Sebelumnya...
Gumara begitu ngeri tanpa berkutik sedikitpun ketika parang tajam itu diayunkan padanya seraya si kakek berteriak;“Mati kamu!” Parang itu menancap ke bahu Gumara.
Tapi kakek itu bengong. Mulutnya menganga. Dia heran tak ada darah menetes di bahu itu, padahal parang tajamnya sudah masuk sedalam tiga jari. Gumara lalu menghatur sembah: “Maaf kakek. Terutama Nenek, saya minta maaf”.
Ia berlalu dengan tersipu malu, ia tidak lagi lincah. Ia mulai menyadari tujuannya semula. Bukan ke ladang ini lantas akan memperkosa seorang wanita yang ternyata lanjut usia, bukan! Ia harus menuju Bukit Lebah itu! Ke selatan itu! Bukan ke Barat itu!
Kini langkahnya tidak cepat tidak pula lambat. Ketika menuju ke arah selatan itulah ia seperti mendapat pengetahuan baru. Bahwa setiap ilmu apapun godaan utama adalah soal sexual. Gumara lalu memukul sumber yang membuat ia tergoda, dan dia menjerit sendiri kesakitan. Kemudian dia melanjutkan langkah lagi.
Dan langkahnya lebih pasti. Di sela-sela batu raksasa itu sudah didengarnya suara air terjun. Ini berarti hanya beberapa mil lagi akan mencapai sungai bundar yang dikenal melingkari Bukit Lebah itu. Dengan santai dia turuni tebing terjal itu. Tapi... bah!
Tenyata ada perempuan mandi telanjang bulat pada air terjun itu. Mulanya dia bergairah untuk cepat mendekati dan melampiaskan nafsunya yang kini berkobar di dada. Tapi bukankah wanita mandi itu adalah Pita Loka?
Gumara malu pada diri sendiri. Tapi yang lebih membuatnya malu adalah perasaan berdosanya. Bahwa libido sexual memang selalu menggoda ilmu yang akan diperolehnya itu.
Gumara kembali bersembunyi sampai wanita telanjang itu berpakaian. Setelah diperkirakannya selesai, ia melanjutkan menuju tebing itu. Ternyata wanita itupun sedang menapaki jenjang-jenjang batu setapak, naik ke tebing. Bukan rambut ikal itulah yang pertama menggoda Gumara. Juga bukan buah dadanya yang sejenak tampak, sebelum wanita itu menutupinya dengan kedua telapak tangan dan membetulkan kain yang menyelimuti dirinya. Tapi kalung itu, yang bertatahkan permata. Andaikata kalung itu aku rampok, sekarang ini, tentu benda itu akan menggiurkan Pita Loka. Sehingga dia bersedia menceritakan misteri tirai stanggi.
“Maaf, nona. Saya orang utas yang tersesat jalan. Isteriku sedang berdiam karena sedang mengidam. Yang dia idamkan yaitu sebuah kalung penuh permata. Bolehkah saya pinjam kalung nona?”.
Wanita itu menjadi tidak ramah dan menjerit minta tolong.
“Rampoooook”, teriaknya keras.
Bintik keringat dingin ketakutan bukan membuat Gumara lari ke bawah, tapi lari ke atas mengikuti wanita itu. Wanita itu tambah takut dan berteriak lantang lagi: “Toloooong, ada rampok!”
Seorang petani yang menyandang pacul, kontan menghantamkan mata paculnya ke kepala Gumara.
Gumara terdongak kaget setelah melihat gagang pacul di depan hidungnya. Tapi lebih tercengang lagi sang petani, yang melihat mata paculnya masuk ke tengah kepala “sang perampok” tapi tak tampak luka. Juga ketika pacul itu ditarik dengan cabutan yang menguras tenaga. Bekas luka pun tak ada, apalagi darah.
Petani itu berkata pada wanita tadi; “Dia perampok berilmu kebal. Mari kita pulang saja. Ilmu dipakai untuk merampok adalah ilmu sial!”
Gumara tercengang. Dia meraba kepalanya. Memang tak ada bekas apapun, juga tak terasa rasa nyeri. Dia sadar, bahwa dia harus menemui Pita Loka. Bukan membujuknya dengan kalung permata yang akan dirampoknya dengan cara tipuan tadi. Dia menuruni tebing itu untuk menyeberangi sungai. Tapi mendengar derasnya bunyi air terjun itu. Gumara berhenti sejenak.
Seperti ada yang mendorongnya untuk melihat bukit kenapa perasaan ini ingin menyaksikan air terjun. Padahal di kawasan ini sudah sering dia melihat air terjun.
