Sebelumnya...
Begitu Ki Tunggal muncul dari bilik pertapaannya, maka Ki Rotan pun berhenti menggelepar. Tubuh yang lemah itu lalu merangkak, dan dia ciumi kaki Guru Besar itu seraya berkata: “Ampuni aku, Raja dari semua Guru! Aku kesini tersesat!”
“Aku tahu. Aku juga tahu, kau baru keluar dari tawanan Ki Pita Loka. Harap kau
tidak menghampiri dia lagi, kecuali jika aku sudah mati. Masa istirahatku sudah
dekat. Jadi aku akan lebih terbuka kepada siapa pun yang datang. Dan aku tahu. kau
datang tanpa kau sengaja!”
“Betul, Guru Besar”, Ki Rotan bersemangat, mencium kaki sang Guru lagi.
“Sekarang, berhentilah menciumi kakiku. Kakiku hanya suci selama 100 tahun saja.
Jika kaki ini melanggar debu. Itu berarti masa tugasku berakhir. Bukit Tunggal ini
akan menjadi bernama Bukit Tinggal, karena dia kutinggalkan. Lalu, kau ke sini
karena menginginkan sesuatu?”
“Ya, Ki Guru mulia!”
“Sebutkan apa yang kau inginkan?”
“Sebuah Kitab”.
“Oh, anda akan gila seperti muridku Ibrahim Arkam menginginkannya. Kitab itu
sudah ditemukan oleh seseorang, untuk seseorang. Dia tidak akan jatuh kepada siapa
pun kecuali pada seseorang!”
“Jadi bukan tuan pemiliknya!” ujar Ki Rotan memberanikan diri.
“Bukan aku. Aku hanya memiliki pasangannya!”, kata Ki Tunggal.
“Berikan pasangan Kitab itu padaku, Ki Guru! Aku akan memeliharanya!”
“Pedang Raja Turki yang kau maksud?”, Ki Tunggal tersenyum dan tersenyum itu
sudah semacam tertawa lebar bagi Guru seagung dia. Dan sembari tersenyum pula Ki
Tunggal berkata: “Kau terlalu kotor untuk memegang gagangnya, apalagi memilikinya. Kini sebaiknya kau pulang, sebelum bencana menimpamu!”
“Aku kehilangan jalan pulang maka aku tersesat ke sini”, kata Ki Rotan. “Aku seperti kehilangan kesadaran karena terusir dari Gua Lebah”.
“Bau stanggi itu yang membuatmu mabuk. Selagi asap stanggi di gua itu masih
berada dalam paru-parumu, kau masih dalam keadaan setengah sadar. Tapi apa boleh buat, kau harus cepat enyah dan sini!”, mendadak suara Ki Tunggal menggelegar bagai petir, sehingga Ki Rotan keluar ketakutan, lari terbirit tanpa pamit.
Ia kembali seperti orang gila, berteriak di hutan belantara maupun di lembah yang menimbulkan bunyi gema yang menakutkannya sendiri. Tapi Ki Rotan yang
sempoyongan itu menghentikan langkahnya ketika ia merasa terkepung oleh sembilan
orang memegang tongkat.
“Siapa kalian?” tanyanya ketakutan.
“Kami pengawal Tuan Guru!”
Baru ia sadari, bahwa dia telah tiba di Bukit Rotan di kawasan padepokannya sendiri.
Ketawanya menggelegar terbahak-bahak, dan semua muridnya heran. Seluruh pengalamannya di Bukit Tunggal malah ia lupa, tapi pengalamannya di Gua Lebah dia masih ingat.
Jarang-jarang sekali Ki Tunggal kelihatan gelisah seperti sekarang ini. Seperginya Ki Rotan dia menganggap kedatangannya itu mengandung sial atau suatu pertanda buruk. Padepokannya hanya didatangi orang-orang yang benar-benar suci. Ini berarti, kekuatannya sebagai Harimau Tunggal sudah benar-benar diujung tugas
kehidupannya.
Dan malam ini ia bermimpi aneh seorang wanita muncul dan menyatakan dirinya
sebagai isterinya! Ah, ini pasti pertanda buruk. Dia selama ini menepati janji tidak
akan beristeri dan tidak membuat keturunan. Ia terjaga, dan dia penuh ketakutan karena dia melihat air maninya sudah tertumpah.
