Sebelumnya...
Dari jauh telah terdengar suara beradunya senjata serta bentakan-bentakan hebat. Wiro
Sableng percepat jalannya. Dan bila dia sampai di halaman rumah yang agak kegelapan itu
maka dilihatnyalah bagaimana halaman rumah itu kini berubah menjadi sebuah medan
pertempuran. Enam manusia, sepasang demi sepasang tangah bertempur hebat dan cepat.
Di
tangga rumah besar dilihatnya berdiri Nilamsuri.
Di bawah tangga, dengan bersedekap tangan berdiri seorang laki-laki berbadan tinggi
langsing. Wiro tak pernah melihat orang ini sebelumnya. Tapi dia yakin betul bahwa
manusia
ini pastilah Kalingundil.
Di ujung halaman sebelah kiri berdiri pula Bergola Wungu. Sebagaimana dua orang
yang terdahulu sepasang matanya memandang ke tengah halaman, memperhatikan
jalannya
pertempuran.
Tiga orang anak buah Kalingundil yaitu Saksoko, Majineng dan Krocoweti
sebenarnya bukan orang-orang yang berilmu rendah. Permainan golok mereka cukup lihay.
Tapi menghadapi anak-anak buah Bergola Wungu yaitu Ketut Ireng, Seta Inging, dan Pitala
Kuning merak kalah gesit. Dalam sembilan jurus Krocoweti terpaksa pasrahkan nyawa
dilanda ruyung berduri Pitala Kuning! Krocoweti menggeletak di tanah dengan dada
melesak!
Tiga jurus kemudian menyusul Majineng. Lehernya hampir kutung terbabat kelewang
Seta Inging. Pertempuran yang agak lama berlangsung ialah antara Ketut Ireng dan
Saksoko.
Kedua orang ini mempunyai tingkat kepandaian yang sama dan sama-sama bersenjatakan
golok. Namun oleh kemenangan kedua kawannya Ketut Ireng mendapat semangat dan
nyali
besar. Lima jurus di muka sambaran goloknya tiada tertahankan. Akhirnya Saksoko yang
berbadan gemuk pendek itu menjerit mengerikan ketika perutnya yang buncit terbabat
ujung
golok! Ususnya membusai dan menjela-jela di tanah!
Rahang-rahang Kalingundil kelihatan mengatup rapat dan bertonjolan. Kedua kakinya
terpentang. Saat itu karena gelap tak seorangpun yang melihat bagaimana kedua lengan
Kalingundil menjadi hitam samapi ke jari-jari tangannya. Didahului dengan suara bentakan
yang bukan saja dahsyatnya menggetarkan dada tapi juga menggetarkan tanah maka
melompatlah Kalingundil ke tengah halaman di mana tiga anak buah Bergola Wungu
berada.
Tujuh belas tahun yang lampau kehebatan pukulan lengan baja itu sudah mengagumkan.
Dan
kini dapat dibayangkan bagaimana keampuhannya!
Tiga pekik kematian merobek kegelapan malam! Ketut Ireng, Seta Inging dan Pitala
Kuning terlempar sampai lima-enam tombak dan menggeletak di tanah tanpa nyawa!
Bergola Wungu saksikan kematian yang mengenaskan ketiga muridnya itu dengan
tubuh bergetar.
”Bergola Wungu! Kau tunggu apa lagi! Majulah jika kau benar-benar ingin
membalaskan dendam kesumat seribu karat!”
Meski bagaimana kobaran amarahnya namun Bergola Wungu menyahuti, ”Jangan
bicara terlalu keren, keparat! Aku masih berbaik hati untuk membiarkan kau bernafas
beberapa jam lagi! Aku Bergola Wungu menunggu kau besok pagi waktu matahari terbit di
pekuburan Jatiwalu! Aku ingin nyawamu terbang ke neraka disaksikan makam ayah-
bundaku!”
