Sebelumnya...
Tapi waktu setengah jam itu masih cukup lama, pikirnya. Dia meresapi tatapannya ke bintang Kejora yang sinarnya gemerlap itu. Mendadak dia mendengar suara gemersik di sekitar sebelah kanan pintu gua. Pita Loka melirik kesana . Memang ada sosok yang sedang menyusup di sela empat batang pohon langsat.
Pita Loka membalikkan tubuhnya membelakangi sosok yang mendekati itu. Sosok itu
semakin merasa aman. Makin jelas jika dilihat seksama, dia mengenakan destar merah darah. Ya. Pita Loka pun sudah tahu bahwa manusia yang mau menggempurnya adalah Ki Rotan.
Dia tenang-tenang saja menghadapi kemungkinan itu. Tetapi,lima huruf yang terjalin dalam satu perkataan itu sudah mulai mengisi seluruh urat darahnya. Lidahnya
bergerak, dan gerak lidah yang mengucapkan satu perkataan abadi itu semakin bergetar cepat, dan seluruh urat darah Pita Loka seakan sudah terisi dengan sekian juta kata-kata yang digerakkan lidahnya.
Ki Rotan sudah berdiri tegap dari gerak semula yang merunduk. Tongkat di
tangannya sudah siap untuk dihantamkannya ke kepala Pita Loka. Kalau diteliti, jarak
tegaknya Ki Rotan dengan Pita Loka adalah syarat yang cukup untuk menghantam kepala Pita Loka sampai hancur.
Yang gelisah justru lebah-lebah itu. Lebah-lebah itu sepertinya tak sabar untuk keluar dari pintu gua. Tapi melihat ketenangan majikan yang memeliharanya, lebah-lebah
yang gelisah itu akhirnya seperti berbisik-bisik saja. Mendengar suara lebah itu
berbisik. Ki Rotan jadi ragu.
Bahkan dia makin tegang. Keringat dingin mulai mengalir sementara peganganya
pada gagang tongkat semakin kuat.
Mendadak Ki Rotan bagai mengamuk berteriak nyaring sembari menghantamkan
tongkatnya tepat di tengah batok kepala Pita Loka. Dari permukaan kepala itu tampak
bagai kilat disertai bunyi pecahan kaca. Tongkat itu sendiri setelah menghantam
sasaran karena dipegang amat kuat gagangnya oleh Ki Rotan membuat Ki Rotan membal ke udara.
Namun ia jatuh kembali ke bumi dengan pegangan tongkat yang kukuh dan telapak
kaki tegak perkasa. Ki Pita Loka, yang masih berdiri tenang, dengan kedua tangan
berlipat di dada, lalu membalik 90 derajat, ketika mana satu hantaman tongkat menghantam leher kirinya. Tapi kembali tongkat itu membal bersama Ki Rotan yang juga terlempar ke kiri.
Pita Loka maju selangkah. Ketika Ki Rotan mengayunkan tangkatnya lagi mau
menghantam leher kanan Pita Loka, ketika inilah Ki Pita Loka menyambut hantaman
itu dengan tangan kirinya, kemudian tongkat yang sudah terpegang itu dia pusingkan
melingkar di atas kepalanya. Ki Rotan seperti dipermainkan ibarat sirkus dengan
keraguan tak berani melepaskan pegangan tongkatnya. Setelah sekian putaran mempermainkan Ki Rotan begitu tepat pada waktu pegangan Ki Pita Loka dia lepas hingga Ki Rotan dan tongkatnya menyerbu masuk pintu gua yang terdiri dari rubungan lebah-lebah. Lebah-lebah yang terkena tabrakan itu seketika itu juga jadi marah dan begitu Ki Rotan ambruk di sekitar pendapa gua, langsung saja dia dikerubuti lebah-lebah yang ribuan jumlahnya.
Aneh sekali. Keadaan yang menghebohkan itu tidak membuat Harwati terbangun.
Ketika Ki Rotan sudah diantup habis-habisan oleh pasukan lebah itu, tanpa bisa
bergerak lagi, waktu itulah Ki Pita Loka memasuki pintu padepokanya itu dengan langkah tenang. Dia bangunkan Harwati.