Lalu, malam itu Ki Tunggal sengaja tirakatan. Dia sejak siang tak makan, juga dia berniat tak tidur. Tapi dia toh ketiduran juga pada dinihari. Dia bermimpi lagi.
Seorang wanita muda lagi muncul, tapi bukannya wanita yang pertama tadi.
“Tuan serahkan Pedang Turki kepadaku. Mengingat masa jabatan tuan sudah menjelang akhir”, kata wanita muda yang tak dikenalnya itu.
“Siapa kau? Aku tak mengundangmu ke sini”
“Aku anak orang sakti, dan murid orang sakti. Bila pedang itu tidak tuan serahkan padaku tuan akan mati dalam keadaan mengerikan, tidak diterima oleh bumi, tidak diterima oleh air, tidak diterima oleh udara!” Dalam inimpi yang amat mengerikan itu, Ki Tunggal menyerahkan Pedang Turki itu, satu benda yang merupakan kembaran
Kitab Makom Mahmuda yang berisi petunjuk kehidupan.
Pagi hari Ki Tunggal bangun dengan bermuram durja. Aku adalah harimau pertama
dari dunia persilatan yang tujuh. Lalu dia menuju kolam ikan, sebelah sungai yang
sudah 100 tahun dia aliri airnya menjadi empang ikan. Dia bukan saja terkejut melihat
ikan-ikan itu menjauh. Tapi setelah permukaan empang itu tidak beriak lagi, Ki Tunggal melihat wajahnya bagai behadapan dengan kaca di permukaan kolam itu!
Aduh, apa gerangan Yang membuat wajahku berubah jadi muda? Diperhatikannya lagi wajahnya di permukaan kolam itu. Dia melihat dirinya begitu muda perkasa.
Namun ketika dirabanya raut mukanya, dia rasakan lipatan keriput ketuaan.
“Tuan, tolong aku”“ terdengar suara berteriak.
Ternyata ada gadis hanyut. Ki Tunggal biasanya mempertanyakan diri lebih dahulu
apakah itu manusia atau jin. Apakah itu seruan baik atau buruk. Tapi kali ini Guru
Besar itu begitu lincah meninggalkan empang ikannya berlari melompati batu-batu sungai itu, dan memungut gadis yang hanyut itu.
Gadis itu cantik dan menerbitkan birahi. Buah dadanya yang tertutup kain basah itu memperlihatkan putiknya yang menggiurkan. Ki Tunggal heran, ketika gadis ttu
memuji: “Tuan muda dan ganteng tetapi lebih dari segalanya, Tuan baik hati. Di mana
rumah tuan?”
“Di atas bukit itu”.
“Siapa nama Tuan?”
“Dadu Tunggal”.... Ujar Guru Besar itu, yang untuk pertamakali menyebut nama
ketika mudanya.
“Siapa kau?” tanya Dadu Tunggal.
“Namaku Senik. Tadi malam aku bermimpi hanyut, dipungut oleh seorang Guru Perkasa, yang ternyata anda! Tapi tuan jangan terkejut, saya dihanyutkan air, sebetulnya dihanyutkan oleh Nasib!”
“Nasib?”
“Ya. Sayalah ladang tempat tuan menyebarkan benih keturunan!”
Mendadak Ki Tunggal sadar pada janji semula, pada gurunya, Ki Turki yang memantangkan dia memberi keturunan kepada wanita. Maka dia membentak Senik dengan suara menggelegar: “Penggoda kau! Laknat kau! Aku tidak diperkenankan memberi turunan!”
“Tuan boleh memakiku! Aku bukan wanita penggoda! Aku dibawa nasib. Dan tuan
jangan coba-coba melawan hukum alam, sedangkan hewan dan tumbuhan pun mengalami perkawinan!”
Ki Tunggal terperangah. Dia duduk di batu. Senik tergiur melihat kegantengan pria yang duduk di batu itu. Ganteng dan perkasa, dengan otot-otot yang kenyal bagai
gulungan akar pohon.
“Jangan kau hampiri padepokanku. Hanya orang suci yang berhak menghampirinya.
Kau sudah kutolong, jangan kau celakakan saya lagi!” ujar Ki Tunggal.
Bersambung...