Sebelumnya...
Begitu lenyap dikejauhan maka Wiro Sableng
segera lepaskan totokan di leher Nilamsuri. Gadis ini memandang berkeliling dengan
terheran-heran. Dia seperti orang yang baru bangun dari mimpi. Tapi jelas dilihatnya
bekas-
bekas pertempuran di sekelilingnya.
”Apa yang terjadi?” bertanya gadis itu.
Wiro tertawa. ”Tak satupun,” jawabnya.
”Aku tak percaya. Tadi kudengar suara derap kaki kuda menuju ke sini….”
”Ah, kau ini ada-ada saja. Aku tak dengar suara apa-apa….”
Nilamsuri berpikir-pikir dan mengingat-ingat. Parasnya mendadak berubah. Matanya
memandang lekat-lekat pada Wiro Sableng. ”Tadi…. kau melompatiku dan…,” gadis ini raba
urat besar di pangkal lehernya. ”Ya…. kau menotok urat besar di leherku ini?”
Habis berkata demikian Nilamsuri segera cabut pedang! ”Apa yang kau telah perbuat
terhadap diriku?” tanyanya membentak.
Murid Sinto Gendeng memaki dalam hati, ”Sialan! Sudah ditolong malah menuduh
yang bukan-bukan!”
Tapi di hadapan si gadis itu pemuda itu masih sunggingkan senyum. ”Kuharap kau
jangan punya pikiran yang tidak-tidak terhadapku saudari….”
”Lalu perlu apa kau menotok aku?!”
Wiro garuk-garuk kepalanya. Dia tak ingin Nilamsuri tahu siapa dia sebenarnya.
Karena itu dia menjawab dusta. ”Kau ingat bagaimana kau begitu kalap untuk bertempur
melawan itu?!”
”Ya, lalu?!”
”Dengar saudari, aku hanya paham sedikti ilmu totokan. Karena aku tahu kau tak
bakal sanggup menghadapi mereka, aku lantas totok kau punya urat besar lalu sembunyi
dibalik rumpun bambu. Ketika mereka pergi kubawa kau kembali ke sini dan kulepaskan
totokan di lehermu.”
”Aku tak percaya….!” kata Nilamsuri.
”Aku memang tidak suruh kau percaya untuk mempercayainya,” menyahuti Wiro
Sableng.
”Kau ini siapa sebenarnya?!”
”Heh…,” Wiro Sableng hela nafas panjang. ”Bukankah aku sudah kasih tahu nama?
Malah kau sendiri masih rahasiakan kau punya nama!”
Nilamsuri dalam kesalnya tambah tak percaya. Terlintas dalam pikirannya untuk
menjajal si pemuda.
”Baik,” katanya, ”jika kau tidak mau kasih keterangan, biar pedangku ini yang
memintanya!”
Habis berkata demikian maka gadis ini segera kirimkan satu tusukan hebat ke dada
Wiro Sableng!
Wiro terkejut dan gerabak gerubuk lompat kesamping.
”Saudari! Apa-apaan ini? Kenapa kau serang aku?!”
Sebagai jawaban Nilamsuri kirimkan serangan berantai. Pedangnya menderu kian
kemari membuat Wiro tak bisa ayal lagi dan terpaksa berlompatan dengan cepat.
”Sekarang kau tak bisa sembunyikan diri lagi saudara!” kata Nilamsuri. ”Terima jurus
elang menyambar burung dara ini!”
Pedang di tangan Nilamsuri menderu dari samping kiri ke bahu Wiro. Ketika pemuda
ini berkelit, ujung pedang dengan sangat tiba-tiba menusuk ke rusuk laksana patukan
burung
elang!
Wiro lambaikan tangan kiri, angin keras membentur badan pedang, menyimpangkan
senjata itu dari sasarannya!
”Saudari!” seru Wiro Sableng, ”sayang aku ada urusan lain. Sampai jumpa lagi!”
Habis berkata demikian pemuda ini melompat ke muka, mencuil dagu si gadis lalu
berkelebat.
