Sebelumnya...
Dan ketika mereka sudah menghilang, Gumara heran mengapa dia menggenggam enam pedang samurai di tangan kanan, dan enam di tangan kiri. Keajaiban memang sering dia alami.
Ketika dia permisi lewat di ruangan tahajud Ki Ibrahim dia ingin membuktikan apakah tadi perkelahian konkrit ataukah mimpi. Dia buka tirai keruangan kuburan itu.
Samar-samar ditelitinya. Tak ada satupun pedang tertancap disana sebagai nisan perwira-perwira Jepang itu. Lalu Gumara mendengar ucapan Ki Ibrahim: “Tancapkan saja 12 pedang itu kembali, di tempat semula”. Selesai Gumara menancapkan setiap pedang pada tiap kuburan itu, begitu dia masuk keruangan tahajud, didengarnya Ki Ibrahim Arkam berkata: “itulah kerjaan setan perwira Jepang yang sudah mati itu. Mereka mengira kamu tamu biasa.”
KEMUDIAN Ki Ibrahim Arkam menjelaskan bahwa dia sering terbangun apabila muncul gangguan dari tamu-tamu tak diundang itu. Keramahan, kemurahan hati menceritakan pengalamannya, membuat Gumara betah hidup berdampingan dengan orang tua itu.
Pada hari ketujuh, Ki Arkam bertanya: “Tadi malam, apakah anda bermimpi?”
“Ada”, sahut Gumara.
“Jangan lupa mencari takwil mimpi anda itu. Dan jangan katakan kecuali jika aku minta”, kata Ki Arkam.
Gumara merinding sesaat. Sekiranya dia ceritakan mimpi itu, atas permintaan Ki Ibrahim Arkam, maka pastilah orangtua itu akan terkejut.
Dan ketika Gumara memasuki tiga minggu sebagai tamu Ki Arkam pada suatu pagi seraya menikmati sarapan singkong rebus dan air tebu, bertanyalah dia pada Gumara;“Adamimpi semalam?”
“Ada”, sahut Gumara.
“Karena tadi malam pun aku bermimpi tentang anda, coba kita bertukar kisah mengenai mimpi masing-masing”, kata orangtua itu.
“Mimpi saya tentang diri anda”, kata Gumara.
“Justru karena itu, mimpi saya pun tentang diri anda”, kata Ki Ibrahim Arkam seraya senyum.
“Selama di sini, saya dua kali bermimpi”, kata Gumara
“Mimpi manakah yang tuan guru kehendaki?”
“Mimpi yang pertama akupun sudah diberitahu, tapi mimpi yang kedua justru yang saya tak tahu”, kata Ki Ibrahim Arkam.
“Saya didatangi oleh orangtua bersorban, lalu dia mengatakan supaya saya berhati-hati terhadap Pedang Raja Turki”.
“Oh, itu. Pedang Raja Turki itu terakhir dimiliki oleh Ki Tunggal. Ini takwilnya adalah, anda suatu saat akan terancam oleh Ki Tunggal, muridnya, atau Pedang Raja Turki itu. Lalu apa lagi, nak Gumara?”
“Saya akan melihat tengkorak aneh”, kata Gumara.
“Itu takwilnya adalah, anda harus hati-hati. Ingatlah kiasan ini; Tengkorak itu mandi tiap hari dengan air yang sama dengan air mandi kita”, Ki Ibrahim bertanya lagi;“Lalu, apa mimpi anda itu lagi?”
“Saya diberitahu, bahwa saya akan menemukan lawan seorang yang gemar
menggunakan senjata. Dan orang itu kini dalam keadaan dirantai”, Gumara menerangkan, lalu bertanya: “Siapakah dia?”
Ki Ibrahim Arkam dengan tekun memejamkan mata. Dia mencoba mengingat-ingat urutan takwil mimpi yang pernah dituturkan oleh gurunya dulu. Setelah sempurna terkumpul ingatannya: “Limapuluh tahun yang lalu sebelum aku ingin mengembara mencari Kitab Sakti itu, aku pernah diberitahu guruku. Bahwa, calon Pendekar Besar itu akan berhadapan dengan calon-calon yang hebat pula. Antara lain lelaki berantai besi. yang akan memiliki sepuluh ilmu. Lelaki itu bukan dengan sengaja untuk ngelmu. Tapi keadaan terpaksa dia terlibat menjadi seorang pendekar dunia persilatan di sepuluh kawasan. Lalu, apa lagi lanjutan mimpi anda?”
“Oh ya, saya terlupa menceritakan awal mimpi. Mimpi itu sebetulnya berawal dari kejadian yang memalukan. Saya menjadi tukang perkosa gadis. Lalu saya merampok harta orang kaya. Lalu saya bertemu dengan seorang wanita cantik yang akan menjadi isteri saya. Barulah kemudian rentetannya tengkorak yang saya kisahkan Pada tuan itu. Kemudian, saya lanjutkan cerita tadi. Saya kemudian betemu dengan seorang pendekar pincang!”
“Pendekar pincang?” tanya Ki Ibrahim tercengang, lalu menepuk tangan dengan girang: “Itu murid Ki Tunggal, nak!”
“Dan maaf saja ... dialah yang disebutkan orangtua dalam mimpi itu, yang akan membuka rahasia tirai Stanggi”, ujar Gumara.