Tapi dia tak memberitahu apa yang terjadi agar konsentrasi Harwati jangan meleset
Harwati dituntunnya menuju gentong besar yang terbuat dan tanah liat selama selikur
hari dulu, di kala ia menuntut ilmu pertamakali sebelum Harwati diguyurnya, Ki Pita
Loka mengajarkan satu perkataan yang terdiri dari lima hurup. Dan perkataan itu diulang-ulangi dengan lidah sampai meresap.
Dari lambat semakin cepat. Dan begitu Harwati selesai diguyur…dia kemudian
pingsan.
Ketika itulah Harwati digotong oleh Pita Loka dan ditaruh di atas susunan batu batu, yang selama ini menjadi tempat tidurnya. Dan dalam tempo seperempat jam, Harwati
kembali sadarkan diri. Begitu dia sadarkan diri dia kaget seketika karena dia sudah
dalam keadaan berpakaian.
Padahal tadi rasanya dia masih mandi diguyur. Harwati duduk. Dia tiba-tiba
terdongak kaget melihat sosok yang membengkak, Ki Rotan, dalam keadaan mengerikan.
Sungguh luar biasa! Harwati tercengang karena Ki Pita Loka, Gurunya, justru sedang melakukan pengobatan atas diri Ki Rotan. Pengobatan itu pun amat sederhana. Hanya ibu jari sang Guru digosokkan pada langit-langit mulutnya, lalu jempol itu diusapi pada kening Ki Rotan, dan bengkak di seluruh tubuh Ki Rotan jadi kempis.
Ki Rotan sadarkan diri secara amat mencengangkan. Dia melihat Harwati dan berkata;
“Kau murid yang tak pernah berhenti durhaka, Wati”
“Sebaiknya anda pergi, Ki Rotan. Semua yang anda alami, merupakan bukti, bahwa
saya ini bukan lawan anda” kata Ki Pita Loka.
Harwati diam sembari memikirkan sesuatu. Sesuatu yang tak mungkin terbaca oleh
perasaan Ki Pita Loka.
Ki Rotan berdiri. Ketika ia mencari tongkatnya, Ki Pita Loka memberi tongkat itu
kepadanya. Seraya berkata: “Ilmu yang anda punyai hanya sepanjang tongkat yang anda pegang”.
“Tapi ilmu Tuan Guru pun sebanyak asap stanggi yang mengepul itu. Bila asap itu
habis. Habislah ilmu anda, Ki Pita Loka”, kata Ki Rotan.
“Sudah jangan banyak bicara lagi. Anda sudah saya usir secara baik-baik, Ki Rotan.
Jangan masuki wilayah ini lagi, kecuali jika anda mau tidak selamat”, kata Ki Pita Loka.
Namun dengan getol Ki Rotan menjawab: “Tahukah anda selain saya sekarang ini
banyak lagi orang yang ingin mendapatkan Pedang Raja Turki dan Kitab Makom Mahmuda yang anda sembunyikan? Untuk itulah saya ke sini!”
Ki Pita Loka terdongak kaget. Dia memang pernah menyaksikan dua benda yang
disebut Ki Rotan itu. Tapi bukan dalam keadaan nyata atau konkret. Tapi hanya dalam enam kali mimpi!
“Anda kaget dengan ucapanku, bukan? Pernah kutemui seorang pengembara tua, namanya Ki Ibrahim Arkam. Dia mengira akulah yang memiliki dua benda sakti itu.
Dari dia aku mengetahui. Dan kini anda terkejut! Hah, jangan kuatir, Guru besar . . .
saya akan kembali!”
Menjelang dia melangkah berlalu, dia menoleh pada Harwati dan berkata dengan
sopan: “Belajarlah dengan baik padanya. Lalu ambil ilmunya!”
Harwati jadi gugup. Dia kuatir dianggap Ki Pita Loka pada suatu saat akan berkhianat. Begitu pun setelah Ki Rotan berlalu, dia tanpa diminta berkata: ““Tuan Guru, aku tidak akan mengkhianati anda!”.
“Oh, buatku sama saja. Kau belajar padaku, setia atau berkhianat itu sama saja”, kata Ki Pita Loka. Lalu Ki Pita Loka bertanya pada Harwati: “Pernahkah kau dengar
tentang Pedang Raja Turki itu?”
“Tidak, Ki Guru!”
“Pernah kau dengar tentang Kitab Makom Mahmuda?”
“Juga tidak, Ki Guru!”
“Lalu untuk apa kau datang ke sini?”
“Hanya ingin belajar”.
“Setelah selesai?”
“Saya siap menjad pengawal anda”. kata Harwati.
