Sebelumnya...
Rupanya persilatan inilah yang dikenal sampai jadi semacam dongeng di Kumayan. Mengagumkan. Makin jelas sinar matahari tampil, semakin jelas pula Pita Loka dalam intipannya di balik dedaunan. Kerinduannya pada muridnya kini bergumul dengan kecemburuan.
Kecemburuan inilah yang membuat dadanya sesak…Dia cepat merayapi dinding tebing tanpa menyentuh lagi permukaan sungai. Demikian cepatnya gerak merayap itu mirip seekor cicak layaknya! Dan seketika dia muncul di tebing Bukit Lebah, menyaksikan Pita Loka seketika itu bersama pria, dia berteriak tanpa sadar, sekeras gemuruh dari kawasan langit: “Pita Loka! Aku Gumara!”
Ki Pita Loka bangkit berdiri tegap. Matanya menatap tajam pada Gumara. Tangannya
dilipat ke dada menambah wibawa.
“Untuk apa Bapak ke sini?” tanya Pita Loka.
Gumara terdiam. Matanya melirik pada pria yang tak dikenalnya itu. Pria itu
berpakaian safari pemburu, begitu modern, begitu gagah. Dan tanpa diduga Pita Loka
tersenyum melihat dua lelaki yang kelihatan berkobar cemburu. Kedua-duanya tak
bisa merahasiakan.
“Kesempatan bagimu, Dasa, belajar pada seorang Guru yang hebat Gumara seorang
Guru, Dasa!”
Dasa Laksana tanpa ragu lagi berkata bagai kilat: “Mari aku coba Guru!” dan satu
tendangan melingkar membuat Gumara terpelanting ke dahan pohon. Ikat pinggangnya menyangkut. Dan tampaknya lucu sekali dia tergantung di dahan pohon itu. Dasa Laksana ketawa lebar mencemoohnya.
Kejengkelan membuahkan rasa marah. Kemarahan membuat Gumara jadi kalap. Dia
cuma berkelit sedikit sehingga dalam sekelebatan tubuhnya jatuh ke tanah yang seketika itu juga dia menguakkan lompatan tujuh kali untuk kemudian melakukan satu tendangan buas. Tendangan itu tepat membuat telapak kakinya menggedor dada Dasa Laksana.
Melihat darah mancur dari mulutnya, Dasa Laksana bukannya takut tapi dia pun
kalap. Ki Pita Loka cuma menonton mirip wasit. Dia hanya bergerak sedikit untuk
memungut segumpal darah Dasa lalu melemparkan darah itu ke udara. Dasa bertambah kuat kembali, sehingga ketika satu tendangan lingkar Gumara mau menyabet tubuhnya, dia sergap perut Gumara dengan kedua tanganya dan dia sendiri ikut dalam lingkaran tubuh Gumara yang berputar bagai gasing sebab tendangannya kosong. Keduanya jatuh bergulingan. Dan ketika Gumara sudah berada di tepi tebing, melihat hal itu membuat Pita Loka berteriak:“Gumara... !”
Dasa Laksana yang menoleh pada suara yang dia dengar. Kesempatan itu membuat
Gumara memanfaatkan tendangan tumit kakinya yang menggedor leher Dasa Laksana yang berteriak nyeri. Namun, jika dia tak berteriak ... dia pasti sudah mati. Teriaknya
mengendorkan urat pernafasan lehernya, sahingga dalam keadaan wajahnya berlumuran darah dia langsung melakukan lompatan dari dahan ke dahan sembari kakinya silih berganti menghajar dada maupun punggung Gumara. Gumara tersungkur. Dasa Laksana melompat dari dahan dan dua kakinya sengaja diinjakkannya ke pinggang Gumara supaya tulangnya remuk.
Gumara tiba-tiba ingin mengeluarkan ilmu harimaunya. Namun keraguan untuk
menyembunyikan ilmunya dari kesaksian Pita Loka itulah yang membuat dia ditampar oleh telapak kaki kiri kanan Dasa Laksana yang bergelayutan lincah di dahan pohon.
Tampaknya Gumara tak berdaya hanya karena dia ragu untuk mengeluarkan ilmunya.
Kesabarannya untuk tidak mengeluarkan ilmunya yang aseli memang luar biasa! Ki Pita Loka tahu akan hal ini. Dia menaruh hormat pada Gumara yang sedang kenyang disiksa Dasa Laksana. Karena sikap sabar begini hanya dimiliki Guru-Guru Besar.
Melihat Dasa Laksana keliwat bernafsu menghajar Gumara itu. Ki Pita Loka
memperingatkan: “Berhentilah berkelahi!
Percuma saja! Kalian berdua toh tidak akan mendapatkan apa yang kalian rebutkan!”
Serentak Dasa Laksana menghentikan siksaannya menyepak kepala Gumara dan Gumara membenamkan nafas tunggal ke jantung, lalu mengisi tenaga dalamnya sebelum dia berdiri tegak.
Siksaan sudah berhamburan dia terima. Namun melihat sosoknya yang berdiri dengan
nafas teratur, menyebabkan semangat liar di hati Dasa. Dia terjang tubuh yang tegak
berdiri itu dengan satu tendangan mencuat yang membuat Gumara terlempar jauh.
Dua pohon langsat roboh akibat tendangan Dasa yang membuat tubuh Gumara membentur pohon-pohon itu.
Ki Pita Loka menjadi jengkel.... Dia melakukan tiga lompatan lewat dahan dan pada lompatan keempat sekaligus dua kakinya mengepit lengan Dasa, nadinya terhenti
sesaat yang membuat lelaki gagah itu pun pingsan,,,
Kepingsanan ini memang dikehendaki Pita Loka.
