Sebelumnya...
Kepalanya menabrak pohon. Gumara tahu, murid setia Ki Pita Loka sudah pingsan seketika itu juga. Bayangkan! Benturan itu sempat mematahkan pohon! Gumara bersikap amat tenang menghadapi Ki Pita Loka! Guru berhadapan dengan Guru. Matahari yang mulai bersinar, kebetulan menimpa muka Pita Loka, sehingga jelas bahwa Pita Loka amat marah, dia dengar Pita Loka membentaknya: “Pergi kau dari sini! Aku tidak membutuhkan kamu!”
Itu bagi Gumara satu penghinaan. Dia bukan ingin pergi, tapi ingin melanjutkan
perkelahian, jika perlu dengan Guru terhormat dan terkenal ini.
“Jika muridmu sudah pingsan, Ki Pita Loka, itu berarti dia harus diganti..... Tuan tentu maklum, Guru yang kuhormati” kata Gumara.
“Aku? Aku tak layak untuk berhadapan dengan anda”, ujar Ki Pita Loka dengan nada
angkuh. “Sekalipun kau bersama saudara tirimu Ki Harwati, Ki Rotan dan lain-lain
itu, semuanya masih sebesar kelingkingku!”
Dasa Laksana barusan sadar dari pingsannya. Dia berada di sebelah timur.
Dilihatnya Ki Pita Loka berdiri berhadapan dengan Gumara. Sang Guru, berada di sebelah barat Sehingga sorot matahari seakan-akan mau memperlihatkan kecantikan sang Guru secara sempurna. Birahi sang murid bangkit, disertai cemburu besar. Gumara harus
dimatikan! Dia telah didorong oleh keinginan mendapatkan ilmu Gurunya secara sempurna dengan bersatu tubuh sehabis perkelahian memusnahkan Gumara. Tekad itulah yang membuat Dasa Laksana sepenuh tenaga muncul di antara berdirinya Pita Loka dan Gumara. Ia langsung berhadapan dengan Gumara. Dia menjadi jengkel ketika Ki Pita Loka berkata: “Ayohlah! Bertempur melawan muridku! Dia muridku, bukan suamiku, bukan pula kekasihku! Ayoh lawan dia!”.
“Kau tak suci lagi”, tuduh Gumara.
“Tak suci? Jika kunodai hatiku dengan godaan iblis, maka tirai stanggi akan runtuh menjadi sumur. Itu harap anda ketahui, Guru! Dan aku tidak ingin melepaskan ilmu yang aku dapatkan secara ghaib dalam keadaan hati merasa karena sikap ragu engkau,
Guru”.
Jika demikian fikir Gumara seketika itu, tentulah dia mencintai saya! Dia lari ke pengasingan ini karera harga diri! Dia musuhi aku karena harga diri. Lalu, Gumara
memutuskan menyerah kalah.
“Gumara bukan bertekuk lutut atau kalah. Gumara juga bukan patah semangat.
Sekiranya saja dia mau menampilkan kemampuan ilmunya yang dia warisi dari
ayahnya sebagai tambahan pelengkap, itu saja sudah cukup untuk melawan semua Jurus yang sudah ditampilkan Dasa Laksana tadi.
Tidak, fikir Gumara. Aku mesti bersaing secara sehat. Betapapun jengkelnya aku
dengan ucapan Ki Pita Loka, setidaknya aku hormat pada pendiriannya. Dia masih suci. Lidah Pita Loka dapat dipercaya. Sebab setahu dia tak ada di dunia ini gadis dengan lidah yang ada bulunya. Lidah demikian mengandung pertanda kelebihan dari semua lidah berjuta-juta manusia normal.
“Selamat atas kemenangan anda”, kata Gumara pada Dasa Laksana. Dia mengulurkan
tangannya, lalu dia mengaduh-aduh karena dipencet oleh Dasa. Dan setelah mengerang kesakitan. Dasa lebih bersemangat untuk membuktikan kejantanannya di depan Pita Loka ... diangkatnya secepat kilat lalu dibantingnya Guru Gumara.
