Sebelumnya...
Ketua Biara Pensuci Jagat terkejut ketika melihat jarum alat rahasia di dalam kamarnya bergerak-gerak! Segera ditekankannya sebuah tombol di tepi tempat tidur. Dua buah pintu rahasia terbuka dan delapan orang biarawati muncul. Kedelapannya menjura lalu berpaling ke arah alat rahasia yang dituding oleh Ketua mereka.
“Atur pengurungan!” kata Ketua Biara itu pula. “Lima puluh di
dalam, lima puluh di luar! Yang datang ini mungkin orang yang kita
tunggu-tunggu!”
Delapan biarawati menjura lagi lalu meninggalkan kamar Ketua
mereka. Supit Jagat, Ketua Biara memandang lagi ke jarum alat rahasia.
Jarum itu kini kelihatan diam tak bergerak-gerak, tapi sesaat kemudian
kelihatan bergerak lagi.
Kali ini ketua Biara itu segera membentak, “Tamu di atas atap,
silahkan turun unjukkan diri!”
Baru saja Supit Jagat berkata begini maka terdengarlah suara
menggemuruh! Atap dan langit-langit kamar amblas roboh! Diiringi oleh
suara tertawa bekakakan sesosok tubuh berjubah hitam melompat turun
dalam gerakan yang sangat enteng! Yang datang ternyata betul Pendekar
Pemetik Bunga!
“Ha... he... sungguh satu kehormatan dapat berkunjung ke Biaramu
ini, Supit Jagat!” .
Baru saja Pendekar Pemetik Bunga berkata demikian empat dinding
kamar amblas ke dalam lantai dan kini terbukalah satu ruangan besar.
Disetiap tepi ruangan berbaris dua lapis biarawati-biarawati angkatan tua
dan angkatan muda berseling-seling! Kesemuanya dengan pedang di
tangan!
“Hem...” Pendekar Pemetik Bunga memandang berkeliling. Tidak ada
bayangan rasa terkejut pada parasnya. “Rupanya sudah ada persiapan
untuk menyambut kedatanganku!” katanya.
Ketua Biara Pensuci Jagat tertawa mengekeh.
“Nama kotormu sudah lama kami dengar. Noda busuk yang kau
tebar di mana-mana sudah sejak lama hendak kami putus! Nyawa bejatmu
sudah sejak lama ingin kami kirim ke neraka jahanam! Tapi hari ini
agaknya kami tak perlu susah-susah turun tangan ke luar Biara! Malaekat
maut rupanya telah membawamu ke sin!!”
Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga rangkapkan tangan di muka
dada.
“Betapa indahnya susunan kata-katamu. Supit Jagat!” berkata
Pendekar Pemetik Bunga. “Tapi ketahuilah, aku datang ke sini bukan
dibawa oleh malaekat maut, sebaliknya justru mengantarkan malaekat
maut yang ingin cepat-cepat naerenggut nyawa kalian! Dan....” Pendekar
bertampang buas ini batuk-batuk beberapa kali. “Dan menyedihkan sekali,
rupanya hanya kroco-kroco tua macammu yang ditakdirkan mampus!
Biarawati-biarawati muda belia musti dihadiahkan untukku!”
“Kurasa matamu belum buta Pendekar Terkutuk!” sahut Supit Jagat.
“Belum buta untuk melihat orang-orangku yang berdiri, dalam satu barisan
maut, belum buta untuk melihat pedang-pedang yang melintang!”
“Aku memang tidak buta!” Pendekar Pemetik Bunga memandang lagi
berkeliling. “Tapi sebaiknya biarawati-biarawati muda itu tak usahlah ikut-
ikutan bertempur! Mereka akan mati percuma sebelum merasakan betapa
nikmatnya hidup di dunia ini! Betapa nikmatnya berada dalam pelukanku! Betapa nikmatnya tidur bersa....”
Sebilah pedang meluncur tepat di depan hidung Pendekar Pemetik
Bunga, membuat pemuda ini tersurut satu langkah dan terputus kata-
katanya!
“Apakah lidahmu kelu hingga tak bisa teruskan buka mulut?” ejek
Supit Jagat.
“Ketua Biara Pensuci Jagat! Kau adalah manusia yang musti mati
pertama kali di dalam gedung ini! Darahmu akan mensucikan lantai biara
ini!”
Habis berkata begitu Pendekar Pemetik Bunga buka gulungan sabuk
mutiara di pinggangnya sedang tenaga dalam dialirkan tiga perempat
bagiannya ke tangan kanan! Dua tangaa itupun kemudian bergerak dengan
serentak!
