Sebelumnya...
TIDAK. Waktu bukan soal yang penting lagi. Keasyikan menyatukan diri dengan energi telah membuat seseorang yang asyik itu tidak lagi memperhitungkan waktu. Dan telah tiga hari Guru mengajarkan muridnya dalam keasyikan bersatu dalam gerak nafas, gerak yang tanpa gerak. Dan kemanakah nafas yang telah tiga hari diasyikkan itu menuju?
Nafas itu mengembara menuju tempat yang kosong. Dan kosong itu adalah diam dan hening.
Maka jarak perginya pun tanpa takaran lagi. Hembusan nafas tadi singgah di tempat yang kosong.
Singgahnya nafas tujuh manusia asyik dari lembah itu menggebu bagai geledek, dan terciptalah benturan. Yang terbentur adalah yang diam. Yang diam pada detik itu adalah seorang lelaki yang duduk hening tenang, yang mendadak terkejut karena terkena benturan.
Matanya melotot kaget lelaki itu menatap gadis di depannya, dan gadis itu bertanya: “Kak Gumara, apa yang terjadi?”
“Adasesuatu yang sedang bergerak di luar kita,” ujar Gumara. Jawaban ini merisaukan gadis itu. Dan rupanya yang terkena benturan bukan saja manusia Gumara.
Binatang pun terkejut. Beberapa ekor ular Piransa gelisah dari sarangnya, lalu serentak merayap ke luar dari lubangnya. Gumara semakin merasakan benturan ke tubuhnya yang semakin hebat sehingga ia tambah gelisah, ia terkejut mendengar gadis di hadapannya terpekik menjerit lantang seraya menghunus pedang.
Hampir saja pedang di tangan gadis itu membabat 100 ekor ular kecil yang merayap ke arahnya.
“Aku Ki Harwati!” teriaknya ke arah ular-ular itu. Satu diantara 100 ular itu merayap sendirian, sementara yang lainnya diam. Ular kecil itu merayap menuju dengkul Ki Harwati, menuju perutnya, lalu ke dada, lalu melintasi leher dan akhirnya ke kepala.
Tepat di kening Ki Harwati, ular kecil belang kuning itu menciptakan belitan.
Kini ular itu bagai selembar saputangan tergulung yang melingkari kepala Ki Harwati.
“Lihat, Kak Gumara? Ini hasil pertapaan saya!” serunya.
“Belum tentu. Tiap senjata yang berada di diri seorang pendekar mengandung resiko.
Pendekar harus memeliharanya. dan harus tahu dengan jitu menggunakannya,” kata Gumara.
“Ular piransa ini menjadi senjataku. Sesuai dengan wangsit yang aku terima, bahwa namaku harus dirubah menjadi Ki Harwati Piransa. Dan aku kini telah berkedudukan sebagai Guru Besar! Kau kini bukan lagi kakakku dan pelindungku! Kau kini jadi budakku!” mata Ki Harwati Pi ransa melotot tanpa berkedip menatap Gumara.
Gumara merasa aneh menyaksikan tingkah Ki Harwati.
Ketika keanehan itu dia renungi, kendati beberapa detik, meledaklah perasaan berontak dalam diri Ki Gumara, sehingga dia berteriak: “Kau memakai ilmu Sesat! Kau sesat, kau sesat, kau sesattttttt”
Tapi energi teriakannya itu sudah melampaui takaran. Setelah itu dia lemah, dan semakin lemah. Setelah itu Gumara tidak dapat merenung, kendati sedetik. Juga dia tak berdaya menggerakkan anggota tubuhnya, biarpun sedetik saja.
“Tugasmu sekarang adalah mengawalku. Kau budakku. Kau harus patuh terhadap semua perintahku. Aku Guru Besarmu, aku Guru Besar semua gurul”
Nada itu penuh. Dan penuh kebanggaan.
“Kita hanrus memilih waktu untuk berangkat,” kata Ki Harwati.
