Sebelumnya...
#/semar
#/punakawan
“Oooo lae lae … nDara Baladewa, awal mula saya jadi abdi adalah kepada Resi Manumanasa. Saat dia akan mukswa, saya merasakan kehilangan hingga menangis sedih seraya bertanya kelak siap yang akan menemaniku. Sabda sakti Sang Manumanasa kemudian memberikan teman seorang Bagong dari bayanganku sendiri, wewayangan kang bebagongan. Sejak saat itu pula saya diberi wahyu delapan perkara yang selamanya melekat pada diriku. Semar jadi tahan lapar, tidak mengenal mengantuk, tidak pernah sedih, tidak merasakan dingin karna dayanya air, tidak bisa terbakar oleh sebab api, terpenuhi segala apa yang diharap, bisa menjadi apa saja sesuai keinginan dan ditakdirkan berumur panjang. Jadi kalau perkara makan dan minum saja, walaupun serba mewah dan enak, kula mboten kepengin nDara. Maksud kedatangan saya kemari adalah menyampaikan turut berbahagia atas perkawinan nDara Abimanyu. Niat saya sih juga mau nyumbang.”
Prabu Kresna kemudian merespon
“Apa yang akan kau sumbang Kakang Semar, pastinya engkau tidak mempunyai apa-apa. Pakaianmu saja lusuh kumel dan telah compang-camping, jadi mana mampu kamu nyumbang kepada seorang raja”
“Oooo .. bukan berwujud harta nDara yang akan saya sumbang. Lha kalau harta yang saya berikan, ibaratnya menggarami lautan to, dan negri Dwarawati sudah begitu kaya sehingga apalah artinya sumbangan seorang Semar. Saya hanya ingin menyumbang sebuah tembang kepada nDara Kresna. Sebuah tembang Sarkara”
“Apa maksudnya itu Kakang Semar ?”
“Sarkara itu berarti gula, atau madu. Jadi saya ingin nembang Dandanggula nDara Baladewa”
“Ya sudah kalau begitu, cepat engkau lakukan Kakang Semar” ujar Kresna dengan penuh ketidaksabaran karena merasa terganggu.
“Kula mulai nembang nggih nDara
Kacarita nagri dwarawati tan prabeda kaywangan kaendran kabeh bab upa rengganes dasar ratu misuwur kalokengrat lumahing bumi yaiku prabu kresna titising hyang wisnu nyata ratu binatara kabeh dewa tresna pada asih tintrim pinter sakbarang karya”
Prabu Kresna yang dituju tembang itu merasa bangga sehingga melupakan kejengkelannya sejenak. Senyumnya mengambang.
“Yah … memang begitulah keadaannya Kakang Semar. Engakau sunguh pintar merangkai kata-kata dan mengungkap fakta”
“Ada kelanjutannya nDara
Mung cacate ratu dwarawati nadyan pinter kurang wicaksana tega kalawan kadange denira amemantu abimanyu siti sendari datang tinunggu besan kang nedeng wulangun ngendelke dupeh kuwasa wus tetela lamun ta kekurang adil asor samaning titah”
Hening suasana ruangan agung itu setelah Semar menyelesaikan tembang itu. Tak ada yang berani mengeluarkan suara mengomentari tembang yang telah Semar lantunkan. Baladewa diam tiada bergerak. Samba begitu tegang melihat suasana mencekam dan hanya melirik melihat bagaimana reaksi ayahnya Prabu Kresna.
Setyakipun hanya menunduk kelu, begitupun Sang pengantin baru, Abimanyu, hanya diam gelisah menunggu apa yang bakal terjadi.
Sementara itu, merah padam muka Kresna terlihat.
Sigro muntab lir kinetab, duko yayah sinipi jojo bang mawingo wengis Netro kocak ngondar-andir didepnya mangala cakra mrebabak wadananira pindha kembang wora-wari bang
“Abimanyu !!!”
#/abimanyu
“Inggih, sendika dawuh rama prabu”
“Kamu sudah menjadi bagian dari keluarga Dwarawati setelah resmi menjadi suami dari anakku Siti Sendari tadi. Dan kamu adalah calon seorang raja dan juga senapati agung. Apa yang bakal engkau lakukan bila orang tuamu yang adalah seorang raja negara besar, dihina oleh orang kecil kaum sudra papa di depanku ini ?”
