Sebelumnya...
Dia menghampiri pada guru yang dikhianati, dan mengulurkan tangan kiri untuk minta maaf. Ki Pita Loka menatap Talago seraya berkata: “Aku kasihan padamu.
Sesungguhnya, aku ingin menukar lengan buntungmu itu dengan ilmu yang mesti kamu pelajari dengan prihatin, dan sabar. Seorang pendekar harus memiliki yang dua ini: prihatin dan sabar. Lihatlah orang ini ... “, lalu Ki Pita Loka menunjuk Ki Harwati “Dia pernah belajar pada saya di Guha Lebah. Saya mengajarkannya sungguh-sungguh. Dia telah mendapat ilmu itu, dan karena ilmu itu bukan ilmu tempelan maka dia takkan hilang selama-lamanya sehingga ketika dia mau memerangi saya tadi bersama kamu, ilmu yang saya berikanlah yang dia pakai. Termasuk kau. Tapi pelajaran yang kalian dapat dariku belum selasai, jadi kalian takkan mungkin mengalahkanku”.
Wajah keguruannya yang berwibawa tampak menelan dua bekas muridnya. Ki Pita Loka kemudian bertanya pada Ki Harwati dan Talago Biru: “Apa yang kalian cari? Kalau kalian berdua ingin mendapatkan Kitab Tujuh, ayoh ikut mengawalku. Tapi ingat, jangan ada di antara kalian yang berkhianat, sebab kalian akan celaka”.
Dan di luar dugaan, Ki Harwati berkata: “Soal Kitab Tujuh, ini urusan tuan Guru.
Saya tidak ingin ikut campur. Terserah pada Talago akan ikut mengawal pendekar besar ini. Tapi saya tidak ikut”.
Talago Biru menjadi bimbang. Dalam kebimbangan itu Ki Harwati cepat mengambil keputusan. Dia seret tangan Talago dengan merentak: “ Kamu ikut saya! “
Kebimbangan Talago Biru berakhir dengan ikutnya dia menjelang matahari terbit.
Terbitnya matahari inilah yang memberi petunjuk kepada Ki Pita Loka mengenai peta Kumayan, desa yang akan di tuju.
Kesabaran adalah modalnya. Bisa saja dia melangkah secepat kilat menerjang kiri dan kanan, tetapi tergesa-gesa bukanlah sifat seorang pendekar yang akan memetik kenaikan derajat.
Celah Karakeling dia tinggalkan dengan langkah sebaliknya. Dibuatnya tubuhnya seringan mungkin, sehingga rumput - rumput sikejut yang mestinya tertutup jika terinjak, tetap mekar karena tiada terkena sentuhan telapak sang guru.
Menjelang bukit kecil si Enam yang dinaikinya, Ki Pita Loka melihat tujuh buah bintik hitam. Karena bukit si Enam itu warnanya merah saga, maka bentuk bintik semakin jelas olehnya. Tujuh manusia. Makin dekat semakin jelas, Tujuh manusia itu buntung semua.
Beberapa puluh langkah menjelang dia harus menjelang puncak bukit itu, terdengar ancaman dari atas: “Tujuh pendekar buntung meminta anda tidak melewati bukit ini”. Ki Pita Loka tetap melangkah ringan. Makin dekat semakin dirasanya dirinya lebih ringan dari kapas.
Dan tahulah dia dalam sekejap mata, bahwa enam orang muridnya yang buntung kini sudah bergabung dengan Ki Dasa Laksana. Ki Pita Loka merasa perlunya berhati-hati.
Dan diluar dugaannya, muncul seorang dari sebelah bukit itu.
Dia bertongkat Dan dia menyatakan siapa dirinya: “Aku, Ki Rotan, bergabung untuk melengkapi angka tujuh menjadi delapan”.
Lalu muncul dua orang lain, yang tak lain Ki Harwati dan Talago Biru.
Ki Dasa Laksana lalu berkata: “Dengan munculnya dua Pendekar di sampingku, kami seluruhnya menjadi sepuluh. Kami yang sepuluh inilah satu gabungan dalam namaku: Dasa Laksana, karena akulah pemilik Sepuluh Kitab Pendekar yang engkau takkan pernah tahu dan menyentuhnya”.
Ki Pita Loka masih melangkah, perlahan sekali. Jika ada nasi bubur di permukaan tanah ketika itu, pastilah takkan tampak bekas telapak kaki Ki Pita Loka karena menginjak bubur itu.
Apa yang dia perbuat seluruhnya seperti kosong. Tak di lihat lagi sepuluh lawannya ketika itu.
“Gebrak!” perintah Ki Dasa Laksana yang serta merta diikuti dengan suara teriakan lantang bergemuruh bagai lompatan belalang. Ki Pita Loka menjatuhkan diri sebelum gebrakan serentak itu menyerodok tubuhnya, dan dia bergulingan bagai bantal guling.
SEKETIKA itu juga angin ribut menerbangkan tanah merah saga bukit si Enam itu.
Ki Pita Loka sudah sampai di lembah bawah yang seluruhnyapadang rumput.
Dia bangun dengan ringan, dan mendengar suara riuh di belakangnya ibarat riuhnya belalang menyerbu.
Ki Pita Loka bangkit perlahan, menghirup nafas dalam-dalam dengan perlahan, lalu dia menyalurkan kekuatannya mulai dari ubun kepala sampai ke ujung telapak kaki kanan.
Sentakan perlahan tapak kaki kanan kebelakang itu menciptakan angin menggebu yang menerkam sepuluh pendekar yang hanya tinggal dua puluh langkah lagi mendekatinya.
Kesepuluh pendekar itu semuanya jumpalitan dengan lolongan suara yang mengerikan sekali.
Ki Pita Loka sedikitpun tak menoleh ke belakang untuk menyaksikan kecelakaan yang menimpa lawan-lawannya. Dia berdiri lamban, lalu melangkah lamban di ataspadang rumput itu sampai ke kaki Bukit Kumayan.
Bukit itu terletak di sebelah Barat desa itu, dibatasi oleh dua pancuran. Serasa ada yang membisiki Ki Pita Loka, agar senja itu dia mandi di Pancuran Mayang. Tapi dia kuatir ini semuanya godaan setan, ia tetap percaya pada pesan ayahnya, bahwa pancuran itu tabu untuk mandi bagi yang bukan pendekar yang lengkap kesaktiannya.
Namun ketika dia melangkah ke kanan, kaki kirinya dirasanya berat. Dia seaka-akan diwajibkan untuk membelok ke kiri, dan suara bisikan itu seakan semakin kuat untuk memerintahtahkannya mandi di Pancuran Mayang.
Tapi ketetapan jiwa kependekarannya tidak mantap, sehingga kaki kiri mengalah pada kaki kanan. Dia meniti Pancuran Suri yang batu-batunya amat licin. Dan kemudian, tibalah Ki Pita Loka di seberang Bukit Kumayan yang bau menyannya sudah mulai menerpa hidung sebab pertukaran malam dan siang.
Malam benderang datang.
Bulan purnama penuh memanjat pohonan cemara yang dua di antaranya sudah buntung seperti kena penggal. Malam itu malam Kamis Wage yang bertepatan dengan malam kelahiran Pita Loka. Dia kini sedang berfikir, apakah akan pulang ke rumah lebih dulu menemui bapak?
Bersambung...