Sebelumnya...
Tentu saja Ki Lading Ganda terkejut atas sikap tegas Ki Pita Loka. Terutama tuduhan blak-blakan pada diri pengembara aneh yang hampir saja dihajarnya. Dan dia lebih takjub lagi ketika melihat pengembara sinting itu segera enyah meninggalkan Bukit Kumayan.
Ki Lading Ganda melangkah sopan menghampiri Ki Pita Loka. Lalu bertanya sepertinya seorang murid bertanya pada sang guru: “Ki Guru, apa artinya ini semua?”
“Mestinya tuan sudah maklum. Ingat kembali yang tadi diucapkan Dasa Laksana?
Saya mendengarkannya di balik semak, sejak tuan guru muncul menemuinya lalu mendengarkan apa ocehannya. Semuanya itu tidak usah dipercayai. Dia hanya datang untuk mengacau perasaan kita semua”.
“Tapi Ki Guru Pita Loka”, ujar Ki Lading Ganda mendekat lagi, “Saya rasa ada benarnya jika dia katakan, bahwa Ki Gumara melibatkan diri dengan Ki Ratu Turki”.
Ki Pita Loka terdiam sesaat. Kemudian dia berkata: “Anda seorang tua. Anda tak usah risau dan kuatir apa yang diperbuat anak-anakmuda. Seorang pendekar dihormati dan pantas dikuatirkan apabila ilmunya tinggi, dan sementara itu usianya dan pengalamannya besar”.
“Maksud tuan guru muda . . . saya tak usah merisaukan berita mengenai Ki Gumara?”
“Pendeknya, dia bukan seperti yang anda duga, Guru Tua”, ujar Pita Loka lalu memberi tanda pamit dengan kedua telapak tangan bersungkem ke arah Ki Lading Ganda.
Ki Lading Ganda pulang dengan pikiran kacau.
Tetapi, Pita Loka pun mulai jadi bimbang. Ayahnya mengetuk pintu kamarnya.
Setelah masuk, dia bertanya: “Di mana-mana warung yang aku kunjungi, malam ini ada kesan penduduk semakin resah. Apa yang diucapkan pengembara fakir itu, kelihatannya mempengaruhi rakyat. Apa pendapatmu?”
“Saya tak punya pendapat”, kata Ki Pita Loka.
“Itu tak baik. Kau lebih mengetahui dari kami. Tapi kau berlagak tenang.
Ceritakanlah pada ayahmu, apa sebenarnya yang akan terjadi? Kenapa Kitab Tujuh itu dicari-cari dan bakal menimbulkan bencana?”
Ki Putih Kelabu menjadi geram karena Pita Loka hanya membungkam. Malah dia lebih jengkel ketika Pita Loka berkata: “Saya malam ini belajar. Karena besok akan ujian ekstension “
“Baiklah. Itulah perbedaan ilmuwan dengan pendekar. Ilmuwan sibuk meramu jamu, kendati dunia sekeliling kebakaran dia akan terus meramu jamu. Tapi seorang pendekar akan melempar gelas jamu bila teriadi kehebohan”, kata Ki Putih Kelabu dengan nada mendongkol.
Sebenarnya orangtua itu sedang memancing sikap Pita Loka. Dia menganggap, Pita Loka berubah sikap untuk menjadi pelajar sekolah SMA hanyalah untuk menutupi ilmu yang telah dia petik selama 1000 hari dari Bukit Lebah.
Yang dia inginkan dari Pita Loka adalah reaksi. Tapi Pita Loka kelihatan tidak perduli.
Dia juga tidak perduli ketika bergerombol anak-anak muda yang ikut ujian ekstension SMA menanyakan isyu terancamnya desa Kumayan.
“Itu pekerjaan para pendekar. Kita bukan pendekar. Kita calon pelajar. Pelajar SMA.
Buat apa kita sibuk - sibuk. Kita tunggu saja bel ujian berbunyi, lalu siapkan diri untuk menjawab soal-soal”. kata Pita Loka.
Ketika bel ujian berbunyi, Pita Loka memasuki lokal untuk ujian. Seluruh calon murid SMA yang mendaftar ada 14 orang, termasuk Pita Loka. Ujian ini diberikan kesempatan oleh Kakanwil untuk mengurangi banyaknya anak-anak muda liar yang suka bergerombol. Tapi Pita Loka tidak sedikit pun memperlihatkan tanda-tanda berpura-pura.
Dia tak menunjukkan tanda kependekaran sedikit pun kecuali saat dia mengusir lebah-lebah dulu dan apa yang dia perbuat semalam, sewaktu mengusir Dasa Laksana.
Tetapi menjelang bel ujian hari itu berbunyi, seorang penduduk minta ijin pada pengawas ujian untuk menemui Pita Loka.
Pita Loka menyelesaikan dua soal lagi, baru kemudian menemui Pak Tenong itu. Dia bertanya: “Adaapa menemui saya, Pak?”
“Anakku Daim diculik! Apakah bisa membantu?” tanya Pak Tenong.
“Jangan minta bantuan saya. Saya hanya manusia biasa,Pak. Mintalah bantuan Ki Lading Ganda”.
“Dia menyuruh saya ke sini, Ki Pita Loka. Dia katakan, inilah awal dari serangan nyata yang akan dibuktikan Ki Ratu Turki. Anak Rekasa juga diculik.Ada tujuh anak remaja di sini kena culik.”
“Tapi sayalima hari ini menghadapi ujian, Pak. Tak mungkin saya dapat membantu.
Maafkan saya”, kata Ki Pita Loka. Orang yang tertimpa musibah itu menangis meratap, berlutut di hadapan Pita Loka. Tapi Pita Loka hanya berkata: “Jangan jadikan saya ini dewa. Sungguh mati, saya tak punya daya kekuatan apa-apa”.
