Sebelumnya...
”Manusia keparat yang tidak tahu diri, hari ini terimalah mampus di tanganku!” bentak
Mahesa Birawa seraya angkat lengan kirinya untuk menangkis pukulan lawan.
Dua lengan beradu dengan keras, Ranaweleng terpelanting ke belakang sedang
Mahesa Birawa hanya terjajar beberapa langkah saja. Lengan Ranaweleng yang beradu
dengan lengan Mahesa Birawa kelihatan kemerahan dan perih. Laki-laki ini menggigit
bibirnya menahan sakit.
Dia maklum bahwa tenaga dalamnnya lebih rendah dari lawan.
Karena itu dengan memepergunakan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah sampai ke
puncaknya, Ranaweleng tidak lebih digdaya dari Jarot Karsa.
Sementara itu di langkan rumah terdengar jeritan-jeritan Suci pada kedua orang yang
berkelahi itu. ”Suranyali! Kakang Rana! Hentikanlah perkelahian ini! Hentikanlah!”
Suci tidak pernah tahu kalau Suranyali telah berganti nama menjadi Mahesa Birawa.
Dan dia berteriak lagi, ”Kalian berdua tidak mempunyai permusuhan mengapa musti
berkelahi?!”
”Suci masuklah ke dalam!” sahut Ranaweleng kepada isterinya. Saat itu dia harus
jungkir balik di udara mengelakkan pukulan lawannya.
Di pihak Mahesa Birawa sudah barang tentu tiada niat sama sekali untuk
menghentikan perkelahian. Bahkan teriakan-teriakan Suci tadi mendorongnya untuk lebih
cepat menamatkan riwayat Ranaweleng!
Dalam sekejapan saja kedua orang itu telah bertempur delapan jurus dan kelihatanlah
dengan nyata betapa Ranaweleng terdesak dengan hebat. Pukulan-pukulan tangan kosong
lawan mengurungnya dari berbagai jurusan. Dengan membentak keras serta mempercepat
gerakannya dan mengandalkan ilmu mengentengi tubuh, Ranaweleng berusaha keluar dari
kurungan pukulan lawan. Namun percuma saja. Tubuh Mahesa Birawa laksana bayang-
bayang. Bergerak cepat sekali. Dan pada jurus ke sepuluh satu hantaman sikut kiri yang
keras
sekali menyambar rusuk kanan Ranaweleng.
Ranaweleng merintih tertahan.
Mukanya kelihatan pucat kebiruan. Dia tahu, sekurang-
kurangnya dua dari tulang iganya telah patah dan tubuhnya di bagian dalam terluka hebat!
Untuk beberapa lama dia berdiri limbung dengan pemandangan mata berkunang-kunang.
”Ha.... ha....,” tertawa Mahesa Birawa. ”Sebentar lagi Ranaweleng, sebentar lagi
ajalmu akan sampai. Lebih bagus cepat-cepat kau minta tobat pada Tuhanmu sebelum
mampus!”
Mulut Ranaweleng komat kamit. Rahang-rahangnya menggembung. Kedua tangannya
terpentang ke muka. Dia siap-siap untuk melancarkan pukulan tangan kosong yang
dahsyat.
Di lain pihak Mahesa Birawa berdiri laksana tugu. Kedua kakinya tenggelam satu senti ke
dalam tanah. Tenaga dalamnya dialirkan ke segenap bagian tubuh untuk menghadapi
serangan lawan.
Tiba-tiba jeritan sedahsyat angin punting beliung keluar dari mulut Ranaweleng.
Kedua tangannya bergerak susul menyusul dan gelombang Angin Panas menderu ke arah
Mahesa Birawa. Yang di serang membentak dahsyat dan lompat tiga tombak ke udara.
Begitu
angin panas menggebubu di bawah kakinya, membakar hangus pohon-pohon di
belakangnya,
maka Mahesa Birawa segera menukik ke bawah laksana seekor elang.
