Sebelumnya...
Airmata Harwati bercucuran karena keharuan. Dia sampai terlupa menikmati daging kelapa puan, ketika mendadak dia merasakan dirinya disusupi kekuatan hebat yang membuat dia menatap Ki Pita Loka bukan lagi guru, melainkan orang berilmu sakti yang sejajar dan setaraf.
“Kulihat kau ada maksud jahat padaku”. ujar Ki Pita Loka mendadak. Hal inilah yang membuat Ki Harwati tidak menunggu waktu. Padahal dia sedang duduk bersila
berhadapan dengan Sang Guru, kontan mendadak dia buka lipatan kakinya yang seketika menampar muka Ki Pita Loka. Pita Loka masih berseru, “Hai, jangan kau serang Gurumu! Aku Gurumu!”
Seketika lebah-lebah menyengatmya. Ki Harwati cepat memasukkan jempol jarinya
ke dalam langit-langit mulutnya.
Dengan lendir rongga mulut itu yang dia oleskan ke dahi, sengatan lebah tadi lenyap dari nyerinya semula dan dia kembali kalap melompat menerjang sang Guru.
“Aku bukan sekelingkingmu? Aku lebih kuat! Akulah wanita yang tak jelas dalam
mimpi kau itu, Pita Loka!” bentak Ki Harwati. Ki Pita Loka undur ke belakang, dan ia
tetap melakukan gerak mundur seraya menangkis tendangan sang murid sampai keluar dari pintu Guha Lebah itu.
Ki Harwati menyerang dengan semua jenis ilmu silat yang diajarkan Ki Pita Loka
padanya. Karena itu, setiap jurusan serangan mampu dielakkan oleh bekas Guru itu.
Ketika Pita Loka mendadak kalap, siap untuk menghabisi nyawa muridnya akibat
dongkol, Ki Harwati mengingatkan: “Jangan coba bunuh aku, karena pantangan ini ada pada Guru. Dan tidak pada murid!”
Tekad Harwati sudah penuh untuk menghabisi nyawa Guru Pita Loka. Tapi tiap jurus
kilat yang dilakukan, pukulan sisi telapak tangan ke leher sang Guru, selalu saja
membuat dia memukul angin. Sebab Ki Pita Loka lantas menunduk. Mendadak, dalam keadaan merasa aman karena murid khianat ini cuma memainkan ilmu yang diajarinnya, terdengar seketika Harwati mengeluarkan suara auman harimau.
Gerak-gerik langkahnya berubah dan itu tidak pernah diajarkan. Ki Pita Loka sadar, tiap murid pasti ada keistimewaan yang khusus yang tak dihadiahkan guru. Dalam
memilih kemungkinan selalu mengelak, kini Ki Pita Loka bertindak aktif, menyerang.
Tapi serangannya ini berhasil ditangkis oleh Ki Harwati bahkan lengan Ki Pita Loka robek oleh guratan cakaran Harwati.
Kini keduanya berkelahi dari dahan ke dahan. Dan pada dua dahan yang berhadapan
dua-duanya saling mengeluarkan pukulangaya golok agar mengenai kepala masing-masing. Tanpa diduga, Ki Harwati merubah pukulan tangan dengan tebasan kaki, hingga Ki Pita Loka jatuh ke bawah, namun selamat oleh dahan-dahan yang diraihnya silih berganti. Dia kejar Harwati yang lari dari dahan ke dahan, lalu melayang ke tebing seberang.
Dengan ilmu menuruni lembah terjal serta cara melompat dari dahan ke dahan yang ia dapatkan dari Ki Pita Loka, Harwati berhasil kabur menuju arah utara yaitu Bukit
Tunggal.
Ki Pita Loka berkacak pinggang di atas dahan pohon seraya tersenyum. Dan dia
berkata dengan dirinya sendiri: “Lari atau tidak larinya kamu, bagiku sama saja.
Dalam sejarah, seorang guru akhirnya ditinggalkan oleh muridnya. Sebagai gurumu,
aku tidak akan mengutukmu. Hanya guru yang bodoh yang mau mengutuk muridnya, sebab dengan mengutuk muridnya itu berarti dia mengutuk dirinya sendiri!”
