Sebelumnya...
Bisa saja seorang musuh berlagak lemas terhuyung seperti minta dikasihani, sebagai
jebakan. Ki Rotan melihat lelaki itu menuju ke arahnya dengan wajah yang loyo dan gerak yang letoy. Dia siap dengan tongkat ampuhnya. Tongkat Rotan itu miring 45 derajat
dari pegangan tangannya. Ketika lelaki berkemeja putih loyo itu sudah sejarak tujuh hasta. Ki Rotan dengan satu teriak di sertai lompatan menghayunkan tongkat saktinya itu menyabet bagian kiri tubuh lelaki itu. Lelaki itu terseruduk ke samping lalu jungkir balik. Tapi aneh! Dia tak mengaduh atau menjerit kesakitan. Dia malah bangkit
berdiri lagi sehingga dalam sekelebatan Ki Rotan menghayunkan tongkat saktinya dari kebalikan pukulan pertama tadi. Lelaki loyo itu menunduk ke samping dan jatuh jumpalitan.
Juga tak menjerit kesakitan!
“Bangun kau!” beniak Ki Rotan.
Letaki itu bagaikan patuh. Dia bangun. Dan Ki Rotan memegang gagang tongkat
dengan kedua tangan, lalu menghayunkan ke arah jidat lelaki itu. Pukulan tegak lurus
yang dahsyat membentur jidat musuhnya itu sampai menimbulkan cahaya arus listrik
seperti palu melesat menghantam paku beton.
“Kau tentu manusia tangguh”, gerutu Ki Rotan sembari mundur.
Tapi dia cuma mundur tiga langkah saja. Dia siap untuk menerjang ke depan.
Benarlah Ki Rotan membabi buta menghantamkan cakaran srigalanya yang sempat
mengoyak tubuh lawannya. Satu loncatan sigap ke kiri dalam dua langkah sudah membuat dia piawai mengambil tongkat yang dalam sedetik dihayunkan untuk menebas dua tulang kering lawannya. Bunyi berdengking kedengaran, lawannya ambruk. Ketika itu disabetnya tongkat rotan itu berkali-kali. Tiap pukulan dahsyat itu disertai teriakan keras. Dan ini membut Harwati terbangun.
Dia cepat merasa dapat ilham untuk segera keluar dan disaksikannya Ki Rotan sedang asyik menyiksa seseorang yang bergulingan telungkup telentang. Harwarti cepat
berseru: “Hentikan Guru!”
Mulanya Ki Rotan tak ambil peduli. Terus saja dia melecuti lawannya yang terus
bergulung-gulung telungkup telentang.
Barulah dia berhenti melecut setelah dia merasakan adanya bau stanggi yang membuat Ki Rotan gemetaran seketika. Bau stanggi ini membuat Ki Rotan merasa berkurang tenaga. Harwati melangkah. Langkah itu semakin mendekati tubuh yang tertelungkup itu.
Tapak kaki Harwati sudah berada sejengkal pada tubuh telungkup itu. Dikuakkamya
dengan ujung jari kakinya tubuh itu sehingga pria tersiksa itu telentang. Begitu
Harwati melihat wajah pria itu dia menjerit dengan lantang. Ki Rotan terkesima. Lalu
dia dengan cemas menghampiri Harwati yang kelihatan histeris setelah menjerit itu,
sebab dia menggigit jarinya dan menangis mendadak.
“Siapa dia?” tanya Ki Rotan kebingungan.
“Dia kakakku! Dia Gumara!” kata Harwati.
Ki Rotan tercengang. Dia pernah dengar nama itu, yang dianggapnya sederajat
dengan Ki Karat. Rasa hormatnya timbul.
“Bangun Tuan Guru Gumara”, ujar Ki Rotan, “Sebab aku tak layak menolong kau
berdiri disebabkan hinanya ilmuku”.
Orang berkemeja putih koyak-koyak yang disebut “Gumara” itu berdiri. Dia tetap
tampak loyo. Tak selintas pun sorot matanya melirik Ki Rotan, sebab sorot mata yang
berbinar itu sedang menatap Harwati.
10 Kelompok Penyiksa yang pingsan kena hukuman Guru Rotan sudah sadarkan diri.
Tapi mereka terpana melihat tawanan mereka tadi sedang bercakap-cakap ramah dengan Gurunya dan Ki Harwati.
“Saya ke sini hanya ingin menjemput Harwati. Adik tiri lain ibu”, kata Gumara.
“Saya kuatir dia menolak”, kata Ki Rotan.
“Memang aku tak sedia kembali ke Kumayan”, ujar Harwati.
“Lalu kenapa kau ada di sini?” “
“Aku akan memadukan ilmu Pita Loka dengan ilmu Sang Guru. Selain itu, aku tidak
tertarik dengan kehidupan manusia moderen lagi”, kata Harwati dengan tegas.
“Kalau begilu beritahu aku jalan menuju tempat Ki Pita Loka”, ujar Gumara.
“O, kakak masih mencintainya ya?” tanya Harwati menyeringai.
“Soalnya bukan itu”, sahut Gumara
“Hmm. Jangan berdusta Aku tidak rela apabila kakak menemui dia, apalagi jika
menjadi suami dia! Bukankah aku sudah bersumpah: demi isi perutku dan seluruh
yang ada di badanku, aku akan selalu menghalangi perkawinan kalian!”
Mata Harwati mulai berbinar mengerikan. Pembuluh darah Ki Harwati itu mencari
jalan keluar dan menciptakan aroma bau stanggi. Dan Gumara mengangguk-angguk
mengerti.
“Kau satu perguruan dengan Pita Loka kalau begitu”, ujar Gumara.