Pukulan”Tapak Jagat” menggebu dahsyat di barengi oleh gelombang
angin yang keluar dari sabuk mutiara! Gedung bergoncang, bumi laksana
dilanda lindu! Tapi disaat itu Ketua Biara Pensuci Jagat sudah berpindah
tempat dan dengan satu lengkingan keras dia memberi isyarat agar lima
puluh biarawati yang ada di ruangan itu segera menyerang!
Maka berkecamuklah pertempuran yang bukan olah-olah
dahsyatnya! Lima puluh pedang menderu! Satu-satunya lawan yang
diserang berkelebat ganas balas menyerang! Dan dalam setiap kelebatan
musti ada jatuh korban di pihak biarawati. Yang menemui ajalnya ini
justru biarawati-biarawati angkatan tua yang sudah berumur! Rupanya
Pendekar Pemetik Bunga benar-benar hanya akan menumpas biarawati-
biarawati tua sebaliknya membiarkan hidup biarawati-biarawati muda belia
untuk kemudian akan dilalap dirusak kehormatannya!
Ketika hampir separoh dari biarawati angkatan tua menemui ajalnya,
ketika lantai diruangan terbuka itu sudah licin dan amis oleh baunya
darah maka Supit Jagat segera membentak. Dia tak mau lebih banyak
jatuh korban dipihaknya! “Semuanya mundur!”
Perintah yang laksana geledek ini dipatuhi oleh setiap biarawati.
Semuanya mundur ke tepi dan di tengah ruangan besar itu kini hanya
Ketua Biara serta Pendekar Pemetik Bunga saja yang berdiri berhadap-
hadapan dalam jarak delapan tombak. Di lantai bertebaran belasan tubuh
biarawati-biarawati tua yang telah menemui ajalnya!
“Kebinatanganmu sudah lebih dari binatang! Kebejatanmu sudah
melewati batas! Kebiadabanmu seluas luatan! Dosamu setinggi gunung!
Segera keluarkan senjatamu, manusia terkutuk!”
Pendekar Pemetik Bunga menyeringai.
“Rupanya Ketua Biara sendiri yang hendak turun tangan?! Bagus!”
ujar Pendekar Pemetik Bunga. “Tapi kalau tadi aku dikeroyok puluhan
bergundal-bergundalmu aku hanya bertangan kosong, masakan
menghadapi kau seorang diri musti pakai senjata segala?!”
“Kau akan binasa bersama kecongkakanmu manusia dajal!” Marah
sekali Ketua Biara Pensuci Jagat itu. Maka pada saat itu juga
dikeluarkannya senjatanya yaitu seikat sapu lidi yang bernama Sapu Jagat,
warisan dari Ketua Biara yang terdahulu!
Melihat senjata yang dikeluarkan lawannya adalah seikat sapu lidi
maka Pendekar pemetik Bunga tertawa memingkal!
“Nenek Ketua, kau mau menyapu atau bertempur? Sapu lidi buruk
itukah senjatamu?! Lucu sekali... betul-betul lucu!” Supit Jagat maju tiga
langkah.
Tiba-tiba dia sapukan sapu lidinya ke arah lawan! Pendekar Pemetik
Bunga berseru kaget. Berubahlah parasnya! Angin yang ke luar dari sapu
lidi itu dahsyatnya laksana badai prahara, seperti menghancur leburkan
sekujur tubuhnya! Secepat kitat dia segera melompat ke samping sampai
empat tombak! Tapi Ketua Biara tidak kasih kesempatan, segera pula dia
memapas dengan senjatanya!
Ketika lima belas jurus dia terkurung rapat oleh sambaran Sapu
Jagat yang dahsyat itu, menggeramlah Pendekar Pemetik Bunga. Pukulan-
pukulan “Tapak Jagat” dan kebutan “Angin Pengap” tepi jubahnya sama
sekali tidak mempan menerobos gulungan angin sapu lidi lawan!
Pada jurus kedua puluh satu Pendekar Pemetik Bunga memekik
tertahan sewaktu ujung sapu menyerempet dadanya dan membuat jubah
hitamnya robek besar!
Tidak tunggu lebih lama Pendekar Pemetik Bunga segera cabut
kembang kertas kuning yang menancap di kepalanya. “Semua tutup jalan
nafas atau ke luar dari sini!” teriak Supit Jagat karena dia maklum bahwa
kembang kertas itu mengandung racun yang sangat dahsyat! Biarawati-
biarawati angkatan muda segera tinggalkan ruangan sedang biarawati-
biarawati angkatan tua tetap di tempat.