Ki Ibrahim juga terheran-heran setelah mendengar keterangan itu. Padahal dulu gurunya bilang, bahwa seorang lelaki calon Pendekar Besar itulah yang akan mengetahui kunci rahasia tirai stanggi. Pikiran murung ini terjadi pada hari ke-22 dan seterusnya.
Pada hari ke-39, si tua itu lebih murung. Dia mengeluh sesak nafas. Dan tiba-tiba saja dia bertanya: “Wahai calon Guru Utama. Katakan padaku mimpimu yang pertama!”.
“Tidak cemaskah tuan jika mendengarnya?” tanya Gumara.
“Katakan saja”, ujar pak tua itu dengan wajah murung disertai nafas yang sesak.
Gumara berkata: “Tiba-tiba saja aku seperti mendapatkan ilham, bahwa yang satu ini tidak boleh kukatakan pada tuan. Maha Pemilik Rahasia adalah Tuhan”. Dan airmata Ki Ibrahim Arkam menggelinding seketika. Butiran airmata berikut menggelinding lagi. Lalu dia berkata; “Tentara Jepang itu meninggalkan pacul, linggis dan sekop di gudang satu lagi, dekat kuburan mereka. Kalau terjadi sesuatu atas diriku, gunakanlah barang-barang itu”.
“Ke mana anda akan pergi?”“
“Bersembahyang, itulah kegemaranku”.
Dan. si tua itupun meninggalkan Gumara, sampai sore Gumara tidak melihatnya, begitupun ketika malam tiba. Aneh sekali! Di mana beliau bersembahyang? Di ruangan kamar Perwira Jepang itu tak ada. Dipanggil-panggil, tak menyahut.
Kemudian Gumara pergi ke kebun. Juga tak ada. Paginya Gumara mencari lagi si tua itu ke Kuburan Perwira Yang 12 itu. Kali ini dia tertarik pada bunyi pintu yang bergerit. Dia lalu merinding. Pintu bergerit itu agak jauh ke barat daya. Gumara lalu
memberanikan diri. Memang ada pintu. Ketika pintu itu dibuka, tampaklah lampu obor kayu karet yang akhirnya menerangi ruangan itu. Itu sebuah gudang, yang penuh dengan macam-macam benda, termasuk pipa listrik dan pipa ledeng. Bahkan ada ban mobil.
“Ki Ibrahim ... “, ujar Gumara.
Ternyata dia melihat setumpuk kain putih. Bila Gumara mendekat, tampaklah orangtua itu menggeletak di atas tikar sembahyangnya, memegang biji tasbih. tapi sudah tak bernyawa lagi. Dekat tikar sembahyang itu ada sekop besar dan sekop kecil, pacul dan linggis. Itulah isyarat dia minta bantuan Gumara untuk menguburkannya.
Setelah orangtua itu dia kuburkan sesuai amanatnya. Yaitu disamping kuburan isterinya. Gumara berfikir apa perlunya lagi di sini? Tanpa ada si tua yang hidup, tak enak di sini.
Lalu Gumara pun berlalu. Langkahnya jadi ringan secara aneh. Dia seperti bocah kesenangan setelah meninggalkan padepokan sunyi almarhum Ki Ibrahim Arkam.
Gumara gembira, sehabis dia terbangun dari mimpi itu. Tekadnya hendak kembali ke Kumayan, dia batalkan. Dia memutar pandangan untuk. mencari letak Bukit Lebah itu. Tak sulit. Bentuknya mirip sekali dengan payung terkembang. Di selatansana itu.
Dia harus kembali menemui Pita Loka, sesuai dengan mimpinya itu!
Sebelum dia melangkah, dipetiknya buah kesemek. Dibersihkannya buah yang mirip buah apel itu. Dan setelah dia memakan dua buah, hanya seperempat jalan turunnya matahari, mendadak ada yang meronta dalam diri kasarnya! Ya, keinginan sexual untuk mengawini Pita Loka. Keinginan birahi yang berkobar bagai amukan api yang menyesakkan dada. Dan hal ini membuat Gumara yang tenang itu berubah lincah.
Langkahnya cepat. Gumara seakan-akan kembali surut menjadi remaja yang digoda libido.
Entahlah bagaimana, rupanya dia tersesat ke sebuah ladang timun. Di luar kebiasaan terdidiknya, kali ini dia tanpa permisi mengambil satu timun dan dilahapnya timun itu dengan lahap. Suara sap-sap-sap menghabisi timun itu membuat dia tak sadar sudah memakan bagian yang pahit. Karena dia melihat satu pinggul wanita yang sedang memetik timun, gairah sexualnya menyala hebat. Apa lagi wanita itu mengenakan kain merah. Terkena sorot matahari pinggul itu bagaikan secara amat halus terbelah dua. Gumara tak menunggu waktu lagi. Dia menuju wanita yang rupanya masih menungging itu. Begitu Gumara menyuruk-nyuruk kuatir tertangkap basah, setiba dekat kaki wanita itu, dia tarik kain merah itu.
Wanita itu terpekik minta tolong.
Gumara ketakutan. Dan lebih malu lagi karena wanita yang menunggingkan pinggulnya itu ternyata wanita yang sudah agak lanjut usia. Mendadak seorang kakek mencabut parangnya, Gumara makin ketakutan. Lebih ketakutan lagi ketika kakek itu sudah mendekatinya dengan kalap.
Bersambung...