”Pemuda kurang ajar!” maki Nilamsuri. Disabetkannya pedangnya dengan sekuat
tenaga. Tapi Wiro Sableng sudah lenyap dari hadapannya. Hanya suara tertawanya yang
masih sempat terdengar di kejauhan. Gadis itu berdiri termangu. Parasnya yang cantik
kelihatan kemerahan. Pemuda itu benar-benar ceriwis sekali! Tapi kini dia sudah tahu
bahwa
pemuda itu sama sekali bukan bodoh dan berotak miring. Sama sekali tidak buta dalam
ilmu
silat! Tadi dia telah menyerang dengan jurus-jurus ilmu pedangnya yang lihay dan si
pemuda
berhasil mengelakkan bahkan memukul badan pedang dengan pukulan tangan kosong
yang
menimbulkan angin keras!
Meski hatinya marah sekali dengan keceriwisan pemuda itu tapi rasa senang dan
kagumnya tak dapat disembunyikannya. Sekelumit senyum memberkas di bibirnya ketika
dia
mengusap dagunya yang tadi dicuil oleh Wiro Sableng.
*****
Kedai itu sepi saja.
Angin malam bertiup dingin dari lembah. Wiro Sableng masuk ke dalam seenaknya
dan sambil bersiul-siul.
Orang tua pemilik kedai menyambuti dengan muka pucat cemas.
”Orang muda,” katanya, ”sebaiknya kau lekas-lekas tinggalkan tempat ini!”
”Memang kenapa?” tanyanya.
”Sebentar lagi mungkin empat manusia berewok itu akan kembali ke sini….”
”Siapa takutkan mereka!” ujar Wiro.
”Tapi anak muda, kau mungkin belum tahu siapa mereka itu.”
”Perduli amat siapa mereka,” kata Wiro pula sambil duduk di kursi.
Dan pemilik kedai itu berkata lagi, ”Mereka adalah rampok-rampok yang ditakuti di
sungai Cimandilu! Mereka adalah Empat Berewok dari Goa Sanggreng!”
”Biar mereka adalah Empat Setan dari Neraka, aku tetap tak perduli!”
Pemilik kedai jadi terdiam. Siang tadi dia memang telah menyaksikan bagaimana
pemuda itu menyumpal mulut dengan pisang. Maka
bertanyalah dia, ”Orang muda, kau ini siapa sebenarnya dan datang dari mana?”
Wiro usap-usap dagunya yang licin. Ini mengingatkannya pada dagu Nilamsuri yang
dicuilnya dan pemuda ini senyum-senyum sendiri. Si orang tua diam-diam mulai
meragukan
apakah anak muda ini berotak sehat!
”Bapak sudah lama tinggal di sini?” tanya Wiro.
”Sejak masih orok….”
”Hem…. kalau begitu tentu kenal dengna nama Ranaweleng….”
”Oh tentu... tentu sekali. Beliau adalah Kepala Kampung yang baik. Cuma sayang….”
”Sayang kenapa….?”
Orang tua itu tak segera menjawab. Dia memandang keluar kedai seperti mau
menembusi kegelapan malam, seperti tengah mengenangkan sesuatu.
”Beliau sudah meninggal…,” katanya kemudian menambahkan.
Wiro Sableng menelan ludahnya.
”Bapak tahu siapa yang membunuhnya….?”
Pertanyaan ini membuat si orang tua memandang lekat-lekat pada paras Wiro Sableng.
”Semua orang tahu….,” katanya. Kemudian dituturkannya peristiwa kematian Ranaweleng
dan Suci Bantari sekitar tujuh belas tahun yang lewat. Kisah ini sudah didengar sejelasnya
oleh Wiro Sableng dari gurunya Eyang Sinto Gendeng.
”Ada satu keanehan dalam peristiwa tujuh belas tahun yang lalu itu,” kata si pemilik
kedai.
”Keanehan bagaimana?” tanya Wiro ingin tahu.
”Waktu itu Mahesa Birawa dan anak-anak buahnya membakar rumah mendiang
Ranaweleng. Dalam kobaran api yang tiada terkirakan besarnya terdengar suara tangisan
orok! Itu adalah oroknya Ranaweleng sendiri! Orang banayak sangat kebingungan.
Bagaimana mungkin menyelamatkan bayi dalam kobaran api itu? Pada saat yang sangat
tegang itu semua orang melihat berkelebatnya bayangan hitam. Sangat cepat sekali
bayangan
hitam itu menyerbu ke dalam kobaran api lalu lenyap. Dan suara tangisan oroknya
Ranaweleng juga hilang! Sewaktu api padam semua orang mencari. Tapi tak ditemui
tulang
belulang orok itu….”
