Sebelumnya...
Dia ramah dan hormat karena dia telah lima puluh tahun ingin mendapatkan Sang Kitab. Tapi tenyata dia jumpa muka dengan calon pemilik syah kitab tersebut, sesuai dengan ramalan bekas gurunya. Pondok yang dimaksud lelaki tua yang berwibawa ini, tenyata satu lobang di sebuah tebing. Tak ada tangga untuk sampai ke lobang itu. Gumara keheranan karena dengan acuan tiga langkah dan dua telapak tangan si tua bertelekan pada permukaan tanah mendadak dia sudah jumpalitan bagai orang bersalto. Seketika itu juga beliau sudah sampai dekat pintu lubang dinding tebing itu.
Dari atassana . Ki Ibrahim Arkam berseru pada Gumara yang masih ada di bawah:
“Hoi pendekar muda, naiklah ke sini”.
“Bagaimana caranya, Pak Tua?” tanya Gumara.
“Ah, kau jangan bercanda, anak muda”, kata Ibrahim Arkam.
Gumara lalu merayap saja di dinding tebing itu seperti seekor cicak. Setiba dia di atas, Ibrahim Arkam menepuk-nepuk bahunya: “Tambah yakin aku bahwa kau yang akan
menjadi pewaris Kitab Makom Mahmuda itu, setelah satu abad terlepas dari tangan Syekh Turki”.
“Ah, jangan besar-besarkan hatiku. Pak”. kata Gumara.
“Aku tak berdusta anak muda. Cuma tiga orang yang berasal dari Kumayan yang
memiliki ilmu cicak. Pertama Syekh Turki. Kedua Ki Karat, ayahmu. Dan kini engkau yang ketiga”, ujar Ibrahim Arkam dengan sopan. Lalu dibawanya Gumara memasuki rumah “di dalam tebing” itu. Segalanya amat di luar dugaan. Rumah dalam tebing itu mirip guha.
Kesamaannya dengan Guha Lebah tidak ada sama sekali.
Kebersihan dalam “rumah kiayi tua” ini amat luar biasa, Beliau berkata setelah
Gumara memuji kebersihan, katanya: “Sesuai dengan hadis Nabi, kebersihan itu sebahagian dari Iman”.
Adadua obor yang terbuat dari kayu belahan pohon karet. Begitu Gumara menoleh,
dia melihat ada semacam kuburan. Dua kuburan malah. Namun sebelum Gumara bertanya. Ibrahim Arkam menjelaskan; “Itu kuburan istriku, yang wafat 50 tahun yang lalu.
Menjelang pengembaraanku mencari Kitab. Dan satunya lagi, kuburan anak lelakiku, yang terbunuh oleh ilmu setan Ki Rotan. Dua-duanya akulah yang memasukkannya ke liang kubur. Tapi jika aku mati, kuharap seorang calon Pendekar Besar yang memasukkan diriku ke liang kubur!”
“Siapa calon Pendekar Besar itu, Pak?” tanya Gumara.
Orangtua itu melirik tepat ke muka Gumara seraya berkata:: “Anda!”
“Siapa tahu saya yang duluan mati, Pak”, kata Gumara.
“Tidak. Ketetapan itu sudah tiba. Guruku yang terakhir. Ki Sabda, pernah menyatakan padaku begini: Mungkin kau yang akan mendapatkan Kitab Makomam Mahmuda itu.
Mungkin juga tidak. Tanda-tandanya tidak adalah, jika kau temukan seseorang
pengembara yang bahkan hujan pun takut membasahi dia, seorang yang rendah hati,
setelah bersua dengan orang itu, ikhlaslah, lalu bersiaplah untuk mati”.
Mata Ki Ibrahim Arkam tampak berlinang. Gumara tak habis heran, dan sebetulnya
sudah yakin. Tapi bagaimana mungkin seseorang meramalkan kematianya” Bukankah mati itu rahasia Tuhan?
Tapi kesempatan ini ingin digunakan oleh Gumara. Dulu ia pernah membaca buku
semasa masih Sekolah Guru Atas (SGA). Ia lupa nama pengarangnya.Tapi ia tidak lupa pesan pengarang itu yang berfatwa: “Berguru kepada orang yang hidup itu baik, tetapi berguru kepada ORANG YANG AKAN MATI itu lebih baik!” Jika benar Ibrahim Arkam akan mati, ia siap untuk berguru kepadanya.