Gundah Abimanyu mendengar perintah mertuanya itu. Hatinya bercabang antara menuruti perintah mertuanya, atau menuruti kata hatinya yang begitu sayang kepada pamomongnya sedari kecil, Semar. Di pandanginya sosok yang begitu lekat di hatinya itu. Sosok yang bisa dikatakan berantakan untuk ukuran manusia normal, tubuh cebol bulat, hitam dan jelek serta wajahnyapun tak berbentuk menarik, namun begitu disayanginya seperti halnya ayahnya dan para leluhurnya. Dari resi Manumanasa, Sakri, Sekutrem, Palasara, Abiyasa, Pandudewanata sampai ke ayahnya Arjuna, menempatkan Semar di posisi yang terhormat.
“Abimanyuuuu !!!” kembali suara Kresna penuh tekanan terdengar.
Suara yang tidak keras namun karena hanya satu-satunya yang muncul dikeheningan suasana, terdengar bagai halilintar di telinga Abimanyu.
Dan tak ingin mendengar perintah untuk kali ketiga, Abimanyu segera menghampiri Semar dan setelah dekat meludahi kuncung Semar serta wajahnya.
Kembali keheningan tercipta diruangan besar itu. Kali ini lebih mencekam. Semua orang yang ada dan menyaksikan peristiwa itu, tertegun dan hampir tak percaya bahwa itu nyata.
Ada sekilas senyum yang tersungging di bibir Kresna, namun sebaliknya wajah Baladewa mengeras, mata membesar dan memerah pertanda kemarahan mulai naik di kepala.
Sementara, Semar dalam diam mengelap dengan punggung tangan bekas air ludah yang melekat di kuncung serta wajahnya. Tidak ada amarah di wajahnya, hanya rona kesedihan yang tiba-tiba muncul menggelayuti wajah dan tubuhnya. Kemudian dipandanginya singgasana Kresna seraya berkata :
“Nggih … tidak apa-apa … tidak mengapa saya diperlakukan seperti ini oleh semua nDara yang ada di sini. Biarlah … semua ini saya terima. Saya menyadari bahwa saya hanyalah orang kecil, wong cilik ongklak angklik, tentu tidak akan ada orang yang sudi menolong. Semar ada untuk mengingatkan yang lupa. Terus apa gunanya saya menunggu orang yang sudah tidak mau diingatkan dan sudah tidak memiliki nurani lagi. Saya mohon pamit nDara”
Hampir semua mata yang memandang kepergian Semar menyimpan duka. Begitupun Abimanyu, serasa mimpi bahwa dia telah melakukan tindakan yang luar biasa tercela itu. Tak percaya bahwa dirinya sudah menghina orang yang begitu dikasihi dan mengasihinya. Jiwanya merintih hatinya hancur.
Pun demikian dengan Baladewa, begitu sosok Semar lenyap dari pandangan, segera beranjak dan menghampiri Abimanyu. Dengan kemarahan meluap, di tudingkannya tangan ke arah Abimanyu.
“He … Abimanyu, apa yang telah kau lakukan tadi. Teganya kau menghina Kakang Semar begitu rendah. Tidakkah kau ingat, siapa Kakang Semar itu. Bahkan ayahmu Arjuna, kakekmu Pandudewanata, eyangmu Begawan Abiyasa sampai leluhur-leluhurmu begitu menghormati Kakang Semar dan menempatkannya dalam kedudukan yang mulia, dan tak mungkin menghinakan seperti apa yang tadi tlah kau lakukan. Uwamu tak mau campur tangan atas perbuatanmu tadi, terserah apa yang akan kamu lakukan lagi kelak. Terserah engkau mau berbuat apa, tapi ingat, sekali lagi engkau melakukan hal hina seperti itu, uwakmu ini yang akan menjadi lawanmu!!!”
Kemudian Baladewa membalikan badan dan kembali menghadap kepada Kresna. Dengan menurunkan suaranya, kembali dia berucap
“Yayi Prabu, Kanda kira sudah cukup keperluanku disini. Saya mohon pamit yayi, semoga tidak ada kejadian apa-apa setelah ini.”
“Matur nuwun Kanda Prabu atas kedatangannya, dan dinda tegaskan sekali lagi bahwa kejadian-kejadian tadi semuanya adalah tanggung jawab dinda pribadi. Yakinlah bahwa tidak akan ada apa-apa karena ada titisan Bathara Wisnu disini”
“Terserahlah apa katamu Yayi, aku mohon pamit !”
Bersambung...