Wiro Sableng termanggu-manggu. Dia tahu betul, orok yang diceritakan orang tua itu
adalah dirinya sendiri dan berkelebatnya bayangan hitam adalah kelebat bayangan
gurunya
Eyang Sinto Gendeng!
”Sampai sekarang tidak pernah diketahui dimana anak Ranaweleng itu?” bertanya
Wiro.
Si orang tua angkat bahu. ”Kalau dia masih hidup kira-kira sebesar kaulah, anak
muda,” katanya.
”Mahesa Birawa sendiri…. apakah masih hdiup?”
”Masih…. sampai dua tahun belakangan ini dia masih tinggal di sini. Tapi sekarang
entah dimana. Tapi ada atau tidaknya dia di sini, sama saja. Empat orang anak buahnya
sama
saja jahat dan kejamnya dan keempatnya malang melintang di kampung ini. Kalau makan
tak
pernah bayar!”
”Apakah mereka itu itu?” tanya Wiro.
”Bukan…. bukan! Justru ini sengaja datang dari
jauh bikin perhitungan dengan anak buah Mahesa Birawa yang bercokol di sini! Dan Empat
Berewok dari Goa Sanggreng itu bukanlah manusia baik. Mereka rampok-rampok yang tak
kalah kejam dan terkutuknya dengan anak-anak buah Mahesa Birawa! Tapi ketika mereka
datang anak-anak buah Mahesa Birawa tak ada di sini. Kebetulan keluar…. sudah empat
hari
dengan hari ini….”
Wiro mengulurkan tangannya memotes sebuah pisang yang tergantung
”Eee…. apakah kau punya uang untuk membayar pisang itu, anak muda?” tanya si
pemilik kedai.
Wiro tertawa, ”Hutang dulu toh tak apa-apa….” sahutnya.
Si orang tua mengeluh dalam hati. Berarti tambah satu lagi ”langganan”nya yang
makan tanpa bayar!
Sambil mengunyah pisangnya Wiro Sableng bertanya, ”Urusan apakah yang dibawa
oleh itu ke sini?”
Si orang tua memandang lagi ke luar kedai. Lalu katanya, ”Perlu kau ketahui….
pemimpin itu, yang kini memakai nama Bergola Wungu,
dulunya adalah penduduk kampung Jatiwalu ini! Anak-anak buah Mahesa Birawa yang
bercokol di sini kemudian membunuh ayahnya, juga ibunya, merusak kehormatan
perempuan
itu serta saudara-saudara perempuannya. Bergola Wungu sempat melarikan diri. Ketika dia
kembali ke sini ternyata dia sudah jadi seorang yang tak kalah jahatnya dengan anak-anak
buah Mahesa Birawa!”
Lama Wiro Sableng terdiam. Tiba-tiba dia ingat satu nama yang diucapkan Nilamsuri.
”Kenal dengan seorang yang bernama Kalingundil?”
Kulit kening pemilik kedai itu mengkerut.
”Adalah lucu kalau pertanyaan itu kau ajukan saat ini, anak muda?” katanya.
”Kenapa….?”
”Karena Kalingundil adalah anak buah Mahesa Birawa yang bercokol di sini dan yang
bertindak sebagai pemimpin dari tiga kawan-kawan lainnya!”
Tentu saja Wiro Sableng terkejut mendengar keterangan ini. Tapi rasa terkejutnya
disembunyikannya. Dan dia berpikir-pikir, mengapa gadis itu di pekuburan siang tadi
menanyakan apakah kedua orang tuanya dibunuh oleh manusia bernama Kalingundil itu?
Wiro meletakkan kulit pisang di tepi meja. ”Siang tadi, Empat Berewok dari Goa
Sanggreng itu telah mengeroyok seorang gadis belia berparas cantik. Bahkan gadis itu
hendak
mereka perkosa beramai-ramai. Mungkin bapak tahu pangkal sebab sampai hal itu
terjadi….?
mungkin juga kenal dengan gadis itu?”
”Gadis itu berpakaian biru….?”
”Betul.”
Si orang tua hela nafas. ”Sebenarnya sudah berkali-kali Bergola Wungu tanya padaku
apakah ada seorang lain yang tinggal di rumah Kalingundil. Aku jawab tidak tahu. Aku tak
ingin susah anak muda. Kalau kukatakan ada dan Kalingundil mengetahuinya, pastilah
leherku akan jadi umpan pedang Kalingundil dan gadis itu adalah anak Kalingundil sendiri!”
