Sebelumnya...
DENGAN sangat penasaran, begitu Dasa Laksana diserahkan ke hadapan Pita Loka, maka Ki Pita Loka ngamuk dengan tiada belas kasihan. Ketika kepala Dasa menelangsa menghatur sembah. Jari-jari tangan yang menghatur sembah itu disikatnya dengan sabetan sepakan dahsyat.... Dasa Laksana menjerit kesakitan. Dan dia merangkak lagi, menghatur sembah lagi. Ki Pita Loka menyabet lagi dengan sepakan hingga Dasa Laksana melintir, berguling-guling dengan menjerit.
Tapi Dasa Laksana nelangsa lagi dengan merangkak. Kali inilah Ki Pita Loka tidak bisa menahan amarahnya. Diangkatnya tubuh Dasa Laksana yang sedang merangkak itu, lalu dia lemparkan kepagar-pagar bambu yang jadi pembatas desa Anggun itu.
Pagar itu ambruk, dan tubuh Dasa Laksana terlempar.
Seluruh penduduk yang terdiri dari keluarga bajingan - bajingan perampok penyamun pun pada berkeluaran.
Tapi Dasa Laksana bagai orang mabuk terhuyung menghampiri Ki Pita Loka lagi. Dia merangkak dan menghatur sembahnya lagi. Matanya melihat pada penduduk,biang kejahatan itu dengan mohon dikasihani. Tapi Ki Pita Loka, tanpa kasihan menyergapnya dengan kedua tangan, mengangkatnya, lalu melemparnya bagai melempar karung basah. Tubuh Dasa menghajar penduduk dan mereka berteriak secara serentak:”Bunuh pendekar sinting itu!”
Saudara sepupu Ki Pita Loka yang bertangan buntung - Agung Kifli - lalu menyergap Pita Loka: “Ayoh lari, sanak!”
“Tidak!”, ujar Ki Pita Loka dengan menebah dada dan berseru kepada penduduk Anggun: “Ayoh siapa yang siap mau membunuh pendekar sinting, mari serahkan nyawa kalian!”
Dalam keadaan mereka ragu, dengan satu putaran gasing gila. Ki Pita Loka menyeruduk dengan melakukan tendangan putaran bertubi-tubi ke arah muka, tanpa pilih bulu, sehingga mereka ambruk satu demi satu.
Sungguh suatu perkelahian tunggal yang teramat seru, satu pendekar lawan 40 orang keluarga penjahat. Diantara mereka ada yang pingsan. Bahkan ada yang langsung mati konyol apabila sabetan tendangan lingkar itu tepat mengenai jantung...
“Kalian sudah puas dengan kejahatan. Jadi harus dijahati juga,” ujar Ki Pita Loka seraya menyeret tangan kanan Agung Kifli dan berkata lagi: “Ayoh saudara sepupuku kita kembali ke Desa Kumayan. Bawa semua temanmu yang kena culik!”
Tapi secara naluriah, ketika pergulatan sengit Pita Loka menghancurkan penduduk jahat ini, ketujuh belas anak-anak remaja yang telah diculik Dasa Laksana itu telah menyisih ke balik pagar. Sehingga dengan amat mudah mereka digiring ke luar desa Anggun, desa Perampokan itu, mengikuti langkah Ki Pita Loka.
Biarpun dirasakan oleh Ki Pita Loka langkahnya biasa, namun bagi ke 17 anak-anak remaja yangmalang itu dirasakannya langkah itu amat gesit sekali. Tapi mereka tiada mengeluh dan cengeng. Mereka malah mengira, bahwa Dasa Laksana kelak akan menguntit mereka dan belakang. Semalam suntuk rombongan itu berlalu meninggalkan desa celaka itu. Semua mereka sudah buntung tangan kanannya, digolok oleh Dasa Laksana. Semua mereka justru dikorbankan untuk mempertakuti hati penduduk Desa Kumayan. Dengan dongengnya di gardu peronda di desa Kumayan tempo hari, Dasa Laksana akan memberikan kesan, bahwa ke17 anak remaja yang ia culik dan potong tangannya adalah korban dan pemilik Pedang Ratu Turki.