Terbanting begitu, Gumara menjerit kesakitan.
“Sudah, tuan. Saya sudah mengaku kalah. Setidaknya dalam persaingan cinta dalam
memperebutkan gadis sakti semacam Ki Pita Loka yang terhormat ini. Semoga kalian berdua dapat menikah secara konkrit dan berbahagia”, dan ucapannya yang merendah itu membanggakan hati Dasa Laksana, sebaliknya menyakitkan hati Pita Loka.
Gumara membetulkan bekas-bekas tanah yang menempel di baju dan bagian tubuhnya karena bantingan terakhir Dasa tadi. Lalu dia melangkah. Tapi Pita Loka bergegas mengejar dan berseru: “Tunggu Guru Gumara!”
Gumara, tanpa menoleh tapi menghentikan langkah, bertanya memunggung: “Apalagi
yang kau akan katakan, Ki Pita?”
“Anda mau ke mana?”
“Mau ke mana tanya Ki Guru terhormat?”
“Ya”.
“Aku akan ke desaku Kumayan. Kembali ke masyarakat manusia biasa. Aku toh bukan manusia sakti seperti anda yang mulia dan Ki Dasa Laksana yang terhormat”.
“Tapi betapapun, maafkan saya”, kata Ki Pita Loka.
“Kecuali andaikata jiwa saya bergetar kembali, tentu langkah sayapun akan tertuntun mengikuti getaran itu”, ujar Gumara.
“Getaran apa itu?”“ bentak Dasa Laksana.
“Anda pria. Saya pria. Kita sama-sama maklum”.
Gumara melangkah lagi. Dasa bersemangat dan berteriak mengancam: “Nanti dulu,
Bung! Tunggu!”
Langkah Gumara henti seketika. Tapi sebagaimana dia bicara dengan Ki Pita Loka
tadi, kali ini pun memunggungi: “Tuan sudah menang, perlu apa lagi?”
“Kurasa kamu bermaksud kembali lagi untuk membalas dendam”. kata Dasa.
“Ah..” .
“Katakan kalau kau jantan, Gumara?” teriak Dasa.
“Soal mengatakan atau tidak mengatakan itu hak saya. Tiap pribadi punya hak mutlak untuk berkata ya atau tidak. Dan tuan tidak perlu memaksa saya !” Gumara cepat
melangkah menuruni Bukit Lebah itu.
“Bangsat!” geram Dasa Laksana meninju kepal tinjunya ke telapak tangan. Akhirnya
ditinjunya pohon langsat di sampingnya sehingga hancur dan roboh.
Setelah melihat Gumara jauh dan jauh terus menuruni tebing menjadi bintik noktah
disana , Ki Pita Loka memejamkan mata. Satu perasaan retak di hati terasa pedih.
Ketika matanya yang terpejam tadi dia buka, lalu dia menoleh ke samping, dia
melihat Dasa Laksana duduk di batu besar dengan kepal tinju menupang dagu.
Kedua insan itu saling bertatapan mata.
“Kurasa setelah Guru Gumara pergi, anda pun pergi”, kata Pita Loka. Dasa Laksana
terdongak kaget. Dari duduk dia berdiri. Dan berdiri dia melangkah menghampiri Pita
Loka. Dari melangkah dia berhenti. Dan dari berhenti itu dia lantas berkata: “Ki Pita,
guruku. Apa maksud anda supaya saya pergi? Bukankah itu berarti saya harus meninggalkanmu?”
“Ya. Dia dan kau harus meninggalkan saya”, kata Ki Pita Loka.
“Tapi bagaimana saya harus pergi?Kota terdekat adalah 100 KM dari sini. Sedangkan mobilku dan semua perlengkapanku sudah kau buang, Guru!”
“Sebaiknya anda pergi, Dasa!”
“Pita Loka!” Dasa berseru lantang saking kesal.
“Ikuti ucapan Guru Gumara tadi. Kembalilah kamu ke masyarakat manusia biasa
seperti kamu sebelum kenal saya”, ujar Pita Loka berwibawa. Hal ini membuat Dasa
Laksana menyeringai sedih dan berkata seperti menguras seluruh isi kalbunya: “Saya
sudah terikat dengan masyarakat kau, sekalipun masyarakat itu terdiri dari dua orang
di sini: kau dan saya”.
