Sebelumnya...
Sekitar lebih seratus lebah-lebah yang marah terkena sentuhan tubuh yang dijadikan “bola tendangan” tadi, menggigitnya dengan buas. Ki Pita Loka tersenyum berkacak
pinggang. Setelah bisa lebah itu menyengat pria itu, Ki Pita Loka mencolokan jempol
jarinya pada langit-langit mulut, dan jarinya dia tekankan pada kening lelaki itu.
Dasa Laksana siuman!
Dan, sejak hari itu, Dasa Laksana diajar mulai menjalani ketololan yang sama seperti Harwati dulu. Dia mengangkut batu dari sungai, ke guha, dan kemudian menaruh batu itu kembali ke sungai. Kemudian dia mengajari proses berikutnya. Dia harus
memanjat pohon tinggi. Lalu turun. Lalu memanjat lagi. Dan pada suatu pagi, ketika
Dasa Laksana sudah tiba di pucuk sebuah pohon, setinggi 21 meter itu, lalu dahan-dahan pohon itu ditebang sedahan demi sedahan oleh Ki Pita Loka. Dari bawah Ki Pita Loka momberi perintah: “Ayoh, turun kamu, Dasa !”
Kelihatan kecut sekali Dasa Laksana ketika terpaksa mengikuti perintah sang Guru
dengan patuhnya, turun meluncur ke bawah. Setiba di bawah dia amat kaget karena
terkena tendangan lagi. Setelah jungkir balik, Ki Pita Loka mengejarnya dengan cambuk dan golok. Dasa Laksana ketakutan. Lalu membebaskan ancaman itu dengan cepat memanjat pohon. Dan Ki Pita Loka mengejarnya keatas. Dan dalam keadaan terdesak, Dasa Laksana dari pucuk terpaksa melompati dahan satu. Tapi karena ancaman cambuk, Dasa terpaksa meloncat ke dahan lain ….
Sang murid yang patuh itu kagum pada dirinya sendiri yang sudah mampu melompat
dari dahan ke dahan. Tambah kagum lagi dia karena seakan dia pernah melompat ke dahan satunya sepertinya terbang. Namun karena dilatih begitu selama tujuh hari.
Dasa Laksana pada saat akhir latihan sorenya, mengeluh,”Saya tak sanggup latihan
besok. Saya lelah”.
“Hari ini terakhir, Dasa! Coba kamu melompati lagi pohon hutan ini, sampai kamu
menemukan satu pohon kelapa. Petik sebuah kelapa muda yang kulitnya masih hijau,
serahkan itu kepadaku!”
Dasa Laksana gembira melaksanakan perintah Sang Guru. Dia berlompatan dari
dahan ke dahan menerobos hutan lebat di kawasan Guha Lebah yang bentuknya mirip payung itu. Setelah dia menemukan salah sebuah pohon kelapa, dia memanjat dan memetiknya, lalu meluncur ke bawah.
Dan dia tiba-tiba merasa tersesat Dia tak tahu jalan kembali. Untunglah ingatannya cukup kuat. Syarafnya memang bukan saja syaraf pemburu, tapi juga syaraf baja. Dia ingat, bentuk Guha Lebah itu mirip payung terkembang. Dia perhatikannya setiap bukit ketika dia melihat bukit berbentuk payung itu, biarpun sudah senja, dia
berlompatan juga dari pohon ke pohon.
Rupanya upaya mencari pohon kelapa itu amat sulit. Buktinya, letak itu amat jauh
jaraknya. Cuma saja karena dia lakukan dengan kegembiraan dan besar hati rasanya dekat saja! Ternyata baru dekat tengah malam bisa tercapai olehnya Bukit Guha Lebah itu ...
Dia mempersembahkannya kelapa muda itu. Ki Pita Loka membawa Dasa Laksana memasuki guha bau stanggi mulai menyergap hidung lelaki gagah yang patuh itu.
Sebab saat ini Ki Pita Loka berada pada dinding pembatas. Yaitu asap setanggi yang berupa lingkaran mirip kain nilon.
Beliau bersila dalam lingkaran asap itu. Dasa Laksana memperhatikannya dengan
ta”zim. Tampak sang Guru sedang memegang kulit kelapa itu. Lama kelamaan kelapa
itu tampak menguning. Setelah itu Ki Pita Loka keluar dari lingkaran asap stanggi itu.
“Kelapa ini sudah menjadi kelapa puan dalam proses penyingkatan waktu. Kamu
harus meminum airnya. Dan memakan isiya, demi kepatuhanmu pada saya”, kata Ki
Pita Loka.
“Dengan cara bagaimana saya mendapatkannya?”, tanya Dasa.
“Bolongi”, ujar Pita Loka.
Dasa Laksana kebingungan. Tapi dia sempat juga dengan tolol bertanya “Beri aku
petunjuk, Tuan Guru!”
“Hah, tolol. Bukankah kamu punya kuku?” tanya Ki Pita Loka.
Manis sekali cara Dasa Laksana tersenyum malu itu. Ki Pita Loka sadar. Iblis sedang menggoda bathinnya. Dia usir sang iblis dengan memompa jantungnya dengan nada
tunggal menyebut kata-kata Agung yang Suci.
Diperhatikannya Dasa Laksana mengorek, melubangi kelapa puan itu dengan buku
jarinya. Jari telunjuk dan jari tengah! Dasa mulai luka. Ki Pita Loka membentaknya:
“Terus, tolol!”
Dasa Laksana ketakutan. Luka itu sampai tak dirasanya pedih lagi sampai mencapai
batok kelapa..
“Bolongi dengan telunjukmu batok itu”, perintah SangGuru.