Dalam sekelebatan dia sudah seperti burung lincah yang amat indah berlompatan dari dahan ke dahan pohon-pohon raksasa sekitar Guha Lebah itu.
Tapi Pita Loka tidak menyadari bahwa dia sedang diteropong dalam jarak satu
kilometer, nun dari puncak Bukit Sejoli yang berada di selatansana ! Yang sedang
meneropong Pita Loka itu adalah seorang pemburu. Dia tidak sengaja melalui teropongnya menyaksikan seorang yang jelas-jelas manusia, lagi pula wanita, yang berlompatan bagai burung cicakrowo. Padahal sebelumnya dia barusan kecewa, karena burung cicakrowo yang ia bidik dan siap tembak itu, terbang sudah.
Lompatan-lompatan lincah itu jelas bukan burung yang terbang hinggap dan terbang
lagi, dari dahan ke dahan pohonan raksasa. Ia tidak ragu lagi bahwa itu manusia. Dan
manusia istimewa. Juga jelas, pada akhirnya manusia wanita yang dianggapnya hebat itu memasuki sebuah mulut guha.
Lalu pria pemburu itu menaruh teropongnya ke dalam tas. Dia berbenah dan kemudian menyandang senapan pemburunya. Lalu digelarkannya sebuah peta dan diperkirakannya bukit mana yang akan ditujunya itu. Terbaca olehnya tempat guha wanita dahsyat tadi masuk. Terbaca keterangan : Bukit Lebah. Lalu dilingkarinya dengan spidol merah. Dan kemudian dibuatnya ancang-ancang perjalanannya menuju kesana .
Tetapi, setelah dia turuni Bukit Sejoli menuju mobil Landrovernya, dia kembangkan
lagi peta. Dia kecewa sekali. Sebab Bukit Lebah itu ternyata dilingkari sungai. Tak
mungkin tertembus dengan kendaraan. Tapi dia coba juga untuk menstarter. Dan mobil itu pun mulai mencari celah-celah padang-padang rumput yang masih perawan.
Sekeliling itu, tak ada desa. Jadi, pikirnya kini, tentulah wanita tadi hidup secara primitip, sendiri atau bersama, di Bukit Lebah itu.
Menjelang senja, pria itu sudah melingkari setengah Bukit Lebah itu, lewat tepi-tepi sungai yang terjal. Dia malah hampir tertimpa musibah kecebur sungai di bawahsana itu apabila mobil Landrovernya tidak kejeblos kecelah batu-batuan di tepi tebing sungai yang tingginya sekitar 15 meter itu. Tapi dia puas. Biarpun hari telah
menjelang senja, ternyata dia kini pada posisi berhadapan langsung dengan mulut goa tempat wanita burung tadi tampak masuk.
Dia kini turun dari mobil. Teropong dia ambil lagi dari dalam tas. Dan matahari yang setengah jam lagi akan terbenam itu masih sempat menyorotkan sinarnya tepat-tepat
ke arah Goa itu.
Dia meneropong dan berharap dapat menyaksikan lagi kegiatan yang terjadi di sekitar guha itu. Nah, kini dia gembira! Gembira sangat. Dia melihat wanita tadi keluar dari guha itu! Jelas kini, tentulah dia bukan wanita yang sudah bersuami. Dia cantik, namun ketika sempat dia berdiri begitu keliatan sekali wajahnya keras berwibawa.
Jelas sekali lewat teropongnya, bahwa wanita tadi itu berpakaian kain yang tidak
dijahit. Bahkan sepertinya bekas kain seprei dengan motif burung merak seperti
seprei-seprei woolPersia yang indah. Malah sepertinya mirip kimono, yang satu-satunya ikatannya tampaknya hanyalah seutas tali plastik saja.
Hari sudah mulai agak gelap, sesaat lagi matahari tenggelam, pria pemburu itu sedang memikirkan bagaimana caranya berkomunikasi dengan wanita itu, atau, gadis itu!