Habis berkata demikian, Bergola Wungu putar tubuh. Tapi saat itu Kalingundil sudah
menyerbunya dengan kedua tangan terpentang!
Bergola Wungu yang tahu kehebatan lengan baja itu tak berani menyambuti. Dia
berkelit ke samping dan lambaikan tangan kanannya. Serangkum angin menyambar ke
dada
Kalingundil. Kalingundil melompat ke samping dan hantamkan lengannya kembali. Tapi ini
juga dapat dielakkan Bergola Wungu. Dalam sebentar saja kedua orang ini sudah terlibat
dalam tiga jurus. Memasuki jurus keempat tiba-tiba dari bagian yang gelap di bawah
pohon
mempelam terdengar suara memaki.
”Kalingundil edan! Orang sudah kasih kesempatan untuk bertempur besok pagi masih
saja beringasan! Gelo betul!”
Kalingundil keluar dari kalangan pertempuran. Segera dia hantamkan lengannya ke
jurusan datangnya suara.
”Jangan memaki saja kunyuk! Keluarlah unjukkan diri!”
Angin dahsyat melanda ke tempat gelap, menghantam pohon mempelam sampai
pohon itu tumbang. Tapi orang yang memaki sudah kabur. Dan ketika menoleh ke
samping,
Bergola Wungu pun sudah lenyap!
Akan Nilamsuri begitu mengenali suara yang memaki tadi tanpa tunggu lebih lama dia
segara mengejar ke tempat gelap. Beberapa puluh meter kemudian, di pinggiran kampung
dekat pematang sawah, orang yang dikejar tahu kalau dirinya dikuntit. Dengan
pergunakan
ilmu meringankan tubuh yang sudah sampai ke puncak yang sangat tinggi dia melompat
ke
satu cabang pohon dan menunggu.
Nyatanya yang mengejar adalah si gadis baju biru itu. Segera dia lompat turun
kembali.
”Kita berjumpa lagi, Nilamsuri….”
”Eh, dari mana kau tahu namaku?” gadis itu tanya dengan heran.
Wiro Sableng tertawa dan menjawab, ”Terlalu banyak manusia tempat bertanya.
Terlalu banyak mulut yang bisa kasih keterangan! Ada apa kau mengejar aku?!”
”Ada apa kau ikut campur urusan ayahku?!” balik menanya Nilamsuri.
Wiro Sableng melangkah mendekati gadis itu. Matanya yang memandang tajam
membuat hati si gadis menjadi berdebar. Wiro semakin mendekat juga. Nilamsuri
menyurut
mundur namun badannya tertahan oleh batang pohon.
”Ayahmu Kalingundil, bukan….?” desisnya.
Gadis itu mengangguk.
Wiro menyeringai. Dipegangnya bahu gadis itu. Nilamsuri hendak menyibakkan
tangan itu tapi tak jadi karena saat itu Wiro membungkukkan kepalanya. Rasa panas
menjalari
darah ditubuhnya ketika bibir pemuda itu berani mengecup bibirnya. Kemudian tangan
yang
lain dari si pemuda mengusap mukanya. Dia diam saja. Juga masih diam ketika tangan itu
meluncur turun ke bawah lehernya.
”Wiro…. kau ini ceriwis sekali…. ceriwis sekali,” bisik gadis itu setengah merintih.
Pemuda itu menyeringai.
”Kenapa kau ikuti aku….?”
”A…. aku suka padamu Wiro….”
Wiro tak banyak tanya lagi. Dipanggulnya tubuh yang montok itu lembut itu dan
dilarikannya ke tengah sawah dimana terdapat sebuah dangau. Angin malam terasa sangat
dingin di udara yang terbuka itu. Tapi tubuh mereka dilanda keringat panas dalam
melakukan
apa yang belum pernah mereka alami sebelumnya, dalam merasakan apa yang mereka tak
pernah rasakan sebelumnya!
