Sebelumnya...
Tapi gadis itu menangis tersedu-sedu, bersimpuh di ujung kaki sang Guru Besar, dan hal ini merusakkan perasaan murni Guru Besar itu. Ia kuatir, kejadian ini menjadi ujud mimpi. Dan ia kuatir, kejadian ini bila dituruti akan berekor dengan munculnya satu wanita lagi yang meminta warisan Pedang Raja Turki, seperti dalam mimpi. Dan kejadian yang sedang berlaku di Bukit Tunggal ini justru sedang dituturkan oleh Ki Pita Loka kepada muridnya. Harwati.
Sebenarnya Ki Pita Loka barusan saja menceritakan mimpinya semalam kepada Harwati. Dengan sarapan sari buah-buahan hutan dan umbi pohon kuwat, dari mulut Ki Pita Loka meluncur perkataan: “Wanita yang mendapatikan warisan Pedang Turki itu tak jelas parasnya olehku. Tapi mungkin akulah wanita itu”.
“Kenapa kita berdua tak pergi ke saja, Ki Guru?”usul Harwati.
“Pencaharian barang sakti hanya boleh akibat dari gerak ghaib yang tidak kita ketahui, ketika aku melarikan diri dari desa Kumayan, orang pertama yang memberitahukan padaku tentang benda kembar sakti itu, adalah Ki Ibrahim Arkam.
Dia selalu sembunyi dalam sebuah guha yang pintunya amat tinggi. Ketika itu aku tak mampu memanjat tempat persembunyiannya kendati beliau mempersilahkan masuk.
Hanya Guru Gumara yang mungkin dapat merayap seperti cicak untuk masuk ke pintu guha Ki Ibrahim Arkam. Beliau menyatakan, dua benda yang merupakan kembaran itu dicobanya mencari, tapi toh di tak mendapatkannya.”
Harwati mendengarkannya dengan tekun. Lalu dia merasa, dialah yang disebut Ki Pita Loka sebagai gadis yang akan mewarisi pedang sakti itu. Perasaan Harwati itu seketika itu juga terbaca oleh Ki Pita Loka, yang mendadak bertanya : “Kau berkhayal bahwa kamulah yang nanti memiliki Pedang Guru Turki itu? “
“Oh. mana mungkin”, kata Harwati berdusta. Tapi godaan kisah mimpi sang Guru itu
menjadi pikiran Harawati sehingga dia tidur mengigau, lalu berjalan sempoyongan dan berteriak histeris keluar dari Guha Lebah di tengah malam. Ki Pita Loka mengikuti langkah muridnya, karena ingin mengetahui apa penyebab Harwati mengigau ini. Dan ketika Harwati terpeleset hampir masuk jurang, dengan cekatan Ki Pita Loka melompat menyambar tangan Harwati, menyentaknya, dan menyadarkan sang murid : “Apa yang sedang kau jalani, Wati?”
Harwati lupa pada semua yang sudah terjadi tadi. Sektika itu juga. Mendadak dia
mengaum bagai harimau, tapi dia tidak menjelma jadi harimau. Biarpun begitu, bagi Ki Pita Loka, hal ini dianggapnya satu pertanda. Karena itu, pada siangnya sewaktu dia mengajarkan ilmu meniti air kepada Harwati, Pita Loka tak sengaja melontarkan ucapan : “Ketika aku mendengar kau mengaum sebagai auman macan, aku kuatir aku sekarang ini sedang memelihara seekor harimau kecil. Celaka bagi pemelihara harimau, adalah, jika harimau itu sudah besar, dia akan mencakar gurunya, pemeliharanya”
Harwati tersinggung sekali dan berkata : “Kenapa Ki Guru yang memiliki sepuluh
kesaktian kuatir pada saya? Kenapa Ki Guru selalu menganggap saya akan berkhianat?”
“Karena aku selalu menandai dalam hatimu ada satu hal yang selalu kau rahasiakan” kata Ki Pita Loka.
“Ajaib sekali! Saya sudah bersumpah menjadi pengawal setia, murid setia, kenapa muncul keraguan mendadak?” tanya Harwati.
“Itu bukan keraguan, muridku tercinta! Itu firasat. Firasat tidak dapat ditelusuri akal.
Sebab dia mengandung keghaiban! Dan tiap orang yang ilmunya tajam. Harus percaya kepada yang Ghaib!” kata Ki Pita Loka.
