Sebelumnya...
Namun ini bukan sebuah musibah kekeliruanku menafsirkan pertamakali, bahwa KitabTujuh yang kucari akan diwariskan pada 7 orang : aku dan enam muridku”.
Setelah dia diam sejenak, lalu dia menafsirkan gerak kosong ini lagi: “Kenapa harus berdukacita kehilangan enam murid? Bukankah dengan memiliki satu buku sekarang ini, aku akan mewariskan enam buku lagi?” Pita Loka merasa matanya berat. Dalam duduk bersila itu dia sebenarnya sedang tidur. Tidur seperti manusia sedang mati duduk. Dan rupanya dia mendapatkan mimpi!
Mimpi itu amat luar biasa. Dia melihat enam buah bintang jatuh pada sebuah bukit yang dia rasanya kenal.
Dan keenam tahi bintang itu ditelan oleh seekor harimau yang punya garis bulu 41 bulatan.
Lalu Ki Pita Loka terbangun.
Malam sudah menjelang tibanya fajar meyingsing di ufuk timur. Pita Loka masih duduk bersila, memikirkan makna mimpi hebat itu. Lalu dia teringat seorang Guru penafsir mimpi yang jago. Dia adalah Guru Gumara. Rupanya ingatan pada Gumara inilah menuntun Ki Pita Loka untuk menafsirkan mimpi yang baru terjadi. Baru dia ingat.
Bukit yang ada di mimpi itu adalah Bukit Kumayan. Kalau demikian: “Tafsir mimpi itu adalah, enam bintang jatuh diterima olah salah satu dari harimau-harimau Kumayan.
Ki Pita Loka mencoba mempedalam tafsir mimpinya tadi. Bukankah itu berarti, aku harus merebut enam bintang itu dari jagoan Kumayan? Enam bintang itu pastilah enam dari tujuh Kitab Sakti itu, tentunya! Kini, tinggal lagi bagaimana melaksanakan mimpi itu.
Dibukanya Kitab Pertama yang telah menjadi miliknya sekarang. Dia membaca huruf-huruf kuno gundul tak bertanda. Tapi dia mengerti. Dan dia telah amalkan tiap tafsiran dalam Kitab itu, mulai dari pensucian diri, latihan gerak bayi dalam rahim ibu sampai gerak bayi keluar dari kandungan serta teriakan pertama. Penutup keterangan Kitab Pertama itu adalah kalimat yang hampir sulit terbaca saking kunonya; “Kitab Pertama ini harus diamalkan, dan dia disebut juga Kitab Asal. Apabila pemegang Kitab ini sudah menyempurnakan amalnya, maka dia mempunyai kewajiban yang akan diamalkannya berikutnya setelah melewati satu mimpi di waktu dini hari. Kini tergantung si Pemlik Kitab ini, apakah dia melakonkan tafsir mimpi itu dengan betul dan baik, sebab kesalahan langkah akan menjadi sebuah musibah”.
Ki Pita Loka menutup Kitab Pertama itu. Dia kembali menggulungrya dengan bungkusan berupa kain kuning.
Kitab itu sesuai dengan pesan, harus diikat sebagai ikat pinggang, di atas pusar.
Setetah selesai semua, Ki Pita Loka mencoba memantapkan tafsiran mimpinya. Hati kecilnya berseru: “Kembalilah ke Kumayan, rebut enam kitab lainnya itu agar ilmu kau lengkap”.
Dia lain menyempurnakan pakaiannya dan ikat rambutnya yang panjang. Setelah sempurna berdiri, Ki Pita Loka berkata pada tubuh gadis di hadapannya: “Terima kasih tujuh bidadari yang mengawalku ketika ngelmu. Aku akan meninggalkan kalian dan aku tidak perlu dikawal lagi”.
Tujuh gadis yang samar dalam kabut subuh itu menghilang bagai menguapnya embun.
Ketika ia siap meninggalkan Lembah Tujuh Bidadari itu, sekonyong hatinya gentar.
Tubuhnya menggigil, bulu romanya merinding. Dan rasa takut pun muncul menggoda batin. Melalui pengalaman, dia mencoba mengusir godaan itu. Dan dia melangkah lebih tegap lagi. Tapi dia tidak menyadari, bahwa langkahnya dibuntuti. Andaikata dia mengetahui bahwa dia dibuntuti tentu dia akan berbalik, menghadapi orang yang membuntuti itu. Dan orang yang membuntuti itu kebetulan jaraknya agak jauh. Orang itu hanya melihat arah pintasan yang dituju Ki Pita Loka. Setelah orang itu yakin bahwa Pita Loka menuju Kumayan, orang itu mengambil jalan pintas.
Ketika Ki Pita Loka melewati celah terowong Karakeling, dia sepertinya menjadi ragu. Dia merasa tak pernah melewati terowongan ini.
KERAGUAN Ki Pita Loka rupanya diintai oleh dua orang pengintip. Dua orang ini pun rupanya sedang membuntuti Ki Pita Loka sejak keluar dari Lembah Tujuh Bidadari.
“Bohong kamu bilang dia telah memiliki Kitab itu”.
“Percayalah, bahkan aku melihatnya sendiri. Dibungkus dengan kain kuning, dan jatuh dari angkasa ke pangkuannya pada hari Rebo Legi. Aku berdosa jika aku mendustaimu. Lihat, dia duduk di batu itu”.
“Mungkin dia kuatir tersesat”.