*****
Sinar matahari pagi memerak kekuningan. Udara segar sekali. Namun kesegaran itu
tiada dirasakan oleh tiga manuisa yang berada di pekuburan Jatiwalu. Yang dua adalah
Bergola Wungu dan musuh besarnya Kalingundil. Yang ketiga Nilamsuri. Paras gadis ini
agak pucat.
Bergola Wungu hentikan langkahnya beberapa tombak di hadapan Kalingundil.
”Keluarkan senjatamua Kalingundil!”
Kalingundil tertawa bergelak dan meludah ke tanah. ”Untuk menghadapi manusia
macam kau tak perlu pakai senjata segala! Mulailah!.” Mulut Kalingundil komat-kamit dan
sebentar kemudian kelihatanlah kedua lengannya menjadi hitam!
Tergetar juga hati BergolaWungu melihat dua lengan lawan itu. Tapi tentu saja tak
diperlihatkannya. Malahan dia berkata, ”Bagus kalau tak mau pakai senjata. Itu
mempercepat
aku mengirimkan kau ke neraka!”
Bergola Wungu mencabut golok panjangnya. Dengan ujung senjata itu dia menunjuk
ke arah dua buah makam di bukit pekuburan.
”Kau lihat dua makam di lereng sana, Kalingundil?!”
Kalingundil tak berani mengalihkan pandangannya karena khawatir ini hanya tipuan
belaka.
”Itu adalah makam ayah bundaku. Roh-roh penghuni makam itu akan bersorak
gembira bila menyaksikan sesaat lagi kepalamu kubabat menggelinding!”
”Tak perlu jual bacot manusia hina! Terima lenganku!”
Disertai angin yang dahsyat maka kedua lengan Kalaingundil memukul susul
menyusul. Bergola Wungu kiblatkan golok memapas salah satu lengan lawan! Betapa
terkejutnya dia ketika goloknya tidak mempan membabat lengan lawan malahan mata
goloknya menjadi sumplung!
Dengan segera Bergola Wungu keluarkan jurus terhebat dari ilmu goloknya yaitu jurus
”merobek langit.” Sesaat saja terbungkuslah tubuh Kalingundil oleh sinar golok! Dan satu
jurus dimuka Kalingundil terdesak hebat. Berkali-kali dia hantamkan lengannya ke arah
lawan namun Bergola Wungu berkelit sangat cepat. Dengan penasaran Kalingundil coba
menyampoki senjata lawan dengan kedua lengannya.
Tapi Bergola Wungu tidak bodoh. Mana dia mau adu senjata dengan lengan yang
kerasnya macam baja itu!
”Ha... ha... lekaslah minta tobat pada Tuhan atas kesalahan-kesalahanmu, Kalingundil!
Sebentar lagi kepalamu akan menggelinding!” ejek Bergola Wungu.
Geram Kalingundil bukan alang kepalang. ”Kita akan lihat siapa yang bakal meregang
nyawa lebih dahulu kunyuk berewok!”, balasnya mengejek.
Kalingundil berseru keras, ”Terima senjata rahasiaku ini, kunyuk!”
Ratusan jarum hitam kemudian menggebubu menyerang Bergola Wungu tapi dengan
satu kali putaran golok saja senjata rahasia itu gugur semua ke tanah!
”Hebat! Hebat…. hebat!” terdengar suara dari jurusan barat. Orang yang bicara itu
jauhnya masih sekitar seratus tombak. Namun begitu suaranya berakhir serentak itu pula
dia
sudah berada di tempat pertempuran itu! Dapat dibayangkan hebatnya ilmu lari orang itu.
”Hebat memang hebat, Bergola Wungu! Tapi mungkin kau tidak tahu bahwa manusia
itu adalah bagianku!”
Baik Bergola Wungu maupun Kalingundil sama lompatkan diri dari kalangan
pertempuran. Bagi Kalingundil ini adalah satu keuntungan karena saat itu dirinya terdesak.
Keduanya memandang pada orang yang berdiri di bawah pohon. Kalingundil kerutkan
kening
sedang Bergola Wungu katupkan rahang rapat-rapat begitu kenal pendatang baru itu!