Pertama setelah dia dijamu minuman tebu yang sudah diperas, ia ingin bertanya, di manakah Ki Ibrahim Arkam medapatkan tebu. Lalu, kedua ketika tengah hari dia
disuguhkan makan siang dengan hidangan singkong rebus. Dia bertanya dalam hati, dari manakah Ki Ibrahim dapat singkong rebus. Setelah makan siang itu, dia mengikuti bersembahyang lohor. Tapi ya Allah, betapa orangtua ini lamanya berdiri membaca ayat-ayat Kitab Suci Al-Quran. Juga betapa lama dia rukuk dan sujud.
Apakah yang dibaca guru tua ini ketika berdiri, rukuk dan sujud?”
Ketika Gumara melihat tumpukan singkong-singkong yang sebesar paha tak tahan
lagi Gumara bertanya: “Dimanakah tuan guru membeli singkong ini?”
“Di tanam sendiri”.
“Tebu-tebu itu?”.
“Juga hasil kebun tebuku”
“O, mana kebun anda?”
“Di sini. Di sini”, ujar pak tua itu menunjuk tempat mereka duduk. Gumara
tercengang. Tapi sebelum dia bertanya lagi, orangtua itu mengajak Gumara menuju satu lorong. Tiap tiga meter ada obor kayu karet. Lalu tampaklah sebuah kebun.
Bayangkan! Kebun di bawah tanah. Rupanya ada terowongan raksasa peninggalan Bala Tentara Jepang yang sudah diperlengkapi dengan gardu-gardu listrik. Dan kebun di bawah tanah ini benar-benar subur. Tenyata tebing itu tembus menghadap ke timur.
Setidaknya sampai jam 10 pagi kebun di bawah ini sudah menikmati cahaya matahari
secara total. Tinggi terowongan ini adalah 10 meter. Jadi pohonan seperti pohon singkong dan pohon tebu tidak akan sampai menjangkau langit-langit terowongan Jepang ini. Gumara sampai geleng-geleng kepala. Kalau sekiranya orang melihat dari arah timur, orang takkan percaya di sini ada kebun di bawah tanah.
Paling yang tampak hanya kehijauan biasa saja...
Keheranan Gumara rupanya tidak akan berhenti di situ saja. Ki Ibrahim Arkam
menyeret lengan Gumara ke sudut tenggara. Ternyata di situ ada semacam pintu beroda. Ketika pintu beroda itu didorong Pak Tua itu, terbukalah satu ruangan.
Alangkah terkejutnya Gumara! Bukan main! Satu ruangan yang indah dengan dekorasi rumah-rumah bangsawan Japang. Wallpaper yang menghiasi ruangan itu merupakan dekoratif khas Jepang. Tempat tidurnya pun tingginya cuma sejengkal. Di timur, di barat ruangan yang mirip kamar hotel ini, ada kaca setebal satu sentimeter.
Kaca ini benar-benar berfungsi sebagai jendela yang akan menyerap sinar dan ultra violet matahari. Tak bisa dibayangkan jika malam, kebetulan Bulan Purnama!
Adapula wastafel dan kran-kran air ledeng. Juga ada kamar mandi. Maka yakinlah
Gumara mengapa Ki Ibrahim Arkam ini terawat bersih. Di kamar mandi ada persediaan biji-biji buah klereg, yang bisa berfungsi sebegai sabun.
“Bisa mandi di kamar mandi ini, Pak?” tanya Gumara.
“Lho bisa saja. Kalau puteran itu (maksudnya kraan) diputar, maka akan keluar air.
Setelah aku selidiki, air ini datangnya dari pipa yang menembus dua bukit. Air ini datangnya dari air terjun Ratu Stanggi!”
“Ratu Stanggi!” seru Gumara tercengang, karena baru mendengar nama itu.
“Kamu baru mengenal nama itu?” tanya Ki Ibrahim Arkam.
“Baru kali ini. Ayahku pun tidak pernah menceritakan, Pak”.
“Supaya kau kelak menyaksikannya sendiri, lalu merasa heran. Ratu itu sebetulnya
Ratu Jin yang sepertinya bertugas sebagai saringan bagi orang-orang yang akan menjalani keutamaan hidup”, kata Ki Ibrahim Arkam. Gumara kini lebih tertarik untuk memutar kraan. Memang muncratlah air dari atas. Saking girangnya Gumara tak membuka baju kemeja putihnya maupun celananya, bahkan dia berbasah-basah kegirangan menikmati air bersih! Ki Ibrahim menyembunyikan perasaan gelinya.
Bersambung...