“Ya....!”
“Kita harus menyerang musuh!”
“Ya ......!”
“Kau kini semut pekerja. Dan akulah Ratumu!”
“Ya. Apa yang harus saya perbuat?” tanya Gumara dengan muka dungu.
“Karena kelebihanmu mentakwilkan mimpi, carilah sebuah mimpi!” kata Ki Harwati.
Dan dengan kedungu-dunguan, Gumara mematuhi. Dia menggeletak, lalu tidur.
DAN tidurnya itu mirip seperti menggeletaknya seekor ular sanca. Ki Harwati tegang memperhatikan kelelapan tidur saudara tirinya itu. Kemudian tubuh Gumara bergerak, menggeleong, dan tegang sekali Ki Harwati bertanya: “Kamu dapatkan mimpi, hei dungu?!”
“Tidak.”
Pedang Raja Turki dalam sekelebatan sudah dicabut dari sarangnya. Dan dengan kesetanan pedang itu dihantamkan ke kening Gumara, sekalipun bukan dengan mata tajamnya. Punggung pedang itu membentur nyaring di kepala Gumara, ibarat logam membentur batu padas sehingga tercipta suara nyaring.
“Dungu!” bentak Ki Harwati lagi.
“Aku lapar,”kata Gumara.
“Tidak ada makanan di sini”, jawab Ki Harwati.
“Beri aku makanan,” ujar Gumara dengan mulut kemudian melongok. Dia tampak begitu dongok. Lalu berbaring lagi, bagai berbaringnya ular yang kekenyangan yang amat malas.
“Kau hanya menjadi bebanku,” ujar Harwati.
Tiba-tiba kepala Ki Karwati pusing. Dia telah dipatuk oleh ular Piransa pada saat sedetik menjelang pusing. Bisa ular itu sudah menjalari tubuhnya. Tapi ia masih menyadari, mungkin hal ini bagian dari pengisian tingkatan ilmunya. Dia mencoba berdiri. Dia teler bagai pemabuk. Dan secara samar dia melihat lengkungan pelangi di hadapannya. Lalu dia melihat tujuh bintang berjatuhan dari langit. Dan dia berseru: “Tujuh tai bintang jatuh di Sana! Itulah seluruh kebenaran wangsit yang kuterima. Aku yang akan menerima warisan ilmu Kitab Tujuh itu!”
Dia guncang tubuh Gumara. Tapi Gumara tidur ngorok seperti tidurnya orang dongok.
“Bang sat! Bang sat!” maki Ki Harwati, “Dasa Laksana bangsat! Murid pengkhianat itu belum juga kembali!
Padahal aku sudah menyaksikan tujuh tai bintang jatuh!”
Dia petengtengan. Dia berjalan terhuyung bagai orang sinting. Dan kalau dia melihat Gumara, dia benci dan ditendangnya pantat kakak tirinya itu. Kemudian dia merasa amat gerah. Karena kepalanya gatal, dia merenggut rambut di kepalanya, tapi yang terpegang adalah ular yang melingkari kepalanya.
Sementara itu, Ki Pita Loka sudah melangkah bersama enam muridnya menuju sebuah bukit yang dikenal bernama Bukit Kawung. Tidak ada kawung di bukit itu.
Yang ada cuma batu. Batu itu sebetulnya dulu sering diambil orang sebesar biji salak karena keistimewaannya. Kalau kapas kawung ditempelkan ke batu kawung itu, lalu digeserkan logam baja, maka terciptaiah api.
Untuk apa Ki Pita Loka ke sini? Karena ia mendapat ilham untuk meningkatkan latihan jasmani murid-muridnya. Karena semua ilmu ibarat roda. Ia kembali kepada sumbunya.
“Kita berhenti di pusat bukit ini,” kata Ki Pita Loka.
Enam remaja buntung kontan saja duduk bersila, menciptakan lingkaran dan sumbu lingkaran itu adalah duduknya sang Guru.