Sementara itu, Gumara bagai terlunta-lunta sudah melewati dua buah bukit. Dia
lemaskan seluruh otot ketika melangkah. Dia seakan-akan kosong dari segala kekosongan. Dibilang dia bertenaga, sepertinya dia bukan melangkah melainkan mengapung. Dibilang tak bertenaga, dia mampu memanjati berbagai dinding-dinding curam di antara bukit dan bukit. Juga, jika dibilang dia seenaknya tak ambil perduli atau jatuh atau terpeleset pun tidak. Bahkan begitu hati-hatinya Gumara ketika terpeleset di jurang lain sempat menangkap satu akar dari pohon yang tumbuh di tepi jurang, lantas, begitu sadar dia menarik nafas dan berkata: “Ya Allah. syukur alhamdulillah umurku masih Kau perpanjang”.
Masih dinaikinya satu bukit lagi menjelang pulang menuju desa Kumayan, yaitu
Bukit Tunggal.
Ketika pergi dari desa Kumayan hendak menjemput Harwati atau Pita Loka. dia
memang sengaja menghindar dari jalur Bukit Tunggal .Tapi entah bagaimana dia menjadi tercengang saja sewaktu sadar bahwa dia sudah berada di kawasan kekuasaan Ki Tunggal.
Berdasarkan mimpinya yang sama bentuk sebanyak tujuh kali mimpi pada tiap malam
Jum”at berturut-turut, dia sudah dilarang oleh Ki Tunggal untuk menjumpai beliau.
Jika berhadapan muka, akan terjadi bencana.
Maka orangtua sakti itu pun merasa perasaannya tak enak di kala maghrib tiba
sehingga dia berkata pada isterinya yang berusia 16 tahun itu: “Nik, apa kau tidak
merasa malam ini kelihatannya seperti akan terjadi sesuatu?”
Senik Makuto yang cantik talu tersenyum;;; “Adabarangkali seseorang yang mau
menguji Tuan?”
“Ha?, tebakanmu jitu! Itulah yang kurasakan!”
“Kalau begitu pertanyakan!” ujar sang isteri.
“Bawa ke sini dupa itu, Nik”, ujar sang Guru yang berusia 100 tahun itu. Bau asap dupa melingkupi tempat bertapa Guru Tunggal itu. Wajahnya diasapi. Asap itu
seakan-akan masuk cepat ke paru-parunya, lalu paru-parunya seakan dipenuhi oleh
asap, yang kemudian memasuki seluruh pembuluh darah. Beliau yang tadi keriput
secara perlahan seperti tampak muda selama lebih dari dua jam perkembangan pengaturan nafas yang amat cepat dan mengerikan. Tapi Senik Makuto bukan ngeri, melainkan senang. Pertamakali dia jumpa dengan Sang Guru sampai tergila-gila bukannya menemukan orang tua loyo keriput. Dengan mata jelalatan penuh birahi.
Senik Makuto memperhatikan wajah suaminya yang penuh ketegangan namun makin lama semakin muda.
“Kini usiaku sudah semakin mendekati usia orang itu”, ujar Sang Guru.
“Siapa orang itu yang tuan maksud?”
“Ki Gumara. Manusia perkasa. Dia datang terlalu cepat. Belum semestinya dia hadir di sini!”
“Apa yang tuan rasakan?” tanya Senik terheran.
“Aku sedang membencinya”, geram Ki Tunggal dan matanya mulai merah.
“Kenapa Tuan membencinya?”
“Dia akan berguru kepadaku. Dia mencoba melawan ketetapan Yang Maha Kuasa.
Dia datang ke sini kelewat cepat, sebelum keharusannya. Apa boleh buat. Semua soal selalu dengan dua kemungkinan. Ya atau tidak. Bila ya ini berarti aku harus mati.
Sedangkan aku belum waktunya mati”.
Bersambung...