Sebelumnya...
Ternyata bersama ludah yang disemburkan pendekar buntung itu adalah bangkailima ekor kalajengking.
“Sungguh ilmu anda rendah sekali, pendekar!” ujar Talago biru.
“Kalau demikian saya perlu belajar pada anda, anak muda!”
“Anda sudah menghabiskan usia anda. Anda tidak layak untuk diajak bicara”, kata Talago biru, yang berkelebat menyusup semak secara mencengangkan, Harwati berusaha mengejarnya, Tapi dia gagal.
Talago biru dengan pelajaran terakhirnya untuk berkelebat cepat telah tiba di padepokan Tujuh Bidadari. Dia dapati Ki Pita Loka sedang bersemedi, sedangkan sejenak lagi hari pun akan jadi malam Talago biru harus menanti sampai semedi itu selesai. Begitu semadi itu selesai Ki Pita Loka menoleh ke arah Talago biru dan bertanya: “ Sudahkah kau lakukan apa yang saya perintahkan ?”
“Belum “, sahut Talago biru.
“Belum? Saya yakin sudah. Kau sudah pada tingkatan ilmu yang lebih tinggi. Yaitu braja-geni kokoh perkasa di sulut api !”
Talago biru tercengang. Dia berkata:”Itukah yang tuan Guru maksudkan ?”
“Itulah semuanya! Kau diserang musuh yang menyimpan ilmu barzah, kau disengat oleh binatang peliharaannya berupa jin menyerupai binatang menyengat, lalu kau terkena bisa yang mengakibatkan panas dan haus. Lalu kau pukul batu dekat ilalang.
Lalu terbitlah api yang membakar. Dan kau terjun ke api itu sesuai perintahku. Lalu kau selamat”
Talago biru tercengang. Dengan nada lugu dia berseru: ”Rasanya yang saya alami tadi adalah pendekar dan musuh yang mengerikan”.
“Dia sedang mengalami terus alam kemasukan. Tahukah kamu siapa dia ?” tanya Ki Pita Loka.
“Saya tak tahu. Dia beringas dan cukup mengerikan!”.
“Dialah Ki Harwati, sekutu dari pendekar Ki Dasa Laksana yang telah membuntungi tanganmu buntung.
Di kawasan ini ada tiga pendekar liar, yang semuanya kehilangan guru karena rakusnya pada ilmu. Tapi pendekar wanita yang kamu temui itu kelak akan merupakan lawan kita yang tangguh. Kini ketiganya berpencar karena masing-masing tanpa ikatan ikrar dan semuanya kehilangan mata angin. Kau harus tahu, muridku, pendekar yang baik adalah yang tahu mata angin”.
“Terima kasih, Tuan Guru”, ujar Talago biru.
“Sebelum datang bencana, aku akan titiskan ke tubuhmu Kitab Pertama dari tujuh buah Kitab yang sedang kita cari”. kata Ki Pita Loka.
“Berikan ilmu itu padaku, Ki Guru!”
“Pergilah mandi dengan bunga mayat”, ujar Ki Pita Loka, “Nanti setelah selsai, kau harus datang ke Padepokan dengan selembar kain yang tanpa jahitan”.
TUBUH Talago biru benar-benar memperlihatkan tubuh lelaki jantan yang perkasa dan kekar. Usianya yang enam belas tahun sepertinya tidak sesuai dengan bentuknya, karena ia lebih tepat jika dijuluki kuda.
Kakinya, badannya, lengannya, kepalanya, hanya bisa ditandingi oleh bentuk kuda jantan.
Terlebih ketika Talago biru harus mandi telanjang, dan membersihkan seluruh kotoran tubuhnya itu dengan air bunga mayat, maka siapapun yang melihatnya, termasuk lelaki (apalagi wanita) akan terkesan pada bentuk otot tubuhnya itu, mulai dari kaki sampai leher.
Ketika itu pulalah Ki Harwati tergiur dari balik semak pohon bambu tulup. Apalagi sinar matahari terbenam seperti menyinari cahaya ke tubuh Talago biru, sehingga lekukan otot perkasa itu seakan-akan mampu memberi rangsang pada 10 wanita secara serempak.
Ki Harwati kehilangan tujuan, kehilangan mata angin.
Dia sebetulnya sudah tidak sabaran lagi sampai Talago biru mengenakan selembar pakaian lebar, yang seteteh digulung-gulung mirip seperti pendeta Budha. Tapi, begitu Talago biru akan meninggalkan pancuran mandi itu, dia sekelebat melihat sosok di balik rumpun bambu tulup.