Pukulan Angin Panas yang dilakukan oleh Ranaweleng membutuhkan pemusatan
tenaga dan pikiran yang besar. Beberapa detik sesudah dia melancarkan pukulan tersebut,
keadaan dirinya masih terbungkus oleh pemusatan pikiran itu sehingga pada saat
lawannya
menukik dari atas dia terlambat meneyingkir. Untuk kedua kalinya Ranaweleng harus
menerima hantaman lawan. Kali ini badannya hampir terjungkal ke tanah. Masih untung
dia
sempat menggulingkan diri kalau tidak pastilah tendangan kaki kanan Mahesa Birawa yang
mengarah bawah perutnya menamatkan riwayatnya!
Begitu bangun, karena tahu bahwa dia tak akan sanggup menghadapi lawan dengan
tangan kosong maka Ranaweleng segera cabut keris eluk tujuh dari balik pinggangnya!
Tapi betapa terkejutnya Ranaweleng ketika melihat ke muka. Mahesa Birawa berdiri
dengan kedua kaki terpentang. Tangan kiri lurus-lurus ke muka, tangan kanan diangkat
tingi-
tinggi di belakang kepala dan tangan itu sudah menjadi hijau oleh racun ilmu pukulan
Kelabang Hijau!
Suci yang telah melihat kedahsyatan pukulan Kelabang Hijau itu menjerti keras.
”Sura!! Jangan....! Hentikan perkelahian ini!”
Suranyali alias Mahesa Birawa sunggingkan senyum berbau maut. ”Jika kau punya
sepuluh senjata, keluarkanlah sekaligus Ranaweleng!” katanya mengejek.
Hati Ranaweleng tergetar hebat. Keringat dingin mebasahi badannya. Seperti halnya
dengan Jarot Karsa dia tak akan sanggup menghadapi kedahsyatan pukulan Kelabang
Hijau
tersebut. Tapi untuk lari menyelamatkan diri, sebagai seorang laki-laki, sebagai seorang
yang
berjiwa ksatria, tiada ada dalam kamus hidup Ranaweleng. Lebih baik mati berkalang
tanah
dari pada hidup sebagai pengecut! Lagi pula dia sudah tahu benar bahwa lawan betul-betul
menginginkan nyawanya. Karena itu Ranaweleng ambil keputusan untuk mendahului
menyerang.
Dengan keris sakti di tangan, Ranaweleng menerjang ke muka. Namun tetap sia-sia
saja. Pada detik tubuhnya baru dalam setengah lompatan, tangan kanan Mahesa Birawa
telah
memukul ke depan!
Suci menjerit. Tubuh Ranaweleng mencelat mental dan jatuh di tanah tanpa nyawa.
Sekujur kulit tubuhnya bahkan sampai-sampai kepada keris sakti yang saat itu masih
tergenggam di tangannya menjadi hijau oleh racun ilmu pukulan Kelabang Hijau!
Suci pun menjerit lagi lalu lari menubruk suaminya. Tapi Mahesa Birawa cepat
meloncat ke muka dan mencekal perempuan itu. Kalau sampai Suci menyentuh tubuh
suaminya yang mati hijau itu maka dalam sekejapan racun yang menyerap di tubuh
Ranaweleng akan mengalir ke tubuh Suci dan pastilah perempuan ini akan meregang
nyawa
pula!
”Lepaskan aku! Lepaskan aku manusia terkutuk! Biadab!!” pekik Suci.
”Sedikit saja kau menyentuh tubuh laki-laki itu kau akan keracunan Suci....!”
”Aku tidak takut! Aku juga ingin mati!”
”Kau masih terlalu muda untuk mati....!”
Dan dengan sekali gerakkan tangannya, maka Mahesa Birawa segera membopong
Suci di bahunya. Karena perempuan itu masih meronta-ronta dan menjerit-jerit serta
memukuli punggungnya, maka Mahesa Birawa segera menotok urat darah besar di pangkal
leher Suci sehingga perempuan itu menjadi kejang kaku kini.
