Sebelumnya...
Senik Makuto yang polos itu segera memeluk suaminya:”Kak, jangan berkata begitu! Senik sudah dikutuk dan diusir orang tua dan orang sedesaku! Kakak jangan mati!” Ki Tunggal bahagia dan menoleh pada isterinya yang beda usianya 86 tahun dengan dia. Dia tersenyum dan berkata:“Kalau begitu, Ki Gumara yang wajib aku matikan! Jika aku yang mati. Ilmu tunggalku akan berpindah secara alami kepadanya. Tapi jika dia yang mati dan aku yang hidup, maka ilmunya memperganda ilmu yang aku punya. Tapi kenapa dia
datang? Untuk apa dia datang?
Pintu daun nipah itu berkibas-kibas, mulanya lambat. Lalu lebih cepat. Kepala Ki
Tunggal terdongak. Senik Makuto yang melihat perubahan wajah suaminya juga menoleh ke pintu dengan rasa kecut.
“Aku tahu kamu yang datang Ki Gumara!” teriak Ki Tunggal.
“Betul Tuan Guru yang mulia. Bolehkan saya masuk?”
“Boleh, hanya apabila daun Pintu itu berhenti berkipas!”
Pintu daun nipah yang semula bergoyang kipas itu mendadak berhenti berkibas. Satu sosok berdiri dengan sepenuh keagungan membuat Senik Makuto harus melepaskan
nafas; “hahhhh”, yang didengar oleh Ki Tunggal, suaminya Ki Tunggal menoleh dan
menyindir: “Kau terpesona dengan lelaki muda itu?”
Senik Makuto termalu-malu sipu.
“Inilah justru yang aku kuatirkan, Gumara. Kau datang begitu cepat. sedangkan bulan maduku bersama isteriku tercinta ini barusan berlangsung 37 hari. Kenapa kau tidak datang di hari ke-41?”
Gumara menghentikan langkahnya, lalu berkata:“Setahu saya, Tuan Guru lebih faham kenapa saya melangkah ke sini. Bukankah ilmu tuan yang agung itu pernah menyebar ke seluruh penjuru, hingga ayahku mendengar berita itu!”
Berita apa itu?”
“Ayahku berkata, bagi tuan ada empat patokan: Langkah. rejeki. jodoh dan maut,
hanya Allah yang menentukan”, ujar Gumara hormat.
“Hmmm. Apa belul si Ki Karat itu ayahmu?” tanya Ki Tunggal.
“Saya ke sini atas nama kedamaian, bukan atas nama prahara. Kenapa tuan tuduh saya manusia tak punya Ayah. Hanya ada dua manusia setahu saya yang tak punya ayah,
yaitu Adam dan Nabi Isa, bukan begitu?”
“Yang kumaksud kau anak haram jadah”, kata Ki Tunggal seraya menoleh pada
isterinya yang cantik dan bertanya: “Kau dengar ucapanku, Nik?”
“Apa betul orang segagah ini anak jadah?” tanya Senik Makuto.
“Betapapun tinggi ilmunya, dia manusia yang hina”, kata Ki Tunggal yang membuat
Gumara yang semula sopan lantas merentakkan kakinya sampai mengagetkan Senik yang lantas menjerit.
“Jangan menjerit”, kata Ki Tunggal memperingatkan isterinya, “Aku memang
memancing kemarahannya, agar dia cepat mati karena melawan Guru Besar!” Ki Tunggal seketika itu juga merasa yakin usianya sama persis dengan lawannya, Gumara. Begitu cekatan dia ketika menerkam Gumara dengan auman mirip suara harimau.
Tetapi Gumara menangkisnya lawannya dengan auman pula. Ini membuat Ki Tunggal
kaget. Dalam hatinya dia berkata: wah, anak ini sudah seilmu denganku”.
Ki Tunggal menghambur dengan auman lagi, tapi Gumara tegak kokoh dan mencakar
mukanya dengan gerak diam tegak lurus. Setelah dia cakar dia pegang sebelah kaki
lawannya dan dia banting. Tubuh Ki Tunggal melintir bagai gasing lepas tali! Gumara
menggeram. Ki Tunggal menyeringai dan bangun lagi yang kali ini cepat menyergap lengan Gumara dan dibantingnya dalam sedetik itu juga.
Debu lantai menguap ke udara. Tapi seketika itu pula ketika satu sodokan mencakar mau mengenai muka Gumara, Gumara pun menyergap pergelangan tangan Guru Besar itu dan membantingnya sedetik itu pula. Debu menguap lagi. Tapi Senik terpaku penuh pesona. Dia mengagumi suaminya maupun Gumara.“
Gumara lalu meringankan tubuhnya agar apabila dia kena serangan apapun, resiko
remuk tidak dialami. Ketika dia melihat Ki Tunggal menjungkir dengan satu telapak
tangan ke lantai, ia sudah terka bahwa satu kaki Guru itu akan menerjang dadanya.
Jika ini dibiarkan tendangan itu akan merupakan hantaman telapak kaki yang bisa
muntah darah. Untuk itulah analisa sedetik Gumara membuat dia mengosongkan udara di perutnya seraya mengangkat tubuh satu hasta. Tendangan telapak kaki yang miring itu tepat mengenai perut Gumara. Yah, dengan ringan perut Gumara menahannya, sementara saking kencangnya tendangan Guru Tunggal itu ... tubuh Gumara terlempar, menghantam dinding nipah yang tebalnya sejengkal Dinding itu jebol, dan Gumara terlempar keluar.
Dia melakukan salto, berjumpalitan di atas rumputan di depan padepokan Ki Tunggal.
Tapi seketika salto itu berekhir dengan kedua kakinya berdiri tegap menghadap,
muncullah Ki Tunggal keluar dari pintu. Dengan telapak tangan keduanya ia hadapkan kedepan serta tenaga dalam yang diolah dari pusar lewat puncak kepala lalu terhembus lewat mulutnya, terhembuslah gelombang udara panas dan mulut itu dengan kecepatan bintang pindah.
Ki Tunggal menahan panasnya wajahnya terkena radiasi yang ia tahu datang dari
mulut Gumara.
Tokoh tertua yang pernah dikagumi oleh enam manusia harimau dari Kumayan ini
terus bertahan menahan panas. Begitu panasnya radiasi gelombang yang dihembuskan mulut Gumara, hingga tampaklah asap pada kumis dan Janggut Ki Tunggal. Kumis dan janggutnya hangus kini ...
Tapi beliau tetap tegak dengan pertahanan tenaga dalam. Juga tenaga ini bersumber pada sari nafas yang diolah dari puser-puser. Begitu padatnya perang terhalus ini,sampai ubun-ubun Gumara menciptakan ucapan asap, dan ubun-ubun Ki Tunggal pun mengepulkan asap.
Ketika pertempuran dalam diam beginilah Senik Makuto mulai ngeri Kalau tadi dia
terkagum-kagum oleh pertempurangaya persilatan yang berupa gerak anggauta tubuh, kini wanita muda usia itu bukan lagi terkagum.
Senik ngeri!
Senik ingin berteriak tapi lidahnya kelu saking tegang. Pada puncak ketegangan
tempurgaya hening begini, maka hujan gerimis pun turun. Baik Ki Tunggal, maupun Gumara sama menahan nyeri. Kepala mereka ibarat kekenceng besi dijerangan yang tiba-tiba diguyur air. Ssssssssssss….. Suara itu sama muncul dari kepala Gumara dan Ki Tunggal, desis kehangusan mengerikan...
Kekerasan hati adalah modal bagi seorang juara, itulah yang diperlihatkan oleh gerak diam Gumara maupun Ki Tunggal! Hujan gerimis berubah menjadi hujan deras,
diselang seling oleh petir menyambar.
Satu petir yang amat dahsyat yang menciptakan garis lurus kilatan listrik bergemuruh.
Garis listrik itu memanjang jelas dari utara ke selatan, menciptakan bekas yang jelas.
Garis petir itu seakan-akan dibagi dua yaitu jarak tiga meter ke Gumara dan tiga meter ke Ki Tunggal. Garis petir itu telah membedah hutan belantara melampaui dua bukit ke selatan. Pada bukit yang ketiga, Bukit Rotan. ujung garis petir itu menghantam satu-satunya pohon kelapa. Di sini menggelegarlah puncak suara dahsyat!
Harwati melompat dan sekelebatan sudah berdiri depan rumah jeraminya. Matanya
melotot melihat pucuk pohon nyiur yang terbakar, begitupun batang pohon nyiur itu
kelihatan seperti gagang obor.
Biar hujan lebat, api yang membakar pohon kelapa itu tidak padam. Api itu bagaikan api yang bertenaga nuklir dengan sulutan minyak bensol gas berdaya bakar tinggi.
“Adaperistiwa besar, Guru!” teriaknya pada Ki Rotan yang juga muncul dari rumah
jeraminya.
“Apa pendapatmu!” teriak Ki Rotan.
Harwati berlari di tengah hujan dan petir itu menuju pondok jerami gurunya. Dalam basah kuyup itu dia berkata;“Aku mengikuti kejadian ini sejak awal. Sekarang ini malam Selasa, Hujan akan tak berhenti selama tiga bulan mendatang. Kulihat bola api bagai bergulingan dari langit,jatuhnya tepat kira-kira di Bukit Tunggal di utara. Lalu bola api itu membentur kawasan Ki Guru Tunggal, menciptakan garis lurus ke wilayah kita ini setelah membakar dua bukit perantara; “Ah, aku yakin sedang terjadi pertempuran silat besar antara dua raksasa disana !”
“Siapa kira-kira yang melakoni perang dahsyat ini?” tanya Ki Rotan.
“Ayahku pernah menceritakan bahwa suatu kali bola api akan turun dari langit, jatuh di ubun-ubun Bukit Tunggal. itu lambang perebutan ilmu dan yang akan bertanding
disana adalah turunan Ki Karat. Ya, turunan ayahku! Kurasa Ki Gumara sekembali dari sini lewat ke Bukit Tunggal itu, padahal itu pantangan. Disana dia akan dicegat Ki Tunggal yang iri hati, lalu bertempurlah kakak tiriku dengan beliau. Tapi... bukankah ayahku berkata bahwa turunannya yang akan menang? Aku inikan turunan Ki Karat?”
Mendengar kisah Harwati itu, Ki Rotan berkata bersemangat pada muridnya: “Ayoh,
Ki Wati, segera langkahi dua bukit itu supaya kau sampai ke Bukit Tunggal. Kau ganggu pertempuran dua orang itu! Kau jadi orang yang ketiga! Tipu keduanya, dan habisi keduanya Bukankah kau yang akan jadi pemenang? Bukankah kau yang dimaksud ayahmu sebagai pewaris ilmu tertinggi itu?”.
Bersambung...