Dia terpana beberapa saat karena rasa-rasanya dia mengenal manusia itu , termasuk pakaian hitam yang dikena-kannya. Namun dia melangkah terus. Tapi dia kena cegat.
Ki Harwati telah berdiri di situ, dan berkata: “Kamu benar-benar salinan dari Gumara”.
“Anda siapa?”
“Aku dilahirkan untuk kaGuru kepada pendekar yang bernama Gumara. Kenalkah kau?”
“Belum”, sahut Talago Biru.
“Engkau rugi. Dia adalah pendekar merangkap Guru dari semua guru yang membentang dari kawasan Kumayan sampai Bukit Lebah di selatan. Man bersamaku menghadap beliau”.
Talago Biru tergoda oleh buah dada yang jelas kelihatan, sewaktu wanita itu menyediakan diri membuang sehelai daun bambu kering yang menyela pada jari kaki Talago.
Kemudian Talago Biru terpesona sewaktu jari wanita itu meraba betisnya, seakan-akan menyelusupi bulu kakinya. Harwati terus meraba semakin ke atas. Talago Biru semakin berdiam diri dan dalam ketegangan lelaki yang amat sangat, dia seakan-akan melayang dalam kenikmatan, yang dalam sekejap mata membuat dia terhambur dengan berkelebat sambil berseru: “Celaka aku! Celaka aku!”
Dia menumpas setiap pohonan yang menghalanginya sewaktu dia berlari seperti seorang yang merasa salah. Dengan wajah yang masih dirundung rasa dosa, Talago Biru sampai ke tempat semedi Ki Pita Loka. Namun dia tidak berani masuk.
Tapi didengarnya suara sang guru dari dalam: “Kamukah itu, Talago Biru?”
“Ya, Tuan Guru”.
“Kamu tidak kuperkenankan bertemu denganku selama 21 hari”, ujar Ki Pita Loka, “Karena di sekitar tempatku ini aku merasakan bau air mani yang basi yang membuat aku hampir muntah”.
Belum pernah dia dimaki dengan ucapan lembut namun melukai ini. Mendadak saja Talago Biru tidak akan menjadikan dirinya pemimpin darilima temannya yang lain.
Yang selama ini lamban dalam kemajuan memperdalam ilmu.
Mendadak saja Talago Biru teringat pada wanita jelita disana tadi, lalu terangkum kembali ucapan wanita itu. Bahwa guru dari segala Guru adalah Gumara.
Seingat Talago, tak jauh dan pancuran mandi itu ada gundukan 17 buah batu besar, yang bentuknya mirip sebuah guha.
Dia yakin, tentu wanita tadi ada di guha itu. Lalu secara rahasia dia susuri lebih dulu pancuran mandi. Dengan berkelebat langkah belalang, dia sudah tiba di depan pintu guha.
“Adaorang di dalam?” tanya Talago Biru.
Harwati mandengar suara itu. Dia yakin itu suara lelaki. Dan ketika dia berlompatan mendapatkannya, sungguh benar, yang heran dihadapannya adalah lelaki dengan bentuk kuda jantan.
“Aku ke sini karena sudah kena kutuk oleh guruku?” kata Talago.
“Maka sudah waktunya kau kubantu. Tapi kenalkan kepadaku siapa gurumu itu”, kata Ki Harwati dengan membujuk yang disertai jarinya yang meraba bulu dada Talago Biru.
Anehnya, ketika dia akan menyebut nama Ki Pita Loka, ketika itu pulalah Talago menjadi seperti lupa, dan lidahnya pun kelu.
“Jika sekarang kau tidak bersedia, nanti jika lelahmu telah kuakhiri tentu kau akan sudi menyebut namanya”, kata Harwati yang membawa masuk pemuda kekar itu ke dalam guha.
KI PITA LOKA memang sedang disiapkan untuk menjadi seorang Guru yang sejati.
Guru sejati adalah pendekar lahir dan batin yang dapat menangkap sepak terjang musuh tapi juga dapat mendengar bisik angin. Dan Guru yang sempurna karena dapat menangkap gerak ketiga yaitu gerak kosong.
Kini, dalam semedi yang kusyuk sekarang ini, Ki Pita Loka dapat menangkap gerak kosong itu. Tak ada isyarat. Kecuali itu keyakinan akan sesuatu. Yang telah terjadi dan akan terjadi. Ia seperti berkata pada dirinya sendiri seketika musuh menangkap gerak kosong itu:Lima muridku diperangkap musuh. Kini satu lagi muridku diperangkap musuh.
Bersambung...