. Yang berseru: “Jangan buang dia! Berikan dia padaku dan lemparkanlah!”
Gumara melemparkan kepala manusia yang mengerikan itu. Tampak ada tangan menyambut kepala itu. Dan sekonyong tegaklah di atas batu itu satu sosok tanpa kepala. Kepala yang dilempar Gumara tadi dia jinjing. Dan sosok itu, yang menjinjing kepala itu, adalah wanita dalam pakaian compang camping. Melihat wanita tanpa kepala yang menjinjing kepala mengerikan itu. Gumara kontan berteriak bagai bocah ketakutan: “Tolong akuuu!!!”
Dia berteriak lagi: “Tolong akuuuu!”
Seorang wanita masih dalam pakaian mukena putih menuruni tebing dengan amat mudah. Lalu dia mengulurkan tangan untuk menolong Gumara.
“Siapa kau?” tanya Gumara ragu.
“Murid tuan Guru. Saya Pita Loka” ujar wanita berpakaian mukena itu.
“Bukan sebuah godaan?”
“Bukan godaan. Bukan setan. Bukan jin atau pun peri! Aku Pita Loka, puteri Ki Putih Kelabu” ujar Pita Loka pasti, “Mungkin anda ragu melihat diriku masih berpakaian mukena ini. Aku sedang menyelesaikan do”a sehabis shalat Iesya. Kulihat anda di bawah itu, diantara sinar bulan purnama, bagai hanyut! Ayoh, pegang tangan saya, Pak Guru, saya tolong angkat ke atas!”
Begitu Gumara memegang telapak tangannya, Pita Loka merenggut tubuh itu dan melemparkannya. Tubuh Gumara terangkat setinggi tujuh meter di atassana tetapi kemudian disambut oleh Pita Loka dengangaya yang mirip orang menyambut barang yang ringan.
Kemudian setelah disambut dia lepaskan Gumara dalam posisi berdiri. Dan Gumara berdiri dengan tercengang. Lalu Pita Loka melangkah duluan menuju satu tumpukan batu yang rata. Dipermukaan susunan batu yang rata itu ada tikar sejadah. Tikar itu diambil Pita Loka semudah pula menyambar satu kayu karet yang ujungnya menyala api.
“Apa yang tadi anda lakukan maka hanyut, Pak Guru?”tanya Pita Loka.
“Saya hanyut dalam godaan setan”.
“Setan? Aneh sekali” ujar Pita Loka.
Dengan memegang obor Pita Loka menggiring Gumara ke mulut Guha Lebah itu.
Gumara berhenti melangkah. Pita Loka berdiri di hadapan pintu itu. Tampak lebah-lebah yang ribuan jumlahnya itu berdengung ramai. Lalu semuanya minggir ke tepi seakan memberi jalan penuh penghormatan. Gumara mengikuti langkah Pita Loka memasuki gerbang guha itu. Dalam Guha tampak cahaya terang, Ternyata dua obor menyala, yaitu api yang bergoyang di ujung kayu karet.
Dengan menunjuk ke sebuah batu berbentuk kursi. Pita Loka berkata: “Silakan duduk”.
“Menakjubkan!“ ujar Gumara,
“Dulu Bapak belum sempat masuk. Keburu bertempur dengan Dasa Laksana. Ah, kalau saya ingat itu, saya kasihan pada Bapak”, ujar Pita Loka.
Sejak mendengar nama Dasa Laksana kembali, perasaan cemburunya menjalari urat darahnya. Namun dia diam. Dan rasanya ingin bertanya.
“Mana Dasa Laksana?” tanya Gumara.
“Ada di dalam”, sahut Pita Loka.
“Ada di dalam? Apa di guha ini pun ada kamar?”
Pita Loka tarsenyum. Dia menyadari nada tanya Gumara cemburu. Tapi dia tetap menjawab: “Di guha ini ada kamar”.
“Oh”, nada singkat Gumara itu menandakan putus asanya.
“Ini saya hadiahkan sebuah hidangan makan malam yang pasti belum anda coba,. ujar Pita Loka seraya menyerahkan satu buah-buahan yang baru dikupas.
“Buah apa ini?” tanya Gumara heran.
“Nikmati dulu”. kata Pita Loka.
Tapi sebelum dia makan buah yang agak aneh itu, Gumara bertanya: “Boleh saya bertatap muka dengan Dasa Laksana?”
“Boleh saja. Tapi makan buah hadiahku dulu”, kata Pita Loka.
“Tidak. Saya ingin berjumpa dia”, kata Gumara.
“Kenapa Pak Guru mendesak begitu?”
Gumara menahan rasa malu, lalu berkata geram: “Mungkin aku sudah tertipu oleh si tua Ibrahim Arkam”
“O, Ibrahim Arkam? Dia bukan penipu!” kata Pita Loka.
“Jika demikian kau mengenal dia?”
“Tentu”.
Lalu Pita Loka berkata lagi: “Ayoh makan buah hadiah terhormat dariku!"
“Jangan-jangan buah ini ada racunnya! “, ujar Gumara.
Pita Loka. yang juga memegang satu buah yang sama, penasaran tertuduh begitu. dan dia berkata: “Ini buah yang sama. Jika buah ini mengandung racun, aku akan mati duluan dari anda!”
Bersambung...