Tentu air terjun ini menyimpan sesuatu rahasia.
Tapi ah ... masa bodo.
Ia sudah tergoda dua kali, Pertama kali tergoda iman karena sex, dan yang kedua tergoda iman karena harta. Namun karena ia berusaha untuk mencari Kebenaran Mutlak, konsentrasinya melangkah di batu sungai kurang awas.
Dia terpeleset. Dan jatuh!
Lalu kedengaran suara orang mentertawakannya.
Cekikikan lagi! Dan itu pasti suara wanita. Gumara yakin, mungkin saja yang tertawa itu Pita Loka. Gumara menoleh kearah bunyi orang yang mentertawakannya.
Ternyata ia menoleh ke air terjun. Hal ini membuat dia penasaran. Dia melangkahi batu-batuan sungai menuju ke air terjun tadi. Diperhatikan, apa benar di balik air terjun jtu ada wanita. Setelah dia perhatikan, dia coba lagi berseru;”Hoi! Siapa anda!”
Terdengar wanita tertawa, tapi terdengar pula dia berlari setelah melemparkan sebuah batu. Batu itu mengenai kepala Gumara, tapi dia segera menangkap batu itu sebelum batu itu kecemplung masuk sungai. Aneh sekali. Batu itu ternyata batu yang menebarkan bau stanggi. Hal ini membuat Gumara berfikir dua kali Dan ketika fikirannya yang ketiga muncul, ia memutuskan harus ke balik air terjun itu.
Pakaian putihnya yang sudah koyak-koyak itu, sudah basah kuyup ketika dilintasinya air terjun itu. Ternyata di balik air terjun itu, setelah melangkah sekitar 21 langkah, ada semacam pintu guha. Gumara seperti bocah yang ingin tahu. Dan sebagaimana layaknya bocah, dia merasa ngeri tiba-tiba. Heran sekali, karena bulu kuduknya dan seluruh bulu romanya merinding? Dia seakan-akan melihat dalam kegelapan tanah menjorok ke dalam tebing air terjun ini sesuatu yang mengerikan.Ada dua mata yang tampak begitu besar disana itu. Lalu ada yang bergoyang-goyang. Hihh, ngeri sekali!
Itu lidah yang menjulur! Untuk surut, kakinya gemetar. Lalu dia rasakan pula bau stanggi sekitar tempat yang berbentuk guha itu. Batu yang sekepal di tangannya ia baui lagi. Ternyata batu ini lebih keras lagi aroma stangginya!
“Jangan lepaskan!” terdengar suara.
“Apa yang jangan dilepaskan?”
“Batu itu!” terdengar lagi suara.
Suara itu menggema. Dan jelas suara wanita.
“Siapa yang bersuara itu?” tanya Gumara tambah gemetaran.
Aku, Ratu Guha Stanggi” terdengar sahutan yang juga menggema. Jelas sekali suara itu suara wanita. Dan bukannya wanita tua!
“Kenapa anda melemparku dengan batu stanggi ini, ha?” suara Gumara menggema.
“Karena aku tahu, anda mencari saya”, kata Ratu Stanggi itu.
“Mencari kau?”
“Yah, karena anda ingin mengetahui misteri tirai stanggi! Misteri itu kini telah anda dapatkan! Dalam guha inilah letak misteri itu! Dan tirai yang ingin anda singkapkan itu, sudah anda lewati!”
“Tirai apa itu?” tanya Gumara.
“Tirai perlambang! Air terjun itu lambang dari maksud tirai. Bukannya ke Guha lebah itu anda harus pergi. Karena menemui Pita Loka, dan mencari misteri stanggi kesana, hanya membuang waktu. Misteri itu ada di sini! Dan sekarang anda sudah memasuki misteri itu!”
Dalam sekelebatan Gumara menyaksikan sosok yang tak jelas sedang melakukan bentuk persilatan yang luar biasa. Hanya kecepetan garis petir yang mampu menandingi bentuk gerak dan jurus persilatan itu. Bila sosok tak jelas itu menubruk dinding guha, terdengar benturan mirip petir yang menimbulkan percikan api!
Gumara kagum sebagai penonton.
“Yang anda ingin cari dibalik misteri itu adalah ilmu yang Tinggi. Tapi bukankah anda lihat ilmuku ini adalah ilmu yang tertinggi?”
“Ya”, ujar Gumara, “Rupanya kepada andalah, Ratu Stanggi, saya harus belajar, Rupanya kepada anda saya musti berguru”.
Gumara mendengar lagi suara wanita itu: “Anda harus maju lagi sekitar tujuh langkah”.
Bersambung...