Tapi, hati Pita Loka betul-betul tergugah setelah pada malam harinya muncul Paman Kurukjahi. Dia membawa sepotong tangan buntung dan berkata: “Wahai pendekar muda, apa perasaanmu satelah melihat sepotong tangan ini?”. Tampak darah membersit di wajah Pita Loka, seakan – akan dia tak dapat menahan amarahnya.
Tangan itu begitu dia kenal, tangan saudara sepupunya yang paling pandai bermain gitar dan kecapi.
“Karena cincin yang kukenal masih ada di jari tangan ini, aku tahu ini tangan sepupuku Agung Kifli. Di mana tangan ini paman temukan?” tanya Pita Loka dengan mata tak berkejap.
Kurujakhi bertanya pula; “Apa perlu kusebutkan tempatnya? Mana yang penting, tangan anakku atau orang yang memotongnya?”
“Kalau begitu saya ditantang”, kata Pita Loka.
“Bukankah sejak beberapa hari ini kau ditantang? Rakyat sudah cemas sejak tersebarnya berita, bahwa bumi Kumayan akan dihancurkan oleh Ki Ratu Turki. Dan aku dengar dia pun bekerja sama dengan anak Ki Karat dari istrinya yang lain, seorang guru yang pernah dihormati !.
Di mana anda berdiri dalam ancaman ini?”
“Saya berdiri di bumi kelahiranku, Paman!”
“Nah, bangkitlah! Ajaklah semua harimau-harimau Kumayan ini, termasuk ayahmu, untuk menyerang musuh terlebih dahulu sebelum kita ditakut-takutinya dengan penculikan dan potong tangan! “
Pita Loka diam.
“Jadi paman menganggap Pedang Turki yang memotong tangan sepupuku?” tanya
Pita Loka dengan tatapan mata menantang.
“Ya! Bahkan aku tahu di mana bajingan – bajingan itu bermukim!”
“Paman salah”, kata Pita Loka. “Saya berani menjamin, pedang Turki tidak melakukan pemotongan sekasar ini. Tangan ini ditebas oleh golok yang kasar, ini perbuatan adu domba, supaya kita mendapat kesan bahwa Ki Ralu Turki maupun Guru Gumara adalah pendekar-pendekar kejam. Tidak. Aku tidak percaya bahwa penculikan maupun kekejaman begini dilakukan oleh pendekar kelas satu. Ini kerja pendekar kelas kambing!”
Dan tanpa diduga sedikit pun Pita Loka seakan–akan menjelma menjadi seorang cekatan dengan dua langkah lompatan langsung melocat ke halaman.
Pita Loka tidak bersenjata. Dengan tangan kosong seakan - akan dia menjadi angin limbubu yang kecepatan larinya sudah tak dapat dilihat oleh mata lagi. Dan orang tak sempat mengetahui, bahwa dia sudah berlompatan dari dahan ke dahan begitu lincahnya melebihi lincahnya seekor simpai hutan.
Dan ketika dia tiba di perbatasan desa Kumayan, menghadap ke Bukit Anggun dia terhenti sejenak.
Dia melihat di situ asap api. Pertanda di situ ada sebuah perkampungan. Dia tiba-tiba yakin, bahwa dia harus kesana! Dia yakin, orang yang dia cari pasti ada di desa Anggun. Desa ini tempat pelarian penjahat kotor, bajingan tengik, dan para pendekar yang gagal mengguru karena ingin cepat pandai.
Dia tak ingin muncul di desa Anggun ketika hari sudah terang. Dia ingin menyergap musuh yang dicurigainya justru menjelang datangnya pagi hari.
Desa Anggun sekelilingnya dipagari oleh belahan bambu, dan dibuat pula selokan-selokan penjebak. Begitu dia memasuki pintu gerbang desa, Pita Loka menyepak pagar itu dengan obrak-abrik bagai orang kesetanan. Beberapa pohon dia terjang hingga roboh. Dan anj ing penjaga yang menyeruduk padanya dia terjang dengan tendangan yang mengerikan, anj ing itu bagai terlempar terbang ke bubungan rumah. Dan seluruh desa terbangun.
“Aku. Pita Loka dari desa Kumayan, menuntut nyawa satu orang biadab yang sedang aku cari!” teriak Pita Loka dengan berkacak pinggang. Kebenciannya sudah seleher, tinggal muntah saja lagi .
Di sini tak ada kepala desa. Yang ada orang pemberani yang paling banyak membunuh dan paling jahat dan dia diberi gelar Tua Anggun. Nah, Pita Loka dengan sikap agak sabar melihat munculnya Tua Anggun.
“Siapa yang tuan cari?” tanya Tua Anggun.
“Kuharap, sebelum matahari terbit, serahkan nyawa dan badan Dasa Laksana. Hidup atau mati, serahkan 17 remaja yang dia culik dan potong tangannya, termasuk sepupu saya Agung Kifli!”
Suara teriak Ki Pita Loka cukup menggentarkan perasaan Raja Penjahat itu. Dia berkata: “Aku kenal nama tuan guru dari si busuk yang berlindung di sini itu. Kami menamakan dia itu Si Busuk. Diakah yang tuan muda inginkan?”
“Ya. Dia Hidup atau mati!” bentak Pita Loka.
Dan dalam sekelebatan Tua Anggun sudah menyeret Dasa Laksana, ketika dia terkulai sehabis semalam suntuk berbuat homoseksual dengan pemuda yang dia culik.Ada tiga yang di potong tangannya karena menolak sanggama itu.
Bersambung...