Dasa Laksana memaksakan diri menggenjot telunjuknya menetak batok kelapa itu.
Saking terlalu keras, air kelapa muncrat dan telunjuknya tak bisa keluar lagi. Pita
Loka tak sabaran, memegang kelapa dan menyentak telunjuk yang terbenam itu.
“Minum! Minumlah dengan membaca nama Tuhanmu yang Pengasih Penyayang, Dasa!” perintah Ki Pita toka.
Sang murid yang patuh mengikuti perintah Guru itu, meneguk terus sehingga jakunnya tampak turun naik. Cahaya obor kayu karet dalam guha itu menciptakan gerak goyangnya. Sehingga batin Ki Pita Loka tergoyang beberapa detik ketika menyaksikan jakun Dasa Laksana yang bergerak-gerak itu.
“Bencana ...”. Ki Pita Loka menggerutu, terdengar oleh Dasa Laksana yang selesai
minum.
“Bencana apa, Ki Guru?” tanya Dasa Laksana.
“Jangan tanya! Kedatanganmu ini mungkin akan dibuntuti mala petaka di kemudian
hari. Aku tiba-tiba membenci kamu!” kata Ki Pita Loka, yang ketika dilihatnya Dasa
Laksana bengong, lalu membentak: “Ayoh belah kelapa puan itu dengan jarimu, dan makan dagingnya sampai habis!” Bentakan itu memang menggetarkan. Tak terlintas sedikitpun roman kecantikan wajah sang Guru di mata si murid.
“Selesai? Nah, mulai malam ini kamu tidur di sebelah batu tempat aku selalu
sembahyang di luarsana itu. Hadapkan matamu ke langit. Dan tunggulah datangnya ilham!”
Sang Murid mematuhi dengan kontan. Dia sigap keluar guha. Dirasanya dalam
dirinya sudah tak ada lagi keraguan maupun rasa takut. Langsung dia celentang di
permukaan batu yang rata itu.
Langit penuh dengan bintang gemintang. Dasa Laksana menatapinya dengan tak
sengaja. Tapi heran, dia kini merasa dirinya seperti biasa saja. Dia heran mengapa dia
dapat mengenal kembali kelompok Bintang Tujuh itu. Juga dia melihat. bintang Mars itu, juga dia mengenal bintang venus yang amat terang itu!
Lalu Dasa Laksana mulai memikirkan kembali sejak awalnya dia tersesat dengan
Landrovernya. Perasaan dirinya menjadi seorang pemburu bangkit lagi.
Dan tiba-tiba dia bertanya: “Perlunya apa aku patuh terus pada Sang Gur? Aku bukan manusia purba yang senang jadi orang hutan melulu! Bukankah aku melompat dari
dahan ke dahan tak lebih dari seekor kera?”
Rupanya, tanpa dia ketahui. Sang Guru sudah tegak dengan tangan terlipat,
memperhatikan sang murid ... dirinya sendiri!
Begitu melihat kecantikan Ki Pita Loka, hatinya tergiur. Birahinya meronta-ronta.
Dan tiba-tiba ada melintas keinginannya untuk memperkosa gadis ini ...
Sementara itu, di Bukit Runtuh dalam keadaan celentang kelihatan berpakaian putih berlipat tangan di dada, menatapi bintang Bima Sakti, seorang pria yang tak dapat tidur. Namun dia tidak gelisah. Dia seakan-akan sedang mempertanyakan diri: “Untuk maksud apa aku berada di sini? Beberapa hari siang dan malam ilham tak pernah
kuterima! Aku bisa gila! Aku sebaiknya ke Kumayan daripada penuh keraguan menemui Pita Loka!”
“Memang pantas Harwati mengutuk saya.. Saya ini gila cinta, mabuk cinta” gerutunya lagi. Namun dia tidak berbicara, bibirnya terkatup, sedang matanya tetap menatap bintang Bima Sakti yang tersusun di langit itu.
“Bukankah kembali ke Kumayan itu lebih baik? Percuma saja membujuk Pita Loka,
karena akhimya dia toh tetap akan bertahan sebagai Guru ilmu Sakti di Guha Lebahsana itu !”
Sekonyong dia bagai melompat. Duduk! Dipandangnya alam dini hari sekeliling
Bukit Rotan nun sudah jauh disana . Bukit Lebah. yang mirip payung upacara itu, padahal sudah dekat.
Mendadak tekadnya menjadi goyah, dan hatinya bergelora ingin ke Bukit Lebah. Dan
menjelang subuh, ketika dia merayap di balik sungai, dia mendengar teriakan-teriakan. Sepertinya dua manusia yang sedang berlatih silat!
Lelaki berbaju putih itu menjadi ragu untuk menyeberangi tebing sungai yang dalam itu. Keraguan ini mendadak saja muncul. Dia merasa tertipu oleh satu ilham yang
didapatnya ketika dia akan meninggalkan desa Kumayan. Dia semalam sebelumnya bermimpi, bahwa Pita Loka cuma seorang diri. Jangan-Jangan dia bukan sendirian.
Tapi bedua! Dan jangan-jangan, Pita Loka justru sedang berlatih dengan suaminya !
Tiba-tiba lelaki berkemeja koyak itu teringat dalam alam sadarnya, masa silam di
SGA. Dia pernah membaca drama Hamlet karya Shakespeare. Tokoh Hamlet adalah tokoh pangeran Ragu. Dan seorang yang ragu selalu akan berhati dua.
Menjelang matahari terbit, tampak olehnya memang dua orang sedang berlatih. Hebat sekali persilatan mereka! Terutama, agak jelas yang satu lagi! Pastilah Pita Loka.
Bersambung...