“Karena semua kalian pernah sekolah, kalian sudah tahu apa itu gas. Gas itu adalah zat yang memiliki energi. Dalam diri kalian, dengan aturan pernafasan, sudah ada sumber gas. Dan itu harus kila turunkan ke titik awal. Kita harus kembali lagi menjadi api. Coba kini kalian kumpulkan energi, sampai tubuh merasa ringan. Tapi jangan ada yang kaget apabila tubuh kalian terbakar.”
Enam remaja buntung dipimpin Guru, sedang melaksanakan amalan itu. Mereka menjadi iibaratnya kawung yang sedang berada di batu, menciptakan pergeseran logam baja. Dan terbitlah tujuh kelompok api. Ya, tujuh insan itu lama kelamaan bagai tujuh lidah api.
“Dan api akan padam oleh air. Api hanya dapat padam oleh air,” ujar Sang Guru.
Sungguh ajaib. Ketika tiap murid sudah merasa dirinya mengelotok oleh api, hujan gerimis pun bercucuran dari langit. Memang perih sekali, tapi hampir tak terasa. Api itu padam. Yang tinggal adalah tujuh manusia, Ki Pita Loka dengan murid-muridnya, enam remaja buntung.
“Kini kita sudah membumi. Kita sudah menjadi benda padat, sepadat tanah. Tanah adalah asal manusia. Marilah kita menyatukan diri dengan tanah, seakan-akan kita ini kembali ke dalam kubur, kembali ke asal,” Ujar Ki Pita Loka. Murid yang mematuhi amalan Sang Guru tentulah murid yang baik. Dan remaja-remaja buntung ini merelakan dirinya memasuki alam “kematian”, entah untuk berapa lama.
Lama itu waktu. Waktu itu jadi tak penting.
MEREKA sampai ke sebuah Lembah yang sama sekali belum mereka kenal. Tetapi Pita Loka pernah mendengar tentang lembah ini ketika dia berusia Tujuh tahun dahulu, yang diceritakan oleh Ki Putih Kelabu,ayahnya. Menurut ayahnya. Lembah ini dulunya dikenal dengan sebutan Lembah Tujuh Bidadari.
Agung Kifli bertanya pada Pita Loka: “Ki Pita, apakah perjalanan kita bukan kesasar?”
“O, kita tidak kesasar. Justru aku ke sini sengaja mengajak enam orang diantara kalian yang kena culik, sedangkan yang 11 orang kusuruh pulang ke Kumayan.”
“Lalu untuk apa kita ke sini?” tanya Agung Kifli.
“Yang terang bukan untuk berdarmawisata.”
“Saya dan teman-teman amat lelah,” ujar Agung Kifli.
“Itu wajar saja. Tujuh hari perjalanan tanpa istirahat sebetulnya aku sengaja untuk melatih kalian yang berenam. Kalian yang berenam adalah orang-orang pilihanku.
Kalianlah kelak yang akan dikenal dengan sebutan “Enam Pendekar Buntung”.
“Wah, kami akan dijadikan pendekar?” kata Agung Kifli tercengang.
“Ya. Setiap kejadian pada diri seseorang ada hikmahnya. Anggaplah oleh kalian bahwa hikmah dipotongnya tangan kalian oleh orang sinting Dasa Laksana itu justru untuk sesuatu yang berguna di kemudian hari.”
“Tapi aku tidak bercita-cita jadi pendekar,”kata Agung Kifli.
“Memang itu betul. Namun aku tidak melarangmu bermain gitar. Sayang, gitar dan kecapimu Tidak ada di sini,” kata Ki Pita Loka.
“Tapi aku dapat membuatnya! Dari buah labu yang dikeringkan,” kata Agung Kifli,
“Apakah orang yang belajar ilmu persilatan dilarang main musik?”
“Tidak ada larangan kesenangan pribadi buat suatu ilmu yang tinggi,” kata Ki Pita Loka.
Bersambung...