Sebelumnya...
Dia tak ingin diketehui. Dia hanya ingin mengetahui, siapa dan ingin apa orang yang tadi menyenternya. Malam yang mulai tiba dan gelap tidak menjadi soal. Dia sudah tahu ke dahan yang mana nanti dia akan hinggap setelah terbang melayang melompati dua tebing ini.
Tiba-tiba saja Pita Loka agak kesal karena rupanya orang yang menyenternya itu
menyalakan lampu neon baterai . Jadi kini teranglah sekitar mobil landrover itu.
Rupanya orang itu sedang menggelarkan tikar plastik di rumputan sekitar batu-batu di pinggir tebing itu. Dan ketika Pita melihat rantang, tahulah dia bahwa pria itu saat untuk makan malam. Tampaknya dia memang seorang diri. Dan selalu siap
menembak. Sebab ketika dia duduk bersila begitu, senapannya disandarkannya ke dada. Barulah dia mulai makan.
Hal inilah yang bikin Ki Pita Loka jadi ngiler, selama ini dia hanya makan buah-
buahan saja. Dia rindu makan nasi setelah lebih 1000 hari tak menikmatinya. Dan itulah yang mendorongnya mempersiapkan diri untuk melompati tebing curam dengan sungai di bawah itu!
Kalau begitu aku harus menggunakan tenaga dalam kedap-suara!
Ya. Ki Pita Loka berkonsentrasi sejenak. Nafasnya dia tarik dalam-dalam dan nafas ini tak boleh dihembuskan lagi sampai saatnya hinggap pasti di pohonsana itu. Dan ini memang cara lompatan kedap-suara yang tidak akan terdengar satu telinga pun.
Begitu selesai dia tarik nafas dalam pada ketuntasan tenaga, dengan tenaga dalam itu pulalah Pita Loka melompat ke atas, lalu memegang satu dahan untuk acuan tenaga
lompatan sejarak 17 meter ke sana. Ah, indah sekali tubuh yang melayang dan kemudian hinggap di dahan yang dituju, tanpa suara. Juga tak secemil suara pun kedengaran ketika satu tangannya hinggap di dahan pohon seberang itu, begitupun ketika kedua kakinya menjepit tubuh pohon tinggi itu. Dan dari ketinggian ini melihat pria yang lahap makan malam itu, Ki Pita Loka tambah jadi ngiler.
Kini dengan nafas ditarik untuk kedap suara, dia turun bagaikan seekor cicak...
Ki Pita Loka merayap dengan cepat takut kalau orang itu sudah keburu menghabisi
makanannya. Dia merayap ke arah barat Tempat yang ditujunya adalah himpunan pohon savana yang cuma setinggi paha. Dia menyelinap terus sampai pada posisi langsung menghadap orang yang asyik makan itu.
Setelah sampai pada posisi itu, Pita Loka yang sudah jongkok dan menghela nafas itu, langsung batuk dengan konsentrasi pandangan pada pria yang asyik makan itu.
Pria pemburu itu kaget dan melihat ke arah suara batuk tadi, begitu dia meliat gadis bercelana blue jean berdiri di balik pohonan savana itu, pria itu terpana bagai kena hipnotis. Waktu lelaki itu terpana begitulah, Ki Pita Loka meniupkan udara dengan
puncak kekuatan gelombang.
Lelaki itu bagai patung. Nasi bergelantungan di bibirnya yang ternganga. Pita Loka merasa itu sudah cukup. Lelaki itu sudah beku bagai patung. Lalu Pita Loka
mendekati pohonan savana itu. Dengan sedikitgaya bercanda, Pita Loka berkata:
“Aku bukan merampok makan malammu. Tapi jika kau makan sendiri sedangkan aku
ada dan lapar, itu berarti kau seorang asosial dan amoral”.
Dengan bismillah, Pita Loka makan dengan lahap. Memang seluruh isi rantang-rantang itu disantap licin habis olehnya! Di ambilnya senapan yang tersandar pada
dada pria itu.
Pita Loka lalu berkata (yang pasti takkan disahuti pria itu): “Pemburu yang jahat juga anda ini. Anda manusia perusak di muka bumi. Tuhan tak menyukai itu. Tuhan
melarang manusia melakukan kerusakan di muka bumi. Kau tembaki hewan-hewan sehingga hutan-hutan kesepian”.
Setelah senapan itu diambilnya, Pita Loka mengambil lagi senter. Dan dia berkata, yang pasti takkan disahuti lawan bicaranya itu: “Kau coba main-main dengan senter ini itu nakal!”
Dan tiba-tiba Pita Loka benci melihat mobil Landrover itu. Dia ingat pada masa
sekolah, di mana buangan gas mobil melalui knalpotnya adalah mengotori kebersihan
alam. Lalu dia melangkah ke belakang Landrover itu. Dengan tangan kanannya saja,
ia dorong mobil itu. Tak lama kemudian, di bawahsana itu kedengaran suara dahsyat;
byurrr! Mobil itu sudah kecebur dalam sungai.
Pita Loka lalu melempar senapan pemburu tadi ke arah tempat mobil tadi menghambur masuk sungai. Tapi senter? “Ini perlu bagiku!” katanya. Dan tanpa menoleh sedikitpun pada pria yang duduk kaku bagai patung itu. Ki Pita Loka menerobos pohonan savana dan memanjat pohon tadi lalu dengan konsentrasi lincah gembira Pita Loka sudah terbang ke tebing seberangsana , lincah bergelantungan dan berlompatan sampai akhirnya dia melaksanakan lompatan terakhir tepat di mulut guha.
Sejenak Pita Loka menoleh kesetumpak cahaya lampu neon baterai disana , dengan
silhoutte tubuh yang masih duduk kaku. Barulah kemudian, Pita Loka meniupkan satu
konsentrasi angin dari mulutnya dalam radius gelombang tinggi. Angin menerjang punggung lelaki itu. Dia terbanting ke samping dan sadarkan diri.
Pertama yang dirasanya hilang adalah senapan pemburu.
Kedua: senter!
Lho, yang juga tak dilihatnya lagi adalah mobil Landrovernya itu Bah…bah…bah!
Peta! Peta di mobil! Dalam tas di mobil!
Barulah yang terakhir dia melihat rantangnya sudah licin. Dan ketika dia kalap serta penasaran, dari arah timur ada dilihatnya cahaya berkedap-kedip ke arahnya.
Kurang ajar..... pria itu menggerutu.
Kemudian cahaya kelap-kelip senter itu pun lennyaplah. Sunyi perasaan pria pemburu ini. Selama ini dia tak pernah takut ke luar masuk hutan belantara. Tapi kini dia takut karena tidak memiliki senjata, ya, senapan pemburunya!
Namun, betapapun marah dan dongkolnya. Namun dia seorang manusia praktis. Dia
tak banyak pikir kemudian tidur saja di tikar itu setelah melemparkan rantangnya yang kosong ke kanan dan ke kiri. Dia tidur pulas disinari lampu neon baterai itu.
Pada jam 3 dinihari kekuatan baterei lampu neon itu habis. Lalu gelaplah! Hal ini rupanya secara naluriah telah membuat pria itu terbangun. Dia ingat, kalau mau terang harus ganti baterai! Mulanya pikirnya memang begitu. Tapi ketika ia sadar karena mobilnya pun tak ada sedangkan butiran-butiran persediaan baterai ada di mobil,
dengan gerak dia tendang lampu dalam itu seraya memaki: “Kamu tak ada gunanya bersamaku tanpa baterei!”
Makian itu jelas kedengaran ke telinga Ki Pita Loka yang masih duduk bersila untuk mencari tahu, sudah sampai di manakah pelarian Harwati. Setelah batinnya menerima ilham bahwa Ki Harwati menuju padepokan Ki Rotan, Pita Loka tersenyum dan
berkata: “Kau takkan bisa menjadi guru dari Gurumu!”
Dingin di luar guha yang menggigit, menggugah Pita Loka untuk masuk. Ribuan
Lebah mengiringinya dari belakang ketika Pita menuju pembaringan.
Satu sosok tubuh pria sedang merayap pada dinding bukit terjal. Lagi-lagi kemeja
putihnya koyak terkena sayatan batu-batu tajam. Namun pria itu terus merayap ke atas
dan ke atas. Kadangkala dia mengasoh sejenak. Sinar matahari begitu menyengat pagi itu. Tetapi dari akar-akar yang sempat dia pegang, dia gembira. Sebab dia mengenal
akar itu akar pohon rotan.
Dan kegembiraan meluap ketika dia tiba di puncak dinding bukit terjal itu. Ya,
sekeliling bukit itu penuh dengan rotan-rotan yang merimba dan amat rapat. Di sela-
sela rotan-rotan yang bergelantungan itulah pria itu melangkah hati-hati. Dan dia
mulai melihat asap. Kini ia yakin, tentu itu desa padepokan Ki Rotan yang terkenal
angker: Dan dalam keraguan itulah sang pria terkena sergapan Kelompok Penyergap yang terdiri dari sepuluh orang. Semuanya adalah anak buah Ki Rotan.
Pria yang tertawan itu sebetulnya bisa saja melepaskan diri dan sekali sikat mampu membuat rontok 10 orang yang menawannya. Dan ketika itu pula ia langsung
dilemparkan ramai-ramai oleh Kelompok Penyergap itu ke sebuah lubang. Dalam lubang itu sudah menanti ujung-ujung bambu runcing. Dan semua penawan itu tercengang!
“Aneh! Dia tak menjerit!” ujar Keruen dengan gugup. Sebagai kepala Kelompok
Penyiksa sudah wajar dia menjadi gugup. Dia langsung melihat kepinggiran lubang.
“Dia berdiri tegak” ujar Keruen lagi.
Ini membuat Lanto ingin tahu. Dia kepinggir lubang, dan disaksikannya lelaki
berkemeja putih yang sudah penuh koyak-koyak itu berdiri tegak. Kedua sepatu Phumanya berada pada ujung tombak- tombak rotan itu.
Dan ketika Keruen dan Lanto meilhat lagi, dia berdua berteriak: “Dia berubah jadi kakek”
“Ada Tuo di lobang siksa!” teriak ke delapan orang lainnya sembari lari lintang
pukang.
Ki Rotan keluar dari padepokannya yang atapnya seluruhnya terbuat dari jerami.
Mendengar laporan Keruen yang ketakutan. Ki Rotan membetulkan destar merah pada kepalanya. Bukannya dia membenarkan anak buahnya. Tetapi dengan satu lecutan lingkaran ke sepuluh anak buahnya roboh sekali pecut putar.
“Bikin malu aku, mana si Tuo itu?” tanyanya geram.
Mata Ki Rotan menjadi liar meneliti sekeliling. Sebab dia pun musti berhati-hati
karena mungkin saja laporan anak buahnya benar. Sebab gelar si Tuo adalah gelar
kehormatan dari orang yang memiliki ilmu tinggi. Karena itu dia siap untuk melayani
lawan yang mungkin punya ilmu harimau.
Tapi yang dia lihat justru seorang lelaki bercelana jean dan berkemeja putih yang koyak-koyak. Berjalan terhuyung ke arahnya. Ki Rotan merasa mesti waspada agar
tidak terjebak.
Bersambung...