Memang Ki Pita Loka kuatir akan tersesat. Pedoman baginya sudah tak ada lagi, kecuali bintang. Letak desa Kumayan adalah pada ekor dari Bintang Bimasakti yang baru akan muncul menjelang tengah malam.
“Sekarang saja kita rampas Kitab itu”, kata pengintip wanita itu„ yang tak lain adalah Ki Harwati. Dan pengintip pria, Talago Biru, kemudian meraih bahu Ki Harwati dan berbisik: “ Lihat, dia siap akan melanjutkan perjalanan”.
“Sssst”, bisik Ki Harwati, “Dia justru mendengar suara kita. Telinganya amat tajam. setajam telinga burung.”
Memang telinga Ki Pita Loka tajam. Dia mendengar seperti ada dua manusia bercakap-cakap di atas celah terowongan Karakeling.
Dia mencoba memancing dangan mendehem. Lalu, terdengarlah suaranya yang menantang: “Siapa lagi di atas itu jika bukan musuhku?”
Dan tantangan itu dipertegas lagi, bagai bunyi gemuruh: “Ayoh turun kamu singa betina Kumayan tidak bisa mengendalikan hawa nafsu! Dan kau ... kuda jantan muda pengkhianat, kuharap kau turun juga!”. Ki Harwati menatap mata Talago Biru dengan tegang.
Dia meraih bahu Talago Biru dan berbisik: “Dia tajam sekali. Begitu tajam sehingga dia mengenal diri kita masing-masing”.
“Benar, Harwati. Ketajaman pendengaran adalah bagian dari kependekaran. Kau harus turun ke bawah. Jika tidak, aku yang naik ke atas”, terdengar ancaman itu begitu dahsyat.
Harwati menghela lengan Talago Biru: “Ayohl”
Talago Biru kecut seketika. Begitu Harwati menghela lengan Talago sekali lagi, mendadak sudah menancap di cabang pohon genuk itu ... dua kaki Ki Pita Loka kokoh berdiri, berkacak pinggang.
Dalam sekelebatan dia sudah melayang dengan terjangan menghentak ke pinggang Ki Harwati. Tetapi ketika Ki Harwati akan jatuh, satu tungkai kaki Talago Biru membantu menghalangi. Namun tanpa diperkirakannya, Talago merasakan kepalanya terkena tamparan Ki Pita Loka. Dia terlempar kesamping, lalu cepat bergayut di dahan pohon, mengayunkan tubuh yang kemudian melayang menyerbu ke tubuh gurunya sendiri, yang sedang berkacak pinggang sehabis menendang Ki Harwati.
Ki Pita Loka berbalik dengan tendangan membelakang mengenai pangkal leher Talago sementara tendangan satunya mengenai perut Ki Harwati yang barusan saja akan menerjang.
Ki Harwati kena terjangan itu bagaikan terbang mundur, dan dengan seluruh perasaan marah ketika punggungnya menabrak pohon, dia meneriakkan kutukan: “Mampus kau digigit kalajengking!”
Teriakan kutukan itu ampuh.
Seratus mungkin dua ratus ekor kalajengking menghambur menuju tubuh Ki Pita Loka.
Tetapi ketika itu pula Ki Pita Loka sudah membuat “tutupan” yaitu kedua telapak tangannya dengan gerak perlahan silih banting bersilang.
Dan seratus atau dua ratus ekor kalajengking itu merasa bagai menerjang bara api ketika menabrak telapak tangan Ki Pita Loka. Kesemuanya jatuh ke tanah sebagai bangkai - bangkai binatang yang mati hangus.
“Demikian tinggi ilmumu, Ki Pita Loka”, ujar Ki Harwati setelah menyaksikan bangkai-bangkai kalajengkingnya yang mati hangus.
“Aku akan belajar padamu,” ujar Ki Harwati.
“Aku juga mohon ampun Ki Guru atas durhakaku menyalahi pelajaran. Terimalah kami berdua sebagai murid”, kata Talago Biru.
Ki Pita Loka tenang. Dikira sedang mempertimbangkan.
Tahu-tahunya dia bagai terbang menguakkan dua kaki, satu kaki menerjang bahu kiri Talago Biru, dan satunya lagi menendang bahu kanan Harwati. Dua-duanya jatuh ke samping dengan teriakan-teriakan mengerikan.
“Tolong aku ... aku akan mati...!” Ki Pita Loka mendengar suara wanita di bawah tebing curam itu. Rupanya memang benar, dilihatnya Ki Harwati perutnya tertembus dahan runcing. Rasa kasihannya bangkit, dan dia cuma melakukan dua lompatan ke kiri dan ke kanan, lalu tubuhnya menempel di dinding tebing di sebelah Harwati yang tersangkut di dahan runcing. Dengan darurat jempol tangannya dilekatkan ke langit-langit mulut, lalu diusapkan ke perut Harwati.
MELIHAT kesungguhan Ki Pita Loka merawat Ki Harwati, Talago Biru sadar betapa besar jiwa pendekar itu. ia pernah mendengar ajaran Ki Pita Loka, bahwa seorang pendekar barulah berjiwa besar apabila dia tidak memancung kepala musuhnya yang sudah tak berdaya. Dan seseorang takkan bisa menjadi pendekar yang baik apabila dia tak bisa menahan nafsu, terutama nafsu kelamin. Inilah yang menginsyafkan seketika Talago Biru.
Bersambung...