”Kalingundil! Kau tak perlu pandang aku dengan kerut jidat segala! Dimana manusia
bernama Mahesa Birawa?!”
”Orang muda bermulut besar, kau siapa?!” bentak Kalingundil.
”Ditanya malah menanya! Sialan betul!”, gerendeng Wiro Sableng. ”Tujuh belas
tahun yang silam kau bersama Mahesa Birawa telah membunuh Ranaweleng, bapakku!
Juga
membunuh ibuku dan Jarot Karsa! Apa kau punya otak masih sanggup mengingatnya?!”
Kalingundil merutuk dalam hati. Apakah manusia ini juga hendak membalaskan
dendam kesumatnya seperti Bergola Wungu? Melihat kepada tenaga dalam yang menyertai
suaranya tadi Kalingundil sudah dapat mengukur kehebatan manusia ini. Hatinya
mengeluh!
Melayani Bergola Wungu saja dia sudah kepepet, apalagi menghadapi dua lawan sekaligus!
”Apa maumu orang muda?!”
”Apa mauku….?!” Wiro tertawa bergelak.
Nilamsuri yang merasa cemas segera mengetengahi dengan berkata, ”Wiro…. dia
adalah ayahku!”
”Aku tahu adik manis…,” dan si pemuda tertawa lagi. Dalam tertawanya itu masih
bisa dia mengingat kemesraan dan kebahagiaan hidup yang dirasakannya bersama gadis
itu di
dangau di tengah sawah tadi malam. ”Karena itulah aku berbaik hati datang ke sini hanya
untuk meminta tangan kanannya saja!”
”Wiro!” muka Nilamsuri menjadi pucat.
Bergola Wungu sendiri tahu bahwa apa yang dikatakan oleh Wiro Sableng bukan
omong kosong belaka. Dia telah melihat kehebatan pemuda rambut gondrong ini!
Sebaliknya Kalingundil keluarkan tertawa membahak. ”Kurasa kau masih pantas
untuk menetek sama kau punya ibu!”, ejeknya.
”Kata-kata itu cukup lucu, Kalingundil! Aku senang pada manusia-manusia yang suka
bicara lucu!” Wiro Sableng melangkah mendekati Kalingundil.
Nilamsuri melompat ke muka hendak menahan si pemuda tapi pada saat itu pula dari
samping Bergola Wungu yang sejak lama menahan kegeramannya terhadap Kalingundil,
maka ketika melihat anak musuh bebuyutannya itu melompat ke muka, tanpa tunggu lebih
lama segera ditebaskan golok panjangnya!
Nilamsuri melengking! Tubuhnya tercampak ke tanah. Dadanya robek besar. Darah
menyembur! Bergola Wungu yang melihat tidak adanya kesempatan baginya untuk turun
tangan terhadap Kalingundil segera lari ke lereng bukit pekuburan dan berseru:
”Manusia bernama Wiro Sableng! Antara kita masih ada sedikit urusan! Kalau kau
merasa punya nyali untuk meneruskan, aku tunggu di Gua Sanggreng!”
”Setan alas betul!” maki Wiro Sableng. Dipukulkannya tangan kanannya ke arah
lereng bukit pekuburan. Angin laksana badai menderu dahsyat. Batu-batu nisan dan tanah
pekuburan beterbangan. Pohon-pohon bertumbangan. Semak belukar diterabas gundul!
Tapi
Bergola Wungu sudah lenyap dibalik bukit!
Wiro Sableng putar kepala dan dia memaki lagi ketika melihat Kalingundil melarikan
diri. ”Boleh saja lari Kalingundil! Tapi tinggalkan lenganmu dahulu!”
Sekali pemuda itu melompat ke muka maka dia berhasil menyusul Kalingundil. Tiba-
tiba Kalingundil berbalik, cabut keris di pinggang dan tusukkan ke perut Wiro Sableng!
