Sebelumnya...
Kedua mata Mahesa Birawa alias Suranyali yang menutup dalam tidur-tidur ayam
membuka lebar-lebar bila telinganya menangkap suara derap kaki kuda yang memasuki
pekarangan. Dia bangun dan melangkah cepat ke pintu muka. Dan matanya yang tadi
membuka lebar itu kini tampak membeliak. Setengah meloncat dia turun ke tanah.
”Ada apa dengan kalian?!” tanya Mahesa Birawa. Pertanyaan ini hampir merupakan
teriakan.
Kedua kuda itu berhenti. Penunggangnya, Kalingundil dan Saksoko turun perlahan-
lahan. Pakaian mereka kotor oleh darah dan debu. Muka keduanya pucat pasi. Melihat ini
Mahesa Birawa segera maklum bahwa kedua anak buahnya itu mendapat luka dalam yang
parah.
Kalingundil berdiri terbungkuk-bungkuk sambil mengurut dada. Pemandangannya
masih berkunang-kunang. Saksoko begitu menginjakkan kedua kakinya di tanah segera
tergelimpang, muntah darah lagi lalu pingsan!
Mahesa Birawa melompat dan cepat menubruk Saksoko. Dari dalam sabuknya
dikeluarkannya sebutir pil dan dimasukkannya ke dalam mulut Saksoko. Sebutir lagi
kemudian diberikannya pada Kalingundil.
”Telan cepat!,” katanya. ”Kalau sudah, lekas atur jalan nafas dan darahmu!”
Kalingundil menelan pil yang diberikan lalu cepat-cepat duduk bersila di tanah untuk
mengatur jalan nafas dan darahnya. Tak lupa dia mengalirkan tenaga dalamnya ke bagian
tubuh yang tadi kena terpukul.
Satu jam kemudian keadaan Kalingundil boleh dikatakan siuman meski masih
berbaring menelentang di atas sebuah tempat tidur.
”Sekarang!” kata Mahesa Birawa sangat tidak sabar dan sambil menggeprak meja,
”terangkan apa yang terjadi Kalingundil!”
Kalingundil tarik nafas panjang. Diurutnya dadanya beberapa kali lalu mulailah dia
memberi keterangan. Dan bila Mahesa Birawa selesai mendengar keterangan itu maka
mendidih darah di kepalanya. Mukanya hitam membesi. Kumisnya yang tebal melintang
bergetar. Matanya yang memang sudah besar itu dalam keadaan melotot seperti mau
tanggal
dari rongganya!
”Kalingundil! Siapkan kudaku! Panggil Majineng dan Krocoweti. Kalian bertiga ikut
aku ke tempatnya itu manusia haram jadah! Lekas.....!”
Kalingundil tanpa banyak bicara tinggalkan tempat itu. Tak lama kemudian
kelihatanlah empat orang penunggang kuda menderu laksana terbang. Debu mengepul,
pasir
berhamparan. Mahesa Birawa memacu kudanya di muka sekali.
Orang tua bernama Jarot Karsa itu mengusap dagunya. Tanpa berpaling pada
Ranaweleng yang berdiri di sampingnya dengan mata yang memandang tajam ke muka dia
berkata, ”Dugaan kita tidak salah, Raden. Mereka datang. Agaknya yang di depan sendiri
itu
adalah manusia yang bernama Mahesa Birawa.....”
Ranaweleng memandang pula ke muka. Hatinya mengeluh. Inilah pertama selama
menjadi Kepala Kampung dia menghadapi kesukaran dan kekerasan macam begini!
Bahkan
dia tadi belum sempat menyelesaikan pembicarannya dengan Suci ketika Jarot Karsa
memanggilnya, memberi tahu kedatangan empat penunggang kuda itu. Ketika Mahesa
Birawa sampai di halaman, Suci pun saat itu sudah berdiri di belakang suaminya.
Mahesa Birawa hentikan kudanya. Sorotan matanya seganas kelaparan tertuju pada
Ranaweleng. Di belakangnya Kalingundil memberikan kisikan.
”Laki-laki tua yang berdiri di dekat tiang itulah bangsatnya yang telah mencelakai aku
dan Saksoko. Hati-hati terhadap dia, Mahesa. Ilmunya tinggi sekali.....”
”Kau manusia kintel tutup mulut! Tak usah kasih nasihat padaku!” membentak
Mahesa Birawa.
Kalingundil terdiam. Digigitnya bibirnya. Dan saat itu dendam serta bencinya
terhadap kedua orang yang berdiri di langkan rumah itu, terutama Jarot Karsa, tak dapat
dilukiskan.
Mahesa Birawa memandang sekilas pada Suci yang berdiri di belakang suaminya.
Nafsu untuk dapat memiliki perempuan ini yang tak kesampaian atau belum kesampaian
membuat amarahnya semakin meluap-luap. Dadanya seperti mau pecah. Saat itu meski
sudah
bersuami dan punya anak satu tapi Suci dilihatnya semakin tambah cantik dan muda jelita.