“Sekiranya Guru Gumara mendadak datang ke mari, apa tindakanmu?”
Harwati cepat menjawab: “Saya anjurkan pada saudara tiriku itu agar menjadi
pendamping anda!”
“Dusta!” Ki Pita Loka menuding marah. “Kau kira aku tidak tahu isi hatimu? Kau
mencintai Guru Gumara, betulkan ?! “
Terkena tanya yang amat mengerikan ituu, Harwati sigap menjawab: “Tidak! Kami
lahir dari satu ayah. Mana mungkin dua anak Ki Karat saling mencintai? Apalagi menuju ke jenjang suami isteri? Cuma anda, Ki Guru yang mulia, yang masuk akal untuk menjadi pendamping Guru Gumara!”
“Ucapanmu menghibur”, kata Ki Pita Loka.
“Itu logis. itu masuk akal!” kata Harwati. “Beda denganku. Aku satu titiisan darah dengan dia”
“Oh, begitu”, mata Ki Pita Loka lalu menjadi berbinar menahan marah, dan dia
menuding lagi: “Kau mendustai aku ketika pertama kali kau datang mengecoh diriku,
mengatakan membawasurat Guru Gumara. Atas dasar apa kau kecoh diriku dengan surat dustamu?”
“Supaya saya diterima Tuan Guru dengan baik”, kata Harwati.
Ki Pita Loka merasa ada bunyi berdenging dari arah tirai stanggi itu, pertanda tak baik. Dia langsung sadar bahwa iblis sedang menggodanya. Lalu dia berkata: “Mari
kita habisi cerita Gumara. Kau tidak akan mendapatkannya seperti alasan yang kau
katakan, dan aku pun tidak akan mendapatkannya karena alasan pribadiku pula”
“Alasan apa. Tuan Guru, jika boleh saya tau?” tanya Harwati.
“Syarat terberat, bahwa aku tidak boleh tergoda pada lelaki mana pun. Jadi ini berarti: termasuk Guru Gumara. Mari kau kutambah dengan tingkat ilmu lebih tinggi!” kata Ki Guru Pita Loka.
Ki Rotan, sementara itu melangkah sempoyongan tanpa tahu arah lagi. ia beteriak-
teriak di tengah hutan belantara. dan kehilangan arah mencari Bukit Rotan, padahal ia
harus kembali ke padepokan.
Sekonyong, sehabis suaranya menjadi serak karena beteriak, dia tercengang sudah
tiga minggu perjalanan ternyata tersesat ke Bukit Tunggal! Ki Rotan gugup dan ketakutan. Sebab sudah menjadi ajang dongeng selama ini, siapa pun yang masuk ke
wilayah Ki Tunggal maka jika tanpa izin, pasti akan mengalami hukuman.
Ki Tunggal adalah Guru dari Semua Guru, sungguh pantangan menemui beliau tanpa
ada petunjuk sebelumnya.
Pondok padepokan Ki Tunggal seluruhnya terbuat dari daun nipah. Itu sudah tampak
dari jauh oleh Ki Rotan. Tapi beradanya Ki Rotan di kawasan Bukit Tunggal sudah pula diketahui oleh Ki Tunggal. Kendati beliau ketika itu berada dalam kamar petapaannya.
Dia melihat seorang lelaki sempoyongan di bawah pohonan cendana.
Menuju Pondoknya. Dia melihat bukan dengan mata! Tapi dengan hati. Dan dengan
ilmu gelombang dia lingkari tamu tak diundang itu, agar masuk ke dalam orbitnya.
Dan memang, Ki Rotan berjalan sempoyongan seperti ditarik oleh magnet. Kekuatan
daya tarik, yang membuat dia seakan-akan menyerah oleh tarikan itu.
“Hai, Ki Rotan, sibakkan daun pintu itu. Dan masuklah”, terdengar suara Ki Tunggal dari dalam. Hal ini membuat Ki Rotan ngeri, tapi dia senang juga karena mendengar keramahan suara Guru Besar tadi. Dia sibakkan pintu daun nipah itu. Dengan amat santun dia masuk. Tapi tak ada orang. Dia lalu ngeri dan bagai orang mabuk dia ingin muntah-muntah. Lalu dia menggelepar-gelepar di lantai tanah liat itu, namun tetap memegang tongkatnya. Satu-satunya yang masih sadar dia lakukan!
Bersambung...