Sambil melangkah ke kudanya Mahesa Birawa memerintah kepada ketiga orang anak
buahnya.
”Bakar rumah keparat itu!”
Kalingundil dan Krocoweti serta Majineng segera laksanakan perintah itu. Dalam
sekejapan mata maka tengelamlah rumah besar Kepala Kampung Jatiwalu itu dalam
kobaran
api.
Senyum puas membayang di muka Mahesa Birawa. Bila sebagian dari rumah itu
sudah musnah di makan api, maka bersama anak buahnya segera ditinggalkannya tempat
itu.
Jeritan bayi yang baru berumur beberapa bulan terdengar melengking-lengking di
antara kobaran lidah-lidah api yang membakar rumah.
”Bayi itu! Bayi itu....!” teriak salah seorang di antara orang banyak yang berkerubung
di halaman rumah Kepala Kampung.
”Oroknya Raden Rana....! Aduh, kasihan!”
”Kalau tidak lekas ditolong pasti mati!”
Tapi semua orang di situ hanya bisa berteriak dan berteriak. Mana mereka berani
menghambur menyelamakan bayi itu. Dan suara tangisan bayi semakin lama semakin kecil
serta parau sementara nyala api mulai membakar tempat tidur di mana bayi itu terbaring!
Pada saat suara tangisan bayi yang menyayat hati itu hampir tidak lagi kedengaran,
pada saat orang banyak sudah tak tahu lagi apa yang mesti mereka perbuat untuk
menyelamatkan itu orok, maka pada saat itu pula, entah dari mana datangnya kelihatan
sesosok bayangan berkelebat dan lenyap masuk ke dalam kobaran api. Sesaat kemudian
sosok
tubuh itu keluar lagi dan melesat ke halaman lalu lenyap di jurusan timur.
Demikian cepat dan sebatnya sosok tubuh itu bergerak sehingga tidak satu orangpun
yang dapat melihat siapa adanya manusia tersebut ataukah betul bisa memastikan bahwa
sosok tubuh itu adalah sesungguhnya manusia, bukan setan atau dedemit!
Jangankan
untuk
melihat wajahnya, untuk memastikan sosok tubuh itu laki-laki atau perempuan juga tak
satu
orangpun yang bisa!
Begitu cepat dia datang, begitu cepat dia lenyap! Hanya warna
pakaian
yang hitam saja yang bisa dilihat mata orang banyak saat itu. Dan hanya beberapa detik
saja
sesudah sosok tubuh itu lenyap maka rumah Ranaweleng yang terbakar itu runtuh ambruk
dan
lidah api mengelombang tinggi ke udara!
Siapapun adanya sosok tubuh itu, entah dia manusia atau bukan, entah laki-laki atau
perempuan, tapi yang pasti dan semua orang yang ada di situ tahu, bahwa sosok tubuh
itu
telah menyelamatkan bayi Ranaweleng dan melarikannya ke arah timur!
Ketika Mahesa Birawa membuka pintu kamar dan membaringkan Suci di atas tempat
tidur dan secara tak sengaja memandang ke dinding, maka meluncurlah seruan tertahan
dari
mulut laki-laki ini!
Pada dinding papan kayu jati yang keras itu tertulis rangkaian kalimat yang berbunyi:
APA YANG KAU LAKUKAN HARI INI
AKAN KAU TERIMA BALASANNYA PADA
TUJUH BELAS TAHUN MENDATANG!
Tiada tertera nama dari siapa yang menulis tulisan pada dinding itu. Tulisan itu dibuat
dengan sangat cepat. Dan Mahesa Birawa tahu, kalau bukan manusia yang mempunyai
tenaga
dalam luar biasa dahsyatna pastilah tak akan sanggup membuat tulisan semacam itu pada
dinding kayu jati yang keras, karena tulisan itu dibuat dengan mempergunakan ujung jari!
Bersambung...