Kini jelaslah bagi Wiro Sableng mengapa demikian besar tekat Bergola Wungu untuk
membunuh si gadis baju biru itu.
”Kalingundil yang bikin kejahatan, anaknya yang musti ikut tanggung akibat…,” desis
orang tua pemilik kedai.
Wiro manggutkan kepala. ”Dendam kesumat laksana besi tua seribu karat kadang kala
tidak mengenal pembalasan yang wajar….”, katanya. ”Kadang kadang itu adalah
merupakan
hukum karma bagi seseorang yang pernah melakukan perbuatan terkutuk!”
”Kata-katamu beul, anak muda….”, kata orang tua itu pula. Lalu diangsurkannya
mukanya dekat-dekat ke muka Wiro Sableng. ”Waktu Bergola Wungu tahu bahwa kau
telah
mendustainya, habis mukaku ini ditempelaknya….!”
”Itu salahmu sendiri,” kata Wiro seenaknya. ”Siapa suruh kau yang tua bangka masih
mau berdusta!”
Orang tua itu jadi menggerendeng dan memaki panjang pendek dalam hatinya. Dan
dia memaki lagi untuk kedua kalinya ketika didengarnya Wiro berkata, ”Minta tehnya,
pak.”
Sementara si orang tua membuatkan segelas teh manis untuknya, Wiro Sableng
tenggelam dalam pikirannya sendiri. Tidak diduganya kalau gadis berbaju biru yang
menarik
perhatiannya itu adalah anak Kalingundil. Anak buah Mahesa Birawa yang telah membunuh
kedua orang tuanya.
Ketika si orang tua datang membawakan teh bertanyalah Wiro Sableng, ”Bapak tahu
nama anak perempuan Kalingundil itu?”
”Nilamsuri. Nama bagus, orangnya juga cantik, tapi sayang bapaknya manusia
terkutuk!”
”Sewaktu Mahesa Birawa melakukan pembunuhan atas diri Ranaweleng, apakah
Kalingundil juga ikut-ikutan?” tanya Wiro lagi.
”Bukan hanya Kalingundil, tapi semua anak buahnya,” menyahuti si orang tua.
Wiro hendak bertanya lagi tapi mulutnya terkatup kembali karena di luar terdengar
suara gemuruh derap kaki kuda. Empat penunggang kuda lewat di muka kedai dengan
cepat.
Mereka bukanlah Empat Berewok dari Goa Sanggreng. Dan ketika Wiro Sableng berpaling
pada orang tua pemilik kedai, orang tua ini tarik nafas panjang dan berkata,
”Kalingundil
dan
anak-anak buahnya…. pasti akan segera terjadi bentrokan dengan Bergola Wungu….”
”Menurutmu…. siapa yang bakal menang di antara mereka?” tanya Wiro.
Oran tua itu angkat bahu. ”Aku tidak mengharapkan siapapun di antara mereka akan
menang! Kalau dapat biarlah Gusti Allah membuat mereka mampus semua. Kalingundil
dan
Bergola Wungu tiada beda bagiku! Sama-sama jahat! Sama-sama tidak bayar kalau makan
apa-apa di sini!”
Wiro Sableng tertawa. Diteguknya teh manis dalam gelas kaca itu. Lalu dia berdiri.
”Meski hari ini aku tidak bayar harga pisang dan teh manis itu, tapi jangan samakan aku
dengan Bergola Wungu atau Kalingundil….” Habis berkata demikian Wiro segera tinggalkan
kedai.
Si orang tua mengangkat gelas bekas minuman pemuda itu. Tapi sesuatu menarik
perhatian matanya yang sudah agak mengabur itu. Pada kaca gelas dilihatnya sederetan
angka. Diperhatikannya lebih dekat. Tidak salah, itu memang deretan angka 212. Tak
habis
mengerti orang tua ini bagaimana angka ini bisa tertera di sana. Disekanya dengan ujung
pakaiannya. Disekanya lagi…. lagi…. Tapi angka 212 itu tetap saja tidak mau pupus!
”Ah…. semakin tua umur dunia ini semakin banyak terjadi keanehan….” katanya
dalam hati.
Bersambung...