Sebelumnya...
#/punakawan
#/abimanyu
Dengan berjalan pelan Semar keluar dari istana Dwarawati menuju alun-alun. Disanalah anak-anaknya menunggu dia kembali. Dan benar saja, terlihat dari jauh Gareng Petruk dan Bagong ngawe-awe tangan memberi tanda keberadaannya. Sepertinya mereka telah selesai berkeliling menyaksikan keramaian di seputar alun-alun itu.
“Lha itu Ramane Semar sudah kelihatan, wah pasti membawa oleh-oleh makanan. Pastinya lezat-lezat lha wong yang punya hajat kan raja Dwarawati” Petruk langsung nrocos.
“He eh Truk, pasti juga Ramane Semar dibekali uang bayak oleh nDara Abimanyu. Kan ndara Abimanyu lagi hepi, jadi tentunya Ramane sebagai pamomongnya dapat limpahan rejeki. Betul nggak Mo” kata Gareng sambil membayangkan segera dapat membeli sarung baru sebagai ganti sarungnya yang sudah bolong dimuka dan di belakang.
“Kang Gareng dan Kang Petruk boleh berharap, tapi kelihatannya Rama Semar nggak bawa apa-apa tuh” kata Bagong kalem
“Boleh jadi makanannya nanti diantar ke sini oleh utusan dari istana” Petruk masih berharap
“Barangkali uangnya disembunyikan Rama di balik sarungnya itu” Garengpun masih percaya
“Kalau gitu, geledah saja sarungnya Rama Semar, kalau ada yang ganjel berarti itu kemungkinan uang, Kang Gareng” Bagong mencoba memberi solusi
“Lha kalau yang ganjel bukan uang, itu terus apa Gong”
“Ya tinggal dilihat no kenapa ganjel disitu”
“Kalau nggak boleh di lihat”
“Diintip atau kalau perlu dipegang aja”
“Ini pada ngapain sih kok malah ngurusin per-ganjel-an, Kang Gareng sama Bagong lihat nggak Ramane Semar lagi gimana gitu” ujar Petruk yang sedari tadi memperhatikan Ramanya.
“Kita lagi berseneng-seneng ria Ramane kelihatannya malah pasang wajah sedih, senyum pun tidak. Kok lain dari biasanya. Ada apa sih Mo, apa guyonan kami bertiga ini kurang berkenan di hati Rama ?”
Tak urung Gareng dan Bagong pun segera memandang Ramanya dengan lebih seksama. Terlihat memang wajah Semar begitu muram. Biasanya mendengar celotehan anak-anaknya, Semar tertawa-tawa senang atau minimal mesam-mesem sendiri. Ini tidak.
“Ada apa to Rama, kok terlihat muram begitu. Kalau seperti itu wajah Rama terlihat semakin jelek lho, wis elek tambah elek. Lihat Bagong itu Mo, selalu cuek dan hepi-hepi aja sehingga biar elek tapi pede aja seakan wajahnya menyerupai ndara Arjuna” seloroh Petruk mencoba menghibur Ramanya
“Toh kualitas seseorang tidak hanya diukur dari tampilan dan bungkusannya saja, begitu kan Kang Petruk. Nggak kayak Kang Gareng kemarin tuh, pengin pamer kalau punya sandangan banyak eee baju dan celananya dipakai kabeh. Sudah pakai beskap, blangkon-an, sarung dan kolornya masih dipakai pula. Kirain ada kondangan, eeee ternyata mau ke sawah, macul” Bagong tidak mau kalah
Mau tidak mau akhirnya hati Semar sedikit terhibur mendengar banyolan dan ledek-ledekan anak-anaknya tadi. “Wis … wis … wis … tidak perlu saling mengejek. Sebenarnya Rama kalian ini memang lagi muram mengingat perlakuan ndara-ndara kalian di dalam istana tadi. Kalian sudah tahu kan, ndara Arjuna sedang tidak ada lha kok ndara Kresna tetap saja melangsungkan pernikahan Siti Sendari dengan Abimanyu. Rama kemudian mengingatkan ndara Kresna … eeee … kok malah marah dan kemudian menyuruh Abimanyu untuk melakukan sesuatu. Tahu nggak Le … apa yang kemudian Abimanyu lakukan. Dia kemudian meludahi kuncung dan muka Rama”
“nDara Abimanyu Mo !!!” Gareng mbengok berteriak
“Masak sih Mo, nDara Abimanyu begitu, apa Rama tidak menghindar” Petruk setengah mbengok
“Kalau saya jadi Rama, tak tadahi, tak tampung saja air ludah yang disemprotkan nDara Abimanyu. Kemudian tak kumpulin dan saya buntel di bawa pulang” ujar Bagong kalem
“Wis … wis … wis … anak-anakku kabeh, Rama sekarang lagi pengin sendiri nggak ingin kalian ganggu. Rama ingin berjalan mengikuti kata hati kemana kaki ini melangkah. Tolong kalian sekarang mencari dimana keberadaan nDara Arjuna dan wartakan semua yang terjadi disini kalau sudah ketemu. Jangan tanya sampai kapan dan kemana tujuan Ramamu. Nala Gareng, kamu sebagai yang tertua tolong pimpin adik-adikmu ya”
“Okelah kalau begitu Mo. Have a nice trip !”
“Itu bahasa apa Kang Gareng ?” Petruk bertanya
“Mosok gitu aja nggak tahu to Kang Petruk, itu bahasa Ngalengka artinya mudah-mudahan perjalanan Rama selamat, tak menemui arah melintang, tak terhalang macet di jalan, tak tergoda warung makan di pinggir jalan dan akhirnya sampai tujuan dengan sukses”
“Lha kok artinya panjang sekali to Gong padahal kata-katanya cuman sedikit” Petruk curiga
“Ya begitulah basa Ngalengko. Makanya jadi orang yang cerdas Kang !”
Nun jauh di selatan kerajaan Dwarawati, terdapat sebuah kerajaan yang cukup besar bernama Guwakancana, disebut pula Kutakarukmi. Rajanya seorang raksasa yang bergelar Prabu Dewaketuk dengan didampingi patih Kumbarananggo.
Sang raja tengah mengalami sakit. Sakit bukan sembarang sakit, melainkan tengah terpanah asmara. Sering melamun, tersenyum dan kadang tertawa-tawa sendiri membayangkan imajinasi akan kekasih hatinya. Gandrung tidak mengenal kasta, dikala cinta telah tertancap, siapapun merasakan indah dan perih akibatnya. Terasa indah pabila tersampaikan apa yang menjadi hasrat, walau itu hanya sesaat dalam mimpi ataupun rekayasa pikiran, terasa perih bila tak sesuai dengan harapan dan bayangan sang kekasih meninggalkan dirinya.
“Tih … Patih Kumbarananggo”
“Sendika dawuh Gusti”
“Kamu pernah sakit wuyung nggak Tih”
“Kalau sakit gayung belum pernah Gusti”
“Wuyung Tih … dudu gayung“
“Oooo kalau duyung saya pernah lihat Gusti”
“Wuyung Tih .. wuyung … jatuh cinta. Walah … punya patih kok pendengarannya kurang to”
Bersambung...