Serangan yang dilancarkan dengan kalap serta karena ketakutan itu tidak mengenai
sasarannya. Sebaliknya yang diserang cepat gerakkan tangan kanannya.
”Kraak”!
Kalingundil meolong. Tangan kanannya sebatas bahu tanggal. Tulangnya copot!
Daging dan otot seta urat-urat berserabutan mengerikan sekali!
Laki-laki itu macam babi celeng seradak seruduk kian kemari. Dia hendak lari lagi.
”Eee…. tunggu dulu Kalingundil! Kenapa terburu-buru kabur?! Terima dulu angka
kenang-kenangan ini!” Habis berkata begitu Wiro Sableng benturkan tapak tangan
kanannya
ke jidat Kalingundil! Pada kulit jidat laki-laki ini maka terpampanglah lukisan telapak
tangan
berikut lima jari dengan angka 212 pada baigan tengahnya!
Kalingundil seradak seruduk lagi macam babi celeng! Darah berceceran dari luka di
tangannya. Wiro Sableng tertawa mengekeh. Diperhatikannya laki-laki itu berlari macam
dikejar setan! Tangan kirinya memutar-mutar lengan Kalingundil yang masih dipegangnya.
Tiba-tiba dilemparkannya potongan lengan itu. Laksana anak panah potongan lengen itu
melesat dan menghantam punggung Kalingundil, membuat laki-laki itu tergelimpang
menelungkup di tanah, tapi segera bangkit lagi dan lari lagi!
Wiro Sableng hentikan gelaknya ketika telinganya mendengar suara gerangan
Nilamsuri. Cepat didekatinya tubuh gadis itu. Dia berlutut di tanah. Matanya menyipit
melihat
luka besar di dada si gadis. Nyawa Nilamsuri tak mungkin di tolong lagi. Dibopongnya
gadis
itu, dibawanya ke tempat teduh dan dibaringkannya.
”Wiro….” Nilamsuri membuka kedua matanya yang telah menjadi sayu itu. ”Wiro….
peluk aku….,” pintanya.
Wiro Sabelng merangkul gadis itu.
”Cium aku…. Wiro….”
Si pemuda mencium pipi Nilamsuri. Lalu mengecup bibirnya. Bibir itu kesat dan
dingin kini, tidak basah dan hangat seperti malam tadi. Nafas Nilamsuri lambat dan satu-
satu.
Sinar matanya semakin pudar.
”Umurku untuk mengenalmu hanya sampai di sini, Wiro….” bisik Nilamsuri.
”Aku akan obati lukamu, Nilam. Kau akan sembuh….” kata Wiro pula menghibur.
Nilamsuri tersenyum. Bersamaan dengan memberkasnya senyum itu di bibirnya maka
saat itu pula rohnya lepas meninggalkan tubuh.
Pendekar muda dari Gunung Gede hela nafas panjang. Hatinya beku menyaksikan
kematian gadis itu. Semalam Nilamsuri masih dirangkulnya, masih dirabanya…. tapi kini
tubuh itu tiada akan memberikan apa-apa lagi kepadanya. Bahkan kehangatanpun tidak
karena saat itu tubuh Nilamsuri berangsur menjadi dingin.
Wiro mennghela nafas panjang sekali lagi. Disibakkannya bagian pakaian yang robek
di dada gadis itu. Pada bagian kulit dada yang masih utuh, tepat di atas buah dada sebelah
kiri si gadis, dengan pergunakan ujung telunjuk jari tangan kanannya, Wiro menggurat tiga
barisan angka: 212.
Disandarkannya tubuh tanpa nyawa itu ke batang pohon dengan hati-hati. Lalu
melangkahlah pendekar ini meninggalkan tempat itu. Dan seperti tak pernah terjadi apa-
apa,
seperti tak satupun yang barusan dialaminya, dari sela bibir pemuda ini terdengarlah suara
siulan. Siulan melagukan nyanyi tak menentu….
TAMAT