Pertempuran kini telah berjalan tiga puluh empat jurus dan yang
memengkalkan Pendekar Pemetik Bunga ialah racun kuning yang setiap
detik menggebu ke luar dari bunga kertasnya sama sekali tidak sanggup
menerobos angin sapu lidi sang ketua Biara malahan kalau dia tidak
berhati-hati, racun bunga kertas itu sering kali dihantam membalik ke
dirinya sendiri!
Di saat pertempuran berjalan semakin dahsyat, di saat tubuh kedua
orang itu hanya merupakan bayang-bayang yang dibungkus oleh sinar
kuning serta lingkaran-lingkaran angin Sapu Jagat maka tiba-tiba
terdengarlah suara siulan siulan nyaring yang tak menentu yang kemudian
disusul oleh suara nyanyian seseorang!
Hanya biarawati-biarawati di tepi kalangan pertempuran yang berani
mendongak ke atas, ke arah datangnya suara nyanyian itu sedang mereka
yang bertempur meskipun hati masing-masing tercekat mendengar
nyanyian ini namun tiada berani palingkan muka!
Anak laki-laki hamil dalam perut perempuan
Itu namanya anugerah Tuhan
Anak laki-laki lahir dari rahim perempuan
Itu namanya kuasa Tuhan
Anak laki-laki dibesarkan perempuan
Itu namanya kasih sayang
Laki membunuh perempuan
Itu namanya dosa besar
Laki-laki memperkosa perempuan
Itu namanya terkutuk
Menuntut ilmu buat kebaikan
Itu namanya bijaksana
Menuntut ilmu buat kejahatan
Itu namanya kesetanan
Dua tahun turun gunung
Malang melintang kelantang keluntung
Di timur membunuh
Di barat memperkosa
Di selatan membunuh dan memperkosa
Di utara memperkosa dan membunuh
Dosa setinggi gunung
Dosa di mana-mana
Kejahatan sedalam lautan
Kejahatan dimana-mana
Guru sendiri turun gunung
Dibunuh dengan kepala dingin
Itu namanya laknat kualat
Pendekar Pemetik Bunga yang merasa bahwa nyanyian itu ditujukan
kepadanya mengerling sekilas dan di atas loteng yang bobol dari mana dia
menerobos masuk tadi dilihatnya dua orang duduk berjuntai di atas tiang
palang. Yang seorang laki-laki berpakaian putih, dialah yang menyanyi tadi.
Yang seorang lagi gadis cantik berpakaian kuning!
Biarawati-biarawati yang ada di tepi ruangan yang juga melihat ke
atas loteng segera mengenali pemuda yang bernyanyi itu yakni bukan lain
daripada Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212! Karenanya
mereka tidak ambil perduli. Sementara itu dari kalangan pertempuran
terdengar lagi pekik Pendekar Pemetik Bunga. Ujung Sapu Jagat telah
melanda untuk kedua kalinya bagian dada, sehingga jubah yang sudah
robek kini robek tambah besar. Kulit dada pemuda itu sendiri kelihatan
tergurat merah, sakitnya bukan main!
Di atas loteng Sekar yanp sudah sejak tadi tak dapat menahan
melompat turun, tapi lengannya dicekal erat-erat oleh Wiro Sableng.
“Jangan bodoh! Jika kau mengetengahi pertempuran itu salah-salah
kau bisa kena gebuk sapu Ketua Biara atau kena tersambar racun jahat
bunga kertas Pendekar Pemetik Bunga!”
“Aku tidak takut mati! Biar mati asalkan pemuda terkutuk itu
mampus ditanganku!”
Sekar hendak melompat lagi tapi lengannya tetap dicekal Pendekar
212 dan Wiro tak perdulikan rutukan yang dikeluarkan gadis itu.
“Lihat saja dulu, Sekar! Sekarang belum saatnya kita turun tangan!”
'Tapi kalau bangsat itu mampus di tangan Ketua Biara. Aku akan
menyesal percuma seumur hidup!”
Wiro tertawa.
“Pendekar Terkutuk itu belum keluarkan ilmu simpanannya,
jangankan si Ketua, guru Ketua Biara itupun tak bakal sanggup
menghadapinya!”
Sekar ingat akan ucapan Empu Tumapel yaitu tentang ilmu “Jari
Penghancur Sukma” yang dimiliki Pendekar Pemetik Bunga! Karenanya dia
terpaksa ikuti nasihat Wiro dan tetap duduk di samping pemuda itu di atas
loteng.