Bola mata Mahesa Birawa bergerak ke jurusan Jarot Karsa setelah terlebih dahulu
menyapu tampang Ranaweleng dengan garangnya.
”Anjing tua yang di atas langkan turunlah untuk menerima mampus!”
suara Mahesa Birawa begitu lantang dan menggeletarkan karena disertai tenaga dalam
yang tinggi sudah mencapai puncak kesempurnaannya.
Jarot Karsa sunggingkan senyum tawar. Sekali dia menggerakkan kedua kakinya maka
setengah detik kemudian dia sudah berdiri di tanah, beberapa tombak di hadapan kuda
Mahesa Birawa. Gerakannya waktu melompat tadi enteng sekali. Senyum datar yang
mengejek tersungging lagi di mulut orang tua ini.
”Ini manusianya yang bernama Mahesa Birawa?! Yang inginkan istri orang?! Kalau
kau tidak sedeng tentu sinting! Apa kunyukmu yang satu ini sudah kasih tahu padamu
agar
mencari dukun untuk mengobati otak miringmu?!”
Bergetar badan Mahesa Birawa mulai dari ubun-ubun sampai ke ujung jari-jari kaki!
”Anjing tua yang tak tahu diri, hari ini terpaksa kau harus pasrahkan nyawa
kepadaku!”
Mahesa Birawa enjot diri, melompat turun dari kuda. Dalam keadaan tubuh melayang
demikian rupa kedua tangannya dipukulkan ke muka. Dua rangkum angin sedahsyat badai
menyerbu orang tua yang membungkuk itu. Debu dan pasir mengebubu!
Jarot Karsa melengking dan melompat setinggi tiga tombak ke atas. Angin pukulan
yang dahsyat lewat di bawah kedua kakinya.
Pada detik dia hendak mengirimkan serangan balasan maka berserulah Ranaweleng.
”Bapak Jarot minggirlah, biar aku yang hadapi manusia pengacau ini!”
”Ah Raden....,” kata Jarot Karsa dalam keadaan tubuh masih mengapung di udara.
”Biarlah aku yang sudah tua ini kasih pelajaran padanya! Tak usah Raden bersusah payah.
Dalam satu dua jurus ini akan kusapu badannya keluar halaman!”
Mahesa Birawa kertakkan rahang. Dua tinjunya bergerak susul menyusul. Deru angin
yang dahsyat melanda ke arah Jarot Karsa. Si orang tua, yang rupanya ingin menjajaki
sampai
di mana ketinggian tenaga dalam lawan, balas mengirimkan pukulan tangan kosong.
Letusan sedahsyat meriam berdentum ketika dua tenaga dalam itu saling bentrokan di
udara. Gendang-gendang telinga seperti menjadi pecah dan pekak. Tubuh Mahesa Birawa
kelihatan berdiri gontai beberapa detik lamanya sedangkan Jarot Karsa jatuh duduk di
tanah,
mandi keringat dingin!
Bukan saja Jarot Karsa sendiri, tapi Ranaweleng-pun kagetnya bukan main. Suci yang
berdiri di belakang suaminya dan menyaksikan itu menjerit tertahan karena menyangka si
orang tua mendapat celaka besar. Ternyata tenaga dalam Mahesa Birawa demikian
tingginya,
lebih tinggi dari tenaga dalam Jarot Karsa.
Tahu kalau tenaga dalam lawan lebih unggul dari dia, Jarot Karsa segera melompat
dan menyerang. Kedua tangannya bergerak demikian cepat hampir tak kelihatan,
menyapu-
nyapu dan sekali-kali menjotos ke muka dengan dahsyatnya.
Hampir dua jurus Mahesa Birawa terkurung oleh pukulan-pukulan yang anginnya
memerihkan matanya. Mahesa Birawa atau Suranyali mau tak mau mempercepat pula
gerakannya. Tubuhnya kini laksana bayang-bayang. Bila satu jurus lagi berlalu, maka Jarot
Karsa mulai merasakan tekanan-tekanan serangan yang membuatnya harus berhati-hati.
Tiga jurus lagi berlalu. Tubuh kedua manusia itu sudah hampir tak kelihatan karena
cepatnya gerakan mereka ditambah lagi dengan debu serta pasir yang menggebubu ke
udara
menutupi keduanya.
Tiba-tiba diiringi dengan lengkingan yang menggetarkan dengan satu gerakan yang
sukar ditangkap oleh mata Jarot Karsa, dengan mengandalkan ilmu mengentengi tubuhnya
yang lebih tinggi sedikit dari lawan dia menyorongkan siku kirinya ke muka. Tubuh lawan
di
lihatnya mengelak ke samping dan sekaligus tangannya yang lain memapaki gerakan
mengelak dari Mahesa Birawa.
”Buk!!”