“Bukan perkelahian kalian berdua yang berjam-jam itu yang saya kagumi, Pak
Guru”. ujar Pita Loka. Lalu dia teruskan ucapannya: “Pak Guru mungkin berkelahi dengan penuh kesadaran. Tapi si Dasa tidak. Saya sudah sembahyang subuh, sembahyang lohor dan asyar. Kalian tetap saja adu tenaga. Tapi saya rasa Pak Guru cuma memainkan jurus-Jurus bunga saja. Tujuan anda ke sini mungkin ingin mengetahui rahasia ilmu stanggi saya”.
“Tidak”, ujar Gumara.
“Ah, saudara tirimu ke sini, belajar dari saya, dan saya memberikannya dengan tulus.
Tapi jika ilmuku sepuluh jari. Dia baru mendapatkan satu kelingkingku!” Pita Loka dengan sadar memancing kemarahan Gumara.
“Saya ke sini…”, kalimatnya terhenti, karena Dasa Laksana yang mendadak siuman
itu sudah bangkit dan seketika itu juga melompat bagai kesetanan dengan dua kaki
menyergap tengkuk Gumara. Gumara membiarkan kaki itu mengepit. Tapi gumpalan tinjunya seketika menghajar tulang tumit Dasa Laksana, sehingga Dasa Laksana menjerit. Dia melangkah terpincang-pincang. Ki Pita Loka kali ini geram dan malu.
Dengan prihatin dia hampiri sang murid yang pincang itu. Jempol jarinya dia usap
pada langit-langit mulutnya, kemudian jempol itu membarut tumit Dasa Laksana.
Tumit yang hancur itu mendadak utuh kembali, dan Dasa Laksana mendengar suara
Sang Guru: “Usir dia dari kawasan ini!”
Maghrib terlewatkan sehingga Ki Pita Loka tak sempat melaksanakan ibadat
sembahyangnya. Ini karena dia berkonsentrasi melakukan perlindungan atas muridnya. Dia berdiri tegak meniupkan gelombang pernafasannya ke arah tubuh muridnya agar kekuatannya masuk ke tubuh Dasa Laksana.
Gumara mengetahui bahwa Ki Pila Loka telah “mengisi” muridnya dengan gelombang tingkat tinggi. Ketika ia terlempar dalam jarak sepuluh meter menggelinding ke bagian bukit yang rendah, ia tetap pada keputusan tidak mengeluarkan ilmu intinya. Namun otak matematika dan fisika bekerja seketika. Satu kekuatan bergelombang tinggi. Bisa memisakahkannya. Hal itu harus dilawan dengan kekuatan gelombang terendah. Ia segera mengosongkan tubuhnya, seperti seorang yang keluar darigaya berat bumi. Ia melayani pukulan-pukulan Dasa Laksana yang dahsyat bukan dengan gerak maju, tapi seluruhnya menyediakan diri dengan gerak-balik. Satu tinju menghantam perutnya. Gumara menekuk perutnya ke belakang sehingga tinju itu hanya mengenai permukaan kulit perut. Gumara sempat melirik beberapa detik ketika ia mundur dihantam. Melirik pada Ki Pita Loka yang begitu bersemangat “mengisi” muridnya dengan tiupan-tiupan gelombang. Daun-daun dari ranting pohon mengikuti arah angin gelombang ketika Ki Pita Loka meniupkan
isiannya ke setiap langkah Dasa Laksana.
Dalam kelebatan perkelahian yang menuju waktu fajar menyingsing ini, Gumara
sempat terjebak oleh emosi. Dia berniat untuk sekali waktu nanti, kembali ke Guha
Lebah. Untuk mengambil ilmu inti yang penuh misteri ini. Ilmu inti tirai stanggi.
Sebab sekeliling kawasan perkelahian dia rasakan sudah diliputi bau stanggi, bahkan bau belerang.
Ia yakin, ilmu yang dimiliki Ki Pita Loka berasal dari inti lahar, magma dalam
bumi,yang mungkin ada salurannya ke Guha Lebah. Waktu itu kesempatan berfikir ada padanya, karena tendangan Dasa Laksana yang menjurus ke kepalanya ia elakkan.
Sehingga kaki Dasa Laksana kejeblos masuk ke dinding satu bukit kecil curam,
hingga ke dengkul. Ki Pita Loka berlompatan dari dahan ke dahan menuju Dasa Laksana. Lalu mengeluarkan kaki muridnya yang kejeblos itu. Segera sang Guru mengobati muridnya dengan lendir langit-langit mulutnya. Gumara sebetulnya ada kesempatan untuk menghantam urat kematian pada leher belakang Ki Pita Loka saat itu. Tapi tidak! Dia tak mau main silat secara sekelit. Dia ingin tahu, dengan keasyikan yang belum pernah ada padanya seperti sekarang Ini: mencoba gelombang terendah, ibarat satu roket kecil, yang terbang amat rendah hingga berada di bawah radius radar, Dasa Laksana dengan teriakan nyaring melompat ke udara, terjun ke bumi dan membal beberapa kali untuk kemudian melakukan sapuan tendangan yang menabrak Gumara secara spiral. Gumara menekuk diri sehingga semua gelombang rendah terkumpul dalam dadanya. Hal ini membuat hantaman kaki kanan Dasa Laksana ibarat menghantam ban mobil. Dia membal terjungkir ke belakang. Dengan gerak spiral terbalik.
Bersambung...