“Sekarang mari lanjutkan pelajaran”, ujar Ki Pita Loka.
Harwati dengan tekun mengatur pernafasan, Ki Pita Loka memberi petunjuk cara meniti air.
“Air selalu pergi ke hilir. Maka jika kau meniti diatas air, ikuti arah arus air,bukan sebaliknya, dan kau harus merasa dirimu ringan. Dan dalam dirimu sepuluh rongga harus kau tutup secara imajiner. Maka gelembung yang tinggal di tubuhmu, yakni udara ibarat udara dalam bola. Kenapa bola tidak bisa tenggelam? Karena gelembung udara yang ada di dalamnya tak keluar, dan diri bola itu jadi ringan. Ayolah kau coba dan jangan lupa berdzikir!”
Harwati mempraktekkan ajaran gurunya. Mulanya dia sempat melewati setengah sungai, lalu tenggelam. Tapi setelah empat puluh satu hari melatih diri, terutama membuat kedap gelembung udara di tubuhnya dengan menutup seluruh rongga dalam diri, ia berhasil. Ia coba lagi meniti air sungai itu. Dan berhasil lagi. Dan berhasil lagi
dan berhasil lagi.
Dia lalu memeluk gurunya. Dan bertekad tidak akan mengkhianati. Itu perasaan amat suci yang pernah singgah dihatinya. Kesetiaan sempurna. Tapi kadang dia ingat lagi mimpi Ki Guru Pita Loka yang sudah di dengarnya Pewaris Pedang Turki itu adalah wanita yang tak jelas. Jadi ini berarti, bukan Ki Pita Loka mungkin saja aku, fikirnya.
Fikiran ini yang selalu bertarung dalam dirinya bagai warna putih dan hitam. Ia berupaya supaya hatinya jernih dalam asuhan Sang Guru, tapi godaan suka mengotori
batinnya, dan keinginan untuk lari, atau berkhianat suka muncul hilang dan muncul dan hilang lagi.
Setelah mandi air kelapa muda sebagai acara ritual selesainya satu tahap itu, Harwati disodorkan sebuah kelapa hijau oleh Ki Guru Pita Loka.
“Kini aku izinkan kau memasuki lingkaran asap stanggi itu”, ujar Ki Pita Loka. “Lalu peganglah kelapa hijau itu, sekuat pegangan, dan tiupkan secara abstrak pada permukaan kulitnya pernafasanmu. Bila warnanya berubah kuning, kau memang calon pemilik kesaktian, lalu makan daging kelapa hijau yang sudah berubah jadi kelapa puan.
Jika tidak, terpaksa aku yang akan melakukanya, namun kau wajib meminum air kelapa puan itu, sekaligus menikmati dagingnya!”
Harwati bersemangat Air kelapa mandian masih berbintik pada rambutnya. Dia memasuki lingkaran asap stanggi yang muncul dari permukaan lantai guha itu dengan rasa gembira. Lalu dia duduk bersila. Dia pegang erat kelapa hijau itu.
Dia rasakan satu kekuatan ghaib bergetar dalam urat tubuhnya, membuat dia makin erat memegang kelapa hijau itu. Dilihatnya kelapa hijau itu berubah kulitnya menguning.
Dan dia menoleh pada Sang Guru. Ki Pita Loka mengangguk tanda dia berhasil. Lalu
Ki Pita Loka berkata: “Kupaslah…buat lobang dengan kekuatan gigi bajing yang suka
membolongi kelapa”.
“Dengan kekuatan kuku?” tanya Harwati.
“Kau memang manusia berakal, murid yang tolol kurang memahami maksud sang Guru”.
“Lihat, Ki Guru, kukuku mirip gigi bajing!”, ujar Harwati yang dengan cekatan mencakar permukaan kelapa puan itu. Dan ketika mencapai batok kelapa, dicoblosnya batok itu dengan telunjuknya. Air yang mengental bagai susu muncrat. Lalu dia minum.
“Ilmumu telah mencapai derajat hebat, muridku...Tapi itu baru salah satu dari jari kelingking gurumu yang berjari sepuluh ini. Kau kini berhak menerima gelar Ki Harwati. Tapi jangan berkhianat, jika kau mengkhianati Guru, dua-dua kita akan mengalami bencana besar di kemudian hari!”
Bersambung...