Mahesa Birawa terjajar sampai dua tombak ke belakang. Mulutnya memencong
menahan sakit pukulan tangan kanan Jarot Karsa yang bersarang di dada kirinya. Cepat-
cepat
dialirkannya tenaga dalamnya ke bagian yang terkena itu, Jarot Karsa tertawa mengekeh.
”Jika kau masih juga belum mau angkat kaki dari sini bersama kunyuk-kunyukmu itu,
jangan menyesal kalau mukamu nanti akan benjat benjut macam mangga busuk!”
Tampang Mahesa Birawa kelam membesi. Kedua kakinya merenggang. Tangan kiri
dipentang lurus-lurus ke muka. Tangan kanan ditarik tinggi-tinggi ke belakang di atas
kepala.
Pelipisnya bergerak-gerak. Tangan kanan Mahesa Birawa kemudian kelihatan menjadi hijau
dan bergeletar.
”Bangsat tua bangka!” kertak Mahesa Birawa, ”lihat tangan kananku. Kenalkah kau
akan pukulan yang akan kulepaskan ini....!”
Jarot Karsa kerutkan kening. Matanya memandang lekat-lekat ke tangan kanan
Mahesa Birawa yang semakin lama semakin bertambah hijau itu. Meski dia sudah hidup
hampir tujuh puluh tahun, meski pengalamannya di dunia persilatan setinggi langit
sedalam
lautan namun kali ini mau tak mau tergetar juga hatinya meliahat tangan kanan lawan itu,
ditambah lagi dia sama sekali tidak tahu ilmu pukulan apakah yang akan dilancarkan oleh
lawannya!
Akan Ranaweleng, begitu melihat tangan Mahesa Birawa yang menjadi hijau itu,
kagetnya bukan main. Dengan cepat dia memberikan kisikan pada Jarot Karsa dengan
mempergunakan ilmu ”menyusupkan suara.”
”Bapak Jarot, hati-hati. Pukulan yang hjendak dilepaskan itu adalah pukulan –
Kelabang Hijau — Hebatnya bukan main dan sangat beracun....!”
Jarot Karsa menindih rasa terkejutnya. ”Pukulan Kelabang Hijau....,” keluhnya dalam
hati. Hampir-hampir tak dapat dipercayanya kalau tidak menyaksikan sendiri. Dia tahu
betul
bahwa di dunia persilatan hanya ada satu manusia yang memiliki ilmu pukulan yang
dahsyat
ini yaitu seorang Resi bernama Tapak Gajah yang diam di lereng Gunung Lawu. Tapi kini
muncul seorang lain yang memiliki ilmu pukulan itu. Apakah Mahesa Birawa ini muridnya
Tapak Gajah?
Kerut-kerut pada kening Jarot Karsa mengendur sedikit. Dicobanya menunjukkan
mimik mengejek.
”Hanya pukulan Kelabang Hijau, apakah perlu ditakutkan....!” kata seorang tua
bungkuk itu.
Diam-diam Mahesa Birawa menjadi kaget melihat bahwa lawan mengetahui ilmu
pukulan yang hendak dilepaskannya. Cepat dia membentak.
”Kalau sudah tahu mengapa tidak segera berlutut, anjing tua?!”
”Hanya monyet edan yang akan berlutut di hadapanmu Mahesa Birawa. Terimalah
ini....!” dan tangan Jarot Karsa mendahului melepaskan pukulan tangan kosong yang
dahsyat.
Setengah tombak lagi angin pukulan yang menghembuskan maut itu melanda tubuh
dan kepala Mahesa Birawa maka kelihatanlah laki-laki ini meninjukan tangan kanannya ke
muka!
Setiup angin laksana topan prahara dan mengeluarkan sinar hijau melesat ke muka.
Angin pukulan Jarot Karsa terdorong dan balik menyerang orang tua itu sendiri!
Jarot Karsa melompat ke samping. Tapi tak keburu. Sinar hijau pukulan Kelabang
Hijau telah melanda pinggangnya. Suci menjerit dan menutup mukanya dangan kedua
tangan.
Orang tua itu berteriak setinggi langit. Tubuhnya terguling di tanah. Kulitnya kelihatan
hijau.
Dia mengerang dan menggelepar-gelepar seketika, kemudian nafasnya lepas, maka
tubuhnya
melingkar tanpa nyawa!
”Manusia biadab!” bentak Ranaweleng. ”Orangku tiada permusuhan dengan kau.
Mengapa kau bunuh dia?!”
Mahesa Birawa atau Suranyali tertawa mengekeh.
”Sebentar lagi kau juga akan mampus Ranaweleng! Tapi aku masih berbaik hati untuk
membiarkan kau angkat kaki dari sini. Kalau kau masih keras kepala ketahuilah bahwa ajal
sudah di depan mata!” dan Mahesa Birawa tertawa lagi macam tadi.
”Hari ini aku mengadu nyawa dengan kau manusia iblis!” teriak Ranaweleng. Maka
menerjanglah Kepala Kampung Jatiwalu itu.
Bersambung...