Sebelumnya...
Gadis berbaju kuning ringkas itu menghentikan larinya di tepi kali berair jernih dengan batu-batu besar di tengah-tengahnya bertebaran laksana pulau-pulau kecil. Disibakkannya rambutnya yang mengurai di kening dan disekanya keringat yang membasahi kuduknya. Dihelanya nafas dalam, nafas yang ditarik dengan disertai rasa keputusasaan dan kegemasan!
Dua hari yang lalu dia sudah berhasil menemui jejak manusia yang
dicarinya. Kemarin dia bahkan telah menguntit manusia itu tapi hari ini,
sesampainya di tepi kali itu, bayangan manusia yang dikejarnya kembali
lenyap laksana ditelan bumi, laksana amblas masuk ke dalam kali!
Penuh letih akhirnya gadis ini dudukkan diri di tepi kali, di atas
sebuah batu hitam. Dia memandang ke hulu sungai. Satu pemandangan
yang indah untuk disaksikan. Sementara itu angin bertiup pula sepoi-sepoi
basah. Di luar sepengetahuan gadis berbaju kuning ini, menyelam antara
kelihatan dan tidak, berenang seekor ular kali sebesar lengan. Kaki-kaki si
gadis yang berkulit putih mulus dan bagus, yang sebagiannya masuk ke
dalam air, itulah yang telah menarik perhatian sang ular dan membuatnya
segera berenang ke arah mangsanya ini!
Setengah langkah ular itu berada dari kedua kakinya, barulah si
gadis sadar. Cepat dia tarik kedua kaki dari dalam air. Sang ular dengan
ganas terus mengejar naik ke atas batu. Tapi nasibnya malang. Kali ini
gadis baju kuning pergunakan kaki kirinya untuk menendang!
Binatang itu mencelat mental. Kepalanya hancur. Tubuhnya
menggelepar-gelepar seketika lalu mati dan dihanyutkan arus sungai.
Gadis baju kuning itu berumur sekitar 19 tahun. Sepasang matanya
bening dan jeli. Parasnya bujur telur dan ayu, tak membosankan untuk
dipandang. Di atas sepasang matanya yang bening jeli itu berpeta dua buah
alis laksana bulan sabit bagusnya!
Namun di balik keayunan paras itu, di belakang kejelitaan wajah itu
samar-samar kelihatan satu rasa duka derita yang berpaut dengan rasa
dendam kesumat!
Lima hari yang lalu dia masih berada di Goa Blabakan. Dan hari itu
dia berhadap-hadapan dengan gurunya. “Empu, murid minta diizinkan
untuk meninggalkan pertapaan untuk beberapa waktu...”
Empu Tumapel memandangi paras muridnya beberapa lama.
“Pelajaran yang kuberikan padamu masih belum selesai, Sekar,” berkata
sang guru, “Kau ingat bahwa lima tahun lagi baru kau boleh meninggalkan
Goa Blabakan ini?”
“Murid ingat, guru. Murid tidak lupa,” sahut Sekar. “Tapi kabar yang
murid terima dari orang desa yang datang kemarin siang.... Guru tentu
dapat memakluminya.”
Dan gadis itu menyeka air mata yang meleleh dipipinya. “Aku tidak
mengajarkan kau menangis, Sekar! Aku mengajarkan kau ilmu silat, Ilmu
kesaktian, ilmu bathin, Ilmu menguatkan jiwa, lahir dan bathin! Bukan
Ilmu menangis!” Sekar seka lagi sisa-sisa air matanya dan hentikan tangis.
“Murid tahu, guru. Tapi guru juga musti maklum. Ayahku dibunuh. Ibuku
dan adik perempuanku diperkosa lalu dibunuh! Dapatkah hati seorang
perempuan menghadapi semua ini tanpa air mata? Dan karena peristiwa
itulah murid minta izin kepada guru untuk meninggalkan pertapaan ini
beberapa lamanya guna mencari manusia terkutuk itu!”
Empu Tumapel merenung dan setelah menghela nafas dalam diapun
berkata, “Sekalipun kuizinkan padamu pergi, sekalipun kau bertemu
dengan manusia itu, belum tentu kau berhasil menghadapinya Sekar.
Belum tentu kau dapat membalaskan sakit hati dan dendam kesumatmu!”
'°Murid tahu, manusia itu sakti luar biasa! Tapi demi menuntut
kebenaran, demi arwah orang tua dan adikku, dengan doa restu guru
serta pertolongan Tuhan, murid yakin murid akan sanggup
menghadapinya! Tapi guru, apakah ilmu meskipun sakti luar biasa
jika dipergunakan untuk kejahatan akan sanggup menghadapi
kebenaran dan kekuatannya Tuhan?!”
Empu Tumapel yang berumur enam puluh tahun terdiam oleh
ucapan muridnya itu.
“Kau akan mati percuma di tangan manusia itu, Sekar,” katanya
setelah berdiam diri beberapa lama.
“Tidak, guru. Sekalipun aku mati, aku akan mati dengan puas.
Puas karena aku telah membela keadilan, menghancurkan kejahatan.
Aku akan mati syahid guru!”
“Baik... baiklah muridku,” kata Empu Tumapel. Dibelainya
kepala muridnya itu. Dan dalam jubahnya dikeluarkan seuntai rantai
baja yang panjangnya dua meter. Pada ujung rantai baja ini terdapat
sebuah bola baja berduri. Keseluruhan senjata ini memancarkan sinar
putih dan hawa dingin tanda senjata itu bukan senjata sembarangan.
“Kuizinkan kua pergi, Sekar. Dan bawalah senjata Rantai Petaka
Bumi ini. Mudah-mudahan kau berhasil...”
Sekar berlutut di hadapan gurunya.
“Terima kasih guru... Terima kasih guru juga mempercayakan
dan meminjamkan senjata ini padaku....”
Lamunan tentang saat lima hari itu serta merta buyar sewaktu
dari hulu sungai Sekar, si gadis berbaju kuning, melihat sesosok
bayangan putih berlari cepat di atas kali, hanya sekali-sekali kakinya
menjejak batu-batu yang banyak bertebaran di atas kali.
Cepat Sekar berdiri dan menunggu penuh waspada. Orang yang
berlari hentikan larinya dan berdiri di atas sebuah batu besar sejarak
satu-dua meter di hadapan gadis itu.
“Eh, saudari, kau berada sendiri di tepi kali ini, ada apakah?!”
Sekar menatap paras pemuda yang tampan itu. Sewaktu dia
memperhatikan rambut gondrong yang menjela sampai ke bahu si
pemuda, berdetak hatinