Sebelumnya...
Ada handuk yang bersih berjajar, sekitar 12 buah. Kiranya melihat handuk ini berukiran motif Dai Nippon, tentulah ini persediaan Perwira Jepang yang melarikan diri ke sini.
Lalu Gumara pun diberikan satu stel pakaian Tentara Jepang. Dengan demikian,
ketika dia mengenakannya, dan melihat dirinya sendiri di kaca. hanya rambut gondrongnyalah yang kurang cocok dalam pakaian militer ini.
“Masih ada satu soal lagi”, kata Ki Ibrahim.
“Apa, itu Guru?”
“Di sudut itu aku bersembahyang tahajud apabila malam mulai mendekati dinihari”.
Gumara terpana. Hanya lewat Ki Putih Kelabu dia pernah mendengar anjuran bersembahyang tahajud. Kini dari Ki Ibrahim yang tua dan bersih ini.
“Kalau begitu boleh saya amalkan sembahyang tahajud di sini?” tanya Gumara pada ki tua.
“Ah, kau jadi tamuku. Kau akan kulengkapi dengan pelbagai kebutuhan selama menjadi tamuku. Asal saja kau bersedia menguburkanku di samping kuburan isteriku.
Dan jangan sekali-kali engkau kuburkan aku di samping orang-orang itu!”
Ki Ibrahim menyingkapkan satu tirai berupa gorden panjang. itu bukan ruang biasa.
Dan itu hanya semacam terowongan kasar saja. Tapi ketika memegang obor mengajak Gumara memasukinya, Gumara heran sekali. Ternyata ruangan ini semacam kuburan.Ada dua belas pedang samurai ditancapkan di tiap-tiap kepala kuburan-kuburan itu.
“Siapa mereka Ki Ibrahim!” tanya Gumara.
“Mereka Perwira Jepang yang bersembunyi di sini. Aku sedang tergila-gila mencari Kitab Sakti itu, sampai kesasar memanjat dinding tebing yang menghadap ketimur itu ... kebun singkong itu ... lalu kutemui seorang Tentara Jepang siap dengan pedang samurai. Kami berhadapan. Aku sedang dalam tingkat ujian kekebalan ilmuku.
Kulawan serdadu yang bersenjata pedang samurai itu. Cukup lihay dia... Tapi ketika muncul seorang lagi dan seorang lagi sampai semuanya 12 orang, aku tak mungkin mundur lagi. Kurebut senjata mereka, dan kutebas leher mereka satu demi satu. Pada hari itu juga aku harus menggali 12 kuburan sampai lepas dinihari berikutnya. Lalu aku kubur mereka, dan kutemukan pintu dorong kamar rahasia itu!”
Dan si tua bersih itu kemudian berkata: “Akhir cerita, mereka semua mati seperti setan. Mati yang mengerikan, nak Gumara”.
Gumara tambah betah. Tetapi dalam kepalanya tak sebagaimana biasa berisi pertanyaan dan keheranan. Dan malam itu dia menginap di kamar yang indah itu.
Ketika ia terbangun di tengah malam, ia tiba-tiba merasa ngeri. Dilihatnya Ki Ibrahim tidak berada di sebelahnya. Oh, ternyata beliau sedang bersembahyang tahajud.
Gumara lalu bangun dan menuju kamar mandi. Dia berwudhu. Dan ikut
melaksanakan sembahyang tahajud tanpa setahu Ki Ibrahim, sebab dia mendirikannya di sudut lain.
Gumara mulai lelah. Jika diikuti amalan sembahyang tahajud Ki Ibrahim maka dia akan teler. Dia cuma sanggup satu jam saja. Tak bisa dibayangkan, betapa konsentrasi kiayi tua itu amat hebatnya. Gumara sudah melihat fajar menyingsing dari kebun timur, kembali ia ke ruangan indah mendapati Ki Ibrahim masih bersembahyang. Dan setelah itu, Ki Tua ini memanggil Gumara.
“Mari ikut bersama saya bersembahyang f ajar” katanya.
Lalu ikutlah Gumara selaku makmum yang diimami oleh Ki Ibrahim, melakukan sembahyang fajar. Ternyata sembahyang dua-dua rakaat itu belumlah dihabisi sang imam ketika beliau berkata: “Waktu subuh tiba. Ikutlah bersama mendirikan sholat subuh!”
Begitulah, selaku tamu yang dihormati. Gumara mengikutinya. Tak lama setelah itu.
Gumara mendengar kata-kata si tua: “Nak, ingin sekali aku melihat permainan silatmu”.
“Dengan senjata?” tanya Gumara.
“Tidak usah. Kau toh kuketahui orang hebat. Aku hanya ingin melihat jurus-jurus permainanmu. Hanya sebagai hiburan bagiku yang sudah dekat ajal”, kata si tua.
Gumara lalu mengambil tempat. Dia bersila dengan hadap duduk yang menghadap langsung Ki Ibrahim, dalam jaraklima meter. Lalu dengan kedua telapak tangan yang dirapatkan dan melipat ke dada, Gumara menghatur sembah. Dia membuka “permainannya” dengan tarikan sembah ke kening, lalu telapak tangannya terkembang ke samping, dan dalam sekelebatan dia buka kedua kaki dan berdiri merentak dengan satu “tantangan”. Tantangan itu diterima oleh Ki Ibrahim dengan satu serbuan tendangan ke arah jidat Gumara, tetapi Gumara mengelak sehingga kaki Ki Ibrahim dipanggul di bahu Gumara, lalu Gumara banting orang tua itu sampai dia jumpalitan saperli salto ke sudut pintu kamar mandi.
“Sudah, cukup segitu”, ujar si tua dengan nafas ngos-ngosan.
“Aku baru mulai”, kata Gumara.
“Aku sudah selesai”, ujar si tua, “Yah memang engkaulah pewaris Kitab Sakti itu ... karena perkelahian singkat tadi kau lakukan tanpa main-main”. Lalu si tua itu mengajak Gumara ke kebun.
Rupanya disuruh ikut menggali ubi dan menebang tebu. Itulah sarapan pagi mereka berdua. Minuman air tebu. Dan makan singkong rebus.
“Bolehkah saya malam nanti diperkenankan tidur sendirian?”
“Di mana?”
“Di kebun. Malam ini saya merasa tak ingin tidur ditemani anda”, Ujar Gumara.
Ki Ibrahim Arkam tersenyum meyakinkan, lalu berkata; “Begitulah ujar Guru saya yang kini saya temui buktinya. Katanya: “Hai putra Arkam, jika kau temui seorang lelaki yang suka berterus terang, jika perlu melukai perasaan orang lain demi keinginannya yang sudah matang, dialah calon Pendekar Besar” ... dan nyatanya kau jadi tamuku, tapi kau minta syarat tidurmu tak ditemani dan yang kau pilih adalah kebunku. Kupersilahkan kau menyatakan apa saja, melakukan apa saja. Kau di sini bukan lagi tamu buatku!”
Hal itu menyenangkan hati Gumara. Siang itu juga dia melakukan latihan yang ia sendiri tak mengetahui kenapa harus demikian. Tak ada bisikan, tak ada pembimbing, kecuali ingin melakukan “permainan” saja. Dan hal ini tanpa dia duga diperhatikan oleh Ki Ibrahim. Latihan itu cuma melompat dan melompat ke segala penjuru, di antara pohon singkong dan pohonan tebu, tanpa kesenggol sedikitpun dengan daun maupun batangnya. Ternyata selama dua jam dia harus menguras keringatnya yang berleleran sampai ketika tiba-tiba ia kaget satu benda seperti dilemparkan oleh
seseorang kepadanya. Dan ternyata benda itu sebuah keris trisulo, yang saat melayang langsung dia tangkap, dan kembali melompat ke permukaan tanah dan tidak menyenggol daun tebu atau singkong.
“Hadiah dariku untukmu”, ujar Ki Ibrahim Arkam di balik rumpun tebu yang di pinggir. Gumara tercengang, dan amat bahagia setelah mendengar pujian: “Aku senang permainanmu, nak Gumara. Sekiranya rumpun tebu dan singkong ini adalah susunan benang kusut kayak sarang laba-laba, maka satu benangpun tidak akan tersentuh ketika kau melompat ke segala penjuru!”
“Pujian tuan dapat membuat saya kesasar”, kata Gumara.
“Tapi tiap orang menuntut ilmu, pasti akan mengalami kesasar. Besar atau kecil.
Ingatlah itu”, ujar Ki Ibrahim. Sampai sehabis selesainya sembahyang iesya di belakang imam Ibrahim Arkam, Gumara pun akhirnya menghatur sembah; “Kuharap maaf tuan, karena malam ini aku sudah katakan ingin tidur sendirian di kebun tuan”.
“Kupersilakan dengan senang hati”, ujar Ki Ibrahim.
Latihan permainan yang tak direncanakan tadi siang rupanya membuat Gumara tidur lelap di antara pohon singkong yang berdaun rimbun itu. Tak ada penerangan, tapi juga tak ada nyamuk. Gumara dalam keadaan ngorok lalu terjaga dengan tiba-tiba.
Karena ia mendengar seperti bunyi benda gemerincing.
Bulu romanya merinding, tidak sebagaimana biasa. Perasaan takut yang amat sangat-yang bukan menjadi ciri kebiasaannya - kini membuat dia seperti seorang penakut yang bulu romannya meremang, merinding tegak! Gumara mendengar lagi suara gemerincing itu.
Mendadak secara mengerikan, kedengaranlah suara dari dua belas penjuru secara menggemuruh: “Banzaiii Tenno Heika! Banzaaaaai!”
Dalam gelap itu Gumara mendengar suara gemerincing pedang, kadang kilatannya karena masih ada sejumut cahaya langit dari timur kebun itu. Kilatan pedang itu membabi buta, dan Gumara sudah melihat dua belas lawannya pada posisi mata angin, Mereka tegap dan berpakaian perwira Tentara Jepang. Tapi semuanya tidak berkepala. Tampaknya duabelas manusia tak berkepala itu penakut. Tak ada kesan mereka akan menyerbu.
“Setan”“, gerutu Gumara sambil merebahkan diri lagi. Tetapi teriakan Banzai mendadak terdengar lagi disertai gemerincing pedang. Gumara berdiam diri saja.
Teriakan itu semakin hebat dan gemerincing pedang semakin mendekat. Dan Gumara hanya berpeluk lutut saja, tanpa mengacuhkan musuh-musuhnya, Gumara sudah diberi patokan, bahwa dia tidak diperkenankan melawan setan. Namun teriak dan gemerincing pedang semakin lama membuat Gumara semakin marah, sehingga dia melompat dari tidurnya seraya berteriak: “Kamu bangsattt!!!”“
Teriak Gumara sempat membuat terdongak Ki Ibrahim yang baru selesai dari sembahyang tahajudnya.
Sementara itu Gumara dengan kemarahan yang amat sangat melakukan pertempuran habis-habisan merebut pedang samurai seluruhnya. Dan dengan dua belas pedang yang silih berganti dia mainkan itu dia membabat musuhnya yang tunggang langgang.
Bersambung...