“Aku memang berguru pada dia. Tapi pada saat aku harus lulus ujian, aku
mendapatkan wangsit tersendiri. Ilham yang hebat, bahwa ilmu Pita Loka digabung
dengan ilmu Ki Rotan adalah ilmu yang khas punyaku!”
“Dan saya nanti akan menjadi murid Ki Harwati”, tambah Ki Rotan.
“Dan secara bersama, kalian berdua akan menumpas Ki Pita Loka”, ujar Gumara
ingin kepastian.
“Benar”, kata Harwati tegas.
“Dan Tuan Gumara yang saya hormati, saya minta meninggalkan padepokan saya.
Sembari saya mohon maaf anda karena saya salah siksa tadi”, kata Ki Rotan dengan sikap hormat yang palsu.
“Baik”, kata Gumara, “Tapi aku sangat kecewa, Harwati. Betapapun, kamu sudah
dtitipkan Ayah kita agar aku jaga. Pada akhirnya kita semua ini manusia moderen dalam arti manusia abad tehnologi, tak ada gunanya kembali ke zaman pra sejarah”.
“Apa? Ulangi ejekanmu terhadap sikap kami! Manusia moderenlah yang melakukan
perusakan dan kejahilan. Kini aku bebaskan sumpahku. Pergilah kakak mencari Pita Loka ke Bukit Lebahsana . Jika kakak berhasil membujuk dia untuk kembali ke Kumayan, iris-iris jantungku ini!” dan Harwati menebah-nebah dadanya dengan angkuh.
Gumara geleng-geleng kepala dan berkata: “Ilmu purba ada yang baik. Dan ada yang
sesat. Siapapun yang keluar dari Kumayan adalah orang sesat. Tapi seluruh desa Kumayan tetap mengharap kau kembali, Wati!”. Gumara kemudian tak bicara sepatah pun. Tidak juga ucapan selamat tinggal.
Sementara itu, di kawasan Guha Lebah telah terjadi satu pertarungan batin dalam diri seorang yang cantik bertaraf “Guru”.Tiga hari lamanya dia membiarkan lelaki asing
itu mundar-mandir seperti orang tolol. Dan ketololan itu perlu bagi seseorang yang
memang berniat untuk mencari derajat ilmu. Juga kelaparan itu penting, sebab makanan dalam pencernaan perut manusia sering merubah caranya berfikir. Dengan mengamati tingkah laku pria tak dikenal itu dengan teropong selama tiga hari, munculah dalam hati nurani sang Guru Pita Loka, Ki Pita Loka telah kehilangan Harwati yang telah menipunya dengan khianat. Kini diperlukanya seorang anak buah!
Bukankah lelaki tak dikenal itu bisa dijadikan anak buah, sekaligus pengawal?
Suatu parasaan aneh laimya menyelinap ke hati Ki Pita Loka: Pria tak dikenal itu, selain tegap, juga gagah! Mirip Gumara!
Dan melihat pria itu sudah mulai memakan urat kayu, di hari keempat Pita Loka
merasa “kasihan”. Dari balik tebing dia berseru: “Hooi!” Pria yang hampir teler itu,
karena makan urat kayu yang salah, lantas mendongak!
“Hoooi!” didengarnya lagi.
Dia lantas cepat menyahuti: “Hoooi!”
“Siapa anda?” teriak Ki Pita Loka.
“Aku?!”!”
“Ya, kamu!”
“Saya Dasa Laksana! Siapa anda?” seru lelaki itu di sebalik tebing sebelah.
Mendadak Ki Pita Loka bimbang. Dia berdiam diri sembunyi di balik pohon. Dia mempertanyakan dirinya: “Apakah ini bukan godaan Iblis?!”
“Tidak”, sahut dirinya pula, lalu dia memperlihatkan diri dan berkata: “Tunggu disana! Aku akan menolongmu!”
Lelaki yang sudah putus asa kehilangan arah, harapan dan makanan itu, mendadak
berbesar hati. Dia menyaksikan gadis berpakaian hitam itu jumpalitan di angkasa, dari
dahan pohon ke dahan pohon laimya. Lalu ibarat burung cicakrowo yang terbang melayang, gadis tak dikenalnya itu tampak hinggap di sebuah pohon. Dalam jaraklima meter itu Dasa Laksana benar-benar takjub menyaksikan kecepatan gerak setiba di tanah.
Jarak tegak gadis itu kini sudah tiga meter saja lagi! Dasa Laksana mengamati gadis itu dengan gentar. Memang penampilan Ki Pita Loka mendadak begitu berwibawa.
Sebab dia sudah mempesenjatai dirinya dengan ketebalan mental. Jantungnya
bergerak serentak dengan gerak lidahnya yang selalu menyebut sepatah kata mukjizat
yang ampuh mengusir lblis.
Ki Pita Loka kini dengan kekuatan daya ilmu gelombangnya, telah membuat Dasa
Laksana sebagai tawananya. Tak ada kata. Lelaki itu bagai terkena hipnotis. Dia
menuruti saja langkah Ki Pita Loka di belakang. Tanpa takut menuruni tebing curam.
Juga tanpa mengeluh lelah. Lalu dia ikuti terus merayapi dinding curam. Juga dia
bagaikan anjing yang patuh pada tuannya ketika tiba di depan pintu Guha Lebah.
Ki Pita Loka ingin segera mengisi kekuatan batin orang yang akan dijadikanya
pengawalnya. Begitu lelaki itu berdiri tegak di depan pintu guha, dia tendang pantatnya sehingga bagaikan bola dia terhambur memasuki pintu guha, menerobos kawalan lebah-lebah yang bertugas sebagai daun pintu.
Bersambung...