Lalu, cahaya matahari muncul dari Bukit Kerambil. Bukit ini bukit bagian barat dari gugusan bukit-bukit barisan. Diantara anak-anak remaja itu kelihatan ada yang tak kuat lagi berjalan karena tanpa henti berjalan terus sejak diselamatkan Ki Pita Loka.Ada tiga orang yang jatuh pingsan.
Ki Pita Loka memperhatikan, siapa yang paling sigap membantu yang pingsan-pingsan itu. Dan dia senang karena diantara yang membantu itu ada saudara sepupunya, Agung Kifli.
Ada sepuluh orang semuanya yang pingsan. Dan penolongnya tetap saja, yaitu Agung Kifli dan lima lainnya.
Enam orang itu, menurut ruguhan batin Ki Pita Loka, adalah remaja - remaja yang berhati suci.
Dia biarkan saja enam anak baik itu berusaha menyadarkan sepuluh anak yang pingsan itu.
Diantara yang barusan sadar, cengeng meronta dan berkata: “Kembalikan kami ke Kumayan.”
“Kembalikan”, kami ke rumah,” kata yang lain. Seluruhnya sudah sepuluh orang.”
“Siapa diantara kalian yang ingin kembali?”
Satu dua tiga sampai sepuluh. Tapi ada seorang, yang tampaknya bimbang. Dialah yang dipanggil oleh Ki Pita Loka sewaktu matahari telah terbit benderang. Anak itu berusia sekitar 16 tahun. Tegap tapi sikapnya ragu.
Tapi dia punya kelebihan dari sepuluh yang lainnya.
Lalu, tampil pula anak yang ke 12. Dia tampil dan memperkenalkan dirinya: “Kakak barangkali tak kenal saya. Saya Rauf, teman Jadim.”
“Jadi kau yang bernama Jadim?” tanya Ki Pita Loka kepada yang peragu.
“Ya. Kak,”
“Jadim dan Rauf akan memimpin rombongan 10 orang ini ke Kumayan.”
“Kami tidak tahu jalan, kak,” kata Rauf.
“Jangan kuatir. Saya akan menolong kalian,” ujar Ki Pita Loka seraya meraih kepala Jadim dan Rauf. Pita Loka meniup ubun kepala anak-anak yang berdua itu setelah memohon dari Tuhan.
“Perhatikan telunjuk tanganku,” kata Pita Loka. Dua anak itu memperhatikan telunjuk Pita Loka. Juga 10 anak lainnya. Dan ketika itu Pita Loka berkata: “Tembus hutan ini, tanpa merubah arah jalan terus turun naik bukit dan lembah. Supaya jangan lelah, sembari bernyanyi.”
Anak-anak itu tampak dibangkitkan rasa keberaniannya. Mereka mulai bernyanyi lagu Pramuka, dipimpin oleh Jadim dan Rauf. Makin lama lambaian tangan mereka disertai nyanyian mereka semakin bertambah jauh Setelah mereka menghilang, enam remaja yang tak ikut pulang ke Kumayan serentak menghadapkan mukanya pada Ki Pita Loka. Tentu yang terlebih dahulu bertanya adalah saudara sepupu Pita Loka.
Agung Kifii bertanya: “Bisakah kami ini kau isi dengan ilmu?”
“Ilmu apa?” tanya Ki Pita Loka.
“Ilmu yang berisi keberanian kami untuk membalaskan dendam pada Dasa Laksana setan gila itu!”
Ki Pita Loka tertawa: “Permintaanmu terlalu rendah.”
“Lihatlah tangan kiriku ini, tidak ada gunanya lagi dan tidak bisa dipakai untuk menekan senar gitar maupun kecapi!” kata Agung Kifli.
“Maka tadi saya pilih yang kembali, dan yang akan ikut dengan saya. Firasatmu betul bahwa kalian akan kuajak ngelmu. Manusia semua sama, sebab Tuhan adil. Tapi yang berilmu lebih tinggi dari yang malas.” kata Pita Loka.
