Sebelumnya...
Ucapan sang Guru yang biarpun kini ilmunya lebih rendah daripadanya. membuat Ki Harwati bergelimang gelora bakaran semangat. Dia tak menuggu waktu setelah berkata:“Ki Guru benar!”
“Kau telah membuktikan bisa mengambil sekeping ilmu stanggi Ki Pita Loka. Kini
ambillah ilmu Ki Tunggal atau Gumara atau gabungan dari keduanya bila kau bisa membinasakan dua-duanya!”
“Baik Ki Guru!”
“Bawa tongkatmu!” kata Ki Rotan.
Ki Harwati hanya tersenyum dalam hati, sebab senjata rotan itu sudah tak ada
perlunya lagi.
Dia berkelibatan dengan lincah melompati dahan demi dahan. Sampai subuh tiba dia
masih berlompatan dari dahan ke dahan dalam rimba-rimba ke arah utara.
Setelah dua setengah kali bola matahari bergelincir, pada siang bolong yang gemercik hujan gerimis, sampailah dia di tengah Bukit Tunggal. Matanya menyelidik. Dia tak melihat, bahwa di bawah satu pohon kemumu Ki Tunggal sedang duduk bersila seraya menghembuskan radiasi bertenaga neutron ke arah Gumara yang juga duduk bersila, dengan hembusan tenaga radiasi yang berkekuatan seimbang. Tampak sinar hijau berganti merah silih berhembus dari dua mulut jawara itu ... tapi Ki Harwati tak melihatnya, sehingga ketika dia melintasi gadis itu ... dia merasa terbakar dan berteriak seraya melompat, melolong kesakitan bagai anjing betina kena sulut.
Waktu dia melompat mundur dan mundur sangatlah jelas oleh matanya dua perkelahian secara hening sedang terjadi. Nasehat gurunya dia laksanakan. Dia mendekati tempat Gumara duduk bersila di bawah pohon kemuning dan berseru lantang:“Aku membantu anda, kakakku Ki Gumara!”
Teriakan ini membuat Ki Tunggal terkejut dan melompat menyiapkan kuda-kuda
mempertahankan diri. Dengan sekelebatan bagai angin puting beliung, Ki Harwati sudah menyerbu menabrak membenturkan telapak kakinya, tepat mengenai dada Ki Tunggal.
Seketika itu juga Ki Tunggal muntah darah ...!
Menyaksikan Ki Tunggal roboh, Ki Harwati jadi kesetanan. Dengan mata bernyala
dia menoleh pada Gumara. Gumara merasa senang karena adik tirinya, satu titisan darah, bisa merubuhkan Ki Tunggal.
Dengan basah kuyup dan juga dikuyupi keharuan jiwa, dia berdiri melangkah menuju
Ki Harwati. Tetapi tanpa dia duga Harwati melompat dengan terjangan yang lebih dahsyat dari terjangan pertama. Untunglah sebelum telapak kaki adik tiri yang akan menggedor dadanya itu sampai, Ki Gumara menghembuskanya dengan napas inti, sehingga Harwati berteriak melolong!
Telapak kaki sang adik tiri itu bolong seketika!
Dia terus melolong.
Rupanya sementara peristiwa ini terjadi. Ki Tunggal sudah bangkit kembali setelah dia sadap dengan hirupan seluruh darahnya yang sudah tumpah dari mulutnya tadi.
Dengan gerak puting beliung dia sekaligus menyabet tubuh Harwati hingga terlempar masuk ke rumah nipah dan menjebol dinding yang lebarnya sejengkal itu. Sekaligus pula sabetan itu menabrak tubuh Gumara yang langsung terpeleset dan meluncur
bagai meluncurnya bola bowling.
Tubuh itu menabrak tiga pohon kelapa yang tumbang sampai akar-akamya mencuat, dan terakhir menabrak lagi satu pohon kecapi yang amat tinggi. Pohon ini juga tumbang.
Bunyi pohon besar itu bergemuruh ke tebing di bawah. Dan Gumara meluncur jatuh
memasuki tebing yang tingginya 80 meter itu. Untunglah tubuhnya nyangsang di sebuah pohon miring yang tumbuh di tengah tebing itu. Rupanya ikat pinggang Lee yang dia pakai itulah yang menyelamatkanya dari kehancuran.
Sungguh hebat ilmu Ki Tunggal, fikir Gumara. Pujian itu memang sungguh-sungguh.
Hal ini sesuai dengan apa yang pernah dikatakan oleh Ki Karat, ayahnya, maupun Ibunya. Tapi di balik pujian itu, sembari terengah-engah menuruni tebing lewat batu-batuan raksasa itu. Gumarapun sebenarnya tidak begitu silau pada kehebatan Ki Tunggal.
Ilmunya baru dirasakan istimewa justru dalam memanfaatkan perkelahian segitiga. Yaitu setelah munculnya Ki Harwati secara mendadak. Jika Harwati tidak muncul mungkin keadaan akan sangat lain. Tetapi, baru ia ingat nasehat gurunya, bahwa perkataan “jika” bukan milik seorang ksatria.
Gumara masih terengah-engah. Tentu saja perkelahian dengan Ki Tunggal itu bukan
sembarang perkelahian. Itulah perkelahian dua malam tiga hari yang mungkin belum pernah dialami oleh seorang Jawara manapun. Tetapi dirasakan hebat karena masing-masing tidak menghadirkan harimau karena kuatir saling mengetahui kelebihan dan kekuranganya.
Dalam lelah itu, Gumara duduk di batu. Rupanya musim penghujan sudah mulai. Jauh
disana , tampak Bukit Kumayan seperti mengepulkan kabut. Jelaslah itu pembalikan
sinar matahari atas hujan yang sudah menderas disana . Tapi di tempat Gumara duduk
ini, dia tidak basah. Padahal gerimis ada di sekelilnginya!!!!! Gumara berdiri tegak
dengan kaget? Dia heran! Hanya di seputarnya saja tiada gerimis?
Ini tentu ngalamat! Ini tentu suatu pertanda, pikinya.
Jarak tujuh langkah dalam radius titik sentral dia berdiri itu, benar-benar seluruhnya kering!. Biasanya dia mendapatkan suatu ngalamat lewat mimpi. Kali ini tidak seperti biasanya. Mengapa?
Lalu munculah seorang tua yang pakaianya lusuh. Tongkatnya yang bercabang dua
pertanda bahwa orangtua tak dikenal ini adalah orang yang bukan manusia biasa.
Pasti ada isi. Kesan Gumara orangtua berjanggut putih dengan jubah lusuh itu
menampilkan watak pribadi berwibawa. Beliau memanggil tuan guru kepada Gumara.
“Maaf Pak Tua. Saya bukan tuan guru. Saya memang guru, tapi guru SMP yang
melihat keindahan alam di sini karena sekolah sedang libur kwartal”, kata Gumara dengan berendah hati.
Namun orangtua itu tersenyum bijaksana. Gumara memperkenalkan diri lebih dulu,
kemudian bertanya:“Pak tua namanya siapa. Pak?”
“Nama saya Ibrahim Arkam. Saya telahlima puluh tahun ingin mempertinggi ilmuku.
Tapi seluruh penjuru yang kucari, tidak bersua”.
“Apa yang Bapak cari. Pak Ibrahim?” tanya Gumara sopan.
“Kitab.”
“Kitab apa. Pak Ibrahim?”
“Sebuah kitab sakti. Kitab Makom Mahmuda”, ujar Ibrahim tua.
“Saya tak pernah mendengar nama Kitab itu!” kata Gumara.
“Tapi andalah calon yang menemukanya”. Kata Ibrahim Arkam, Gumara tercengang.
“Apa isi Kitab itu?” tanya Gumara.
“Rahasia Kehidupan. Anda akan mengetahuinya jika sudah membacanya. Kehidupan
ini penuh banyak rahasia. Tapi jika kita sudah menemukan satu kuncinya. kita mendapatkan derajat tinggi!”
Ibrahim Arkam lalu mengulas ucapannya lagi: “Kau lihat, bukti bahwa kau terlahir
sebagai anak sakti adalah ini. Di sekitarmu ini. Lihat, selingkaran tempat kau berdiri
ini tidak terkena hujan. Bajumu kering. Sedengkan bajuku basah kuyup. Ini berariti aku sudah cukup puas bertemu seseorang yang kelak akan mewarisi Kitab sakti Makom Mahmudah itu”.
“Kenapa harus saya?” tanya Gumara, “Bukankah Bapak mengembara selama ini untuk mencari Kitab itu?”
“Memang begitulah jalan Nasib. Bukankah yang itu yang aku inginkan? Tuhan sendiri pernah berujar: “Apa yang kau sukai belum tentu engkau dapatkan. Dan apa yang engkau dapatkan belum tentu kau sukai. Tapi apa yang engkau sukai belum tentu baik bagimu”, maka aku cukup puas mengembara hingga titik akhir ini! Bila misalnya Kitab Sakti itu, yang aku sukai itu, aku dapatkan, belum tentu itu BAIK UNTUKKU. Tapi kau?
Aku tahu kau tidak mencari-cari dengan ngoyo untuk mendapatkannya. Namun akhirnya kau yang akan mendapatkannya”, kata si tua Ibrabim Arkam pun kelihatan matanya berkaca-kaca.
“Tapi kenapa Bapak begitu yakin bahwa sayalah orangnya yang terpilih mendapatkan
Kitab Sakti itu?”
“Guruku banyak. Salah seorang di antaranya adalah Ki Tunggal yang menjadi penguasa Bukit Tunggal disana . Setidaknya calon pemilik Kitab Sakti itu biarpun cuma sekali saja, akan pernah bertemu dengan dia”.
Sungguh kagum Gumara dengan ramalan yang memang ada bukti itu.
“Ki Tunggal yang telah memberi tahu kepadaku, bahwa calon pemilik Kitab Sakti itu harus memiliki tiga unsur kekuatan: Kekuatan benda padat, kekuatan benda cair dan
kekuatan gelombang, apa itu udara, cahaya ataupun gas yang bermutu tinggi.
Bersyukurlah kau. Mari singgah ke pondokku”. Ujar Ki Ibrahim Arkam dengan ramah dan hormat.
Bersambung...