Gadis itu tampaknya sedang berdiam diri, tegak menghadap ke arah matahari
tenggelam dengan tangan terlipat mirip orang Islam sedang tegak sembahyang. Ketika
matahari terbenam, wanita tadi masuk ke guha. Ketika itulah pria itu punya akal.
Yaitu akan menyenter wanita itu dari arah barat sini. Bukankah hari akan gelap
sejenak lagi? Maka dia pun buru-buru membuka tas dan mengambil senter.
Rencananya, kalau gadis tadi keluar lagi, maka akan dihidup-matikannya senter itu.
Tapi agak lama juga. Oh, betapa senang hatinya ketika satu sosok muncul. Tapi kini bukan berpakaian sepreiPersia lagi. Jelas ia mengenakan mukena, yaitu pakaian
selubung wanita Islam apabila melakukan sembahyang. Dan memang betul. Tepat di
hadapan mulut guha itu si gadis bermukena itu menggelarkan tikar sajadah. Arahnya agak dimencengkan sedikit dari ketepatan matahari terbenam. Lalu tampak gadis bermukena itu berdiri berkonsentrasi, dan mengangkat kedua tangannya.
Ya, ia rupanya sedang melaksanakan sembahyang maghrib. Akibatnya, agar tidak
mengganggu orang melaksanakan ibadah, si pria mengurungkan memainkan senter.
Lalu, ketika wanita itu agaknya selesai melaksanakan sembahyangnya, pria pemburu
ini sudah siap untuk memainkan senternya. Pemandangan depan pintu guha itu sudah
agak gelap. Tapi petunjuk satu-satunya adalah warna putih itu. Pertanda wanita itu
masih ada di situ.
Memang, Pita Loka sudah selesai sholat menghrib. Namun dia masih bersila itu
karena membacakan beberapa do”a yang amat panjang. Tapi menjelang dia habis
berdoa panjang itu, dia melihat cahaya kelap-kelip di bukit sebelah barat seberang
sungaisana .
Apa itu?
Musuhkah?
Namun otak IPA yang dia miliki segera meyaksikan dirinya bahwa itu lampu senter
sebagai isyarat komunikasi. Ah, tentu di situ ada manusia. Pasti bukan musuh. Dan pasti bukan orang dari padepokan atau perguruan ilmu tradisional!
Setelah jelas baginya hal itu, Ki Pita Loka cepat menggulung tikar sembahyang dan berlari masuk guha lagi, pria yang mempermainkan lampu senter itu pun kecewa.
Tapi Pita Loka masuk ke dalam guha untuk bersalin pakaian. Ya. dia masih mmiliki
celana blue jean maupun jacket sewaktu dia minggat dari desa Kumayan.
Dengan ketangkasan luar biasa, Pita Loka keluar dari guha Lebah itu dan hal ini tiada diketahui oleh pria pemburu yang sudah kalut kecewa itu. Sebelum dia meloncat ke
sebuah dahan Ki Pita Loka membetulkan sepatu karet bergelantungan dan terbang sudah tak jelas lagi. Yang kedengaran adalah suara bias angin sewaktu dia mengayun tubuh untuk terbang ke dahan lain. Atau suara dahan patah lalu tubuh Pita Loka menabrak dahan lain tetapi dengan cekaten dia sudah memegang dahan lainnya.
Selama seperempat jam dia sudah menempuh sekitar satu jarak yang agak jauh karena
lompatannya adalah zig-zag. Kini dia sudah bergelantungan di sebuah pohon yang tegak kokoh tepat di tepi tebing sungai. Dari atas pohon ini kedengaran deru sungai yang mengalir sekitar 20 meter di bawah tempat Ki Pita gelantungan. Jarak antara tebing kawasan Bukit Lebah dengan tebing di Bukit Baturiuhsana itu adalah sekitar 17 meter.
Satu-satunya pohon yang tepat untuk diloncati di seberangsana itu adalah pohon yang agak tinggian. Jarak antara pohon itu dengan mobil Landrover itu hanyalah sekitar 10 meter. Jadi tak boleh terdengar suara sedikitpun apabila Pita Loka terbang dan
menangkap dahan pohon tinggi itu.
Bersambung...