“Saya minta dijelaskan kenapa ilmu yang diminta Agung Kifli tadi bernilai rendah.” ujar si kurus kecil yang bernama Caruk Putih.
“Kerendahan satu ilmu bisa dilihat dari tujuannya,” kata Ki Pita Loka.
“Bukankah tujuan membalaskan dendam itu juga baik?”tanya Caruk dengan nada penasaran.
Balas dendam selalu bernilai rendah. Tapi jika kalian ngelmu untuk menghancurkan kejahatan dan menegakkan yang benar, itulah ilmu yang tinggi. Untuk itu kalian merupakan orang-orang pilihanku.”
“Termasuk saya?” tanya seorang remaja bernama Aria.
“Termasuk kamu. Aria, juga Sura, juga Abang Ijo dan Talago Biru. Pendeknya kalian harus mengucapkan ikrar padaku.” kata Pita Loka.
Lalu mereka pun mengangkat ikrar. Mereka ikuti apa yang diucapkan Ki Pita Loka, tanpa nada sumbang. Ikrar itu bergema dengan nada yang hampir-hampir tunggal, membangkitkan kesatuan semangat dan kesatuan tujuan.
Kesatuan yang manunggal antara Guru dan murid dalam kata dan perbuatan memanglah persyaratan ilmu persilatan.
Dan Ki Pita Loka mendapatkan cara membimbing ilmu pada muridnya ini karena ia seorang yang jiwanya ikhlas, disamping oleh otak yang cerdas. Otak yang cerdas tapi jiwa kotor tak memungkinkan seorang pendekar naik derajat menjadi Guru Besar.
Ukuran kebesaran adalah energi.
Maka Pita Loka memulainya pun dengan takaran energi. sedikit bicara, tapi tiap patah kata ada ikatan. Dan hanya orang yang mampu duduk bersila dengan baik, seluruh energi terkendali.
Ki pita Loka duduk bersila. Enam muridnya pun duduk bersila. Ki Pita Loka memberi perintah dengan nada dalam: “Hening.......”
Keadaan pun hening, seakan tiap napas yang ditarik dan dihembus kedengaran begitu nyata. Karena napas adalah sumber energi dalam diri manusia, itulah pula yang mesti diatur.
“Tarik napas ke puser perutmu,” perintah Sang Guru.
“Angkat perlahan ke atas menuju kepala, dan salurkan menuju ubun-ubunmu, dan buanglah kesana”, perintah Sang Guru lagi.
“Ambil lagi napas, tarik ke puser, angkat ke atas, dan buang!”
“Ambil lagi. Tarik ke bawah. Angkat ke atas. Dan buang lagi.”
Pelajaran awal itu, yang hanya bermain napas dengan kedudukan bersila tanpa gerak yang dilakukan seluruhnya detik demi detik, menit demi menit, dan jam demi jam, menciptakan keasyikan pada Sang Guru dan Para Murid.
Dapat dibayangkan setelah enam jam bermain napas saja, keringat mereka mengocor seperti kuli mengangkut satu balok pohon yang besar.
KEASYIKAN tidak pernah merangsang lapar. Yang dibuang oleh energi adalah keringat. Dan keringat itu adalah sampah. Inilah awal pembersihan diri, sebab Ki Pita Loka ingin membuat enam anak buntung ini menjadi enam pendekar sejati. Pendekar sejati bisa saja menghadapi empat puluh musuh. Dan dia seorang diri dengan kekuatan energi dapat saja menumpas 40 lawan tanpa mengeluarkan keringat setetespun.
Itulah yang sedang diisinya kepada enam remaja buntung itu. Kelak mereka tidak harus merasa kurang karena kebuntungannya. Sebab setiap yang kurang pasti ada kelebihan di bidang lain.
Dan telah dua kali matahari terbit dan dua kali pula matahari terbenam. Tahukah enam remaja buntung itu bahwa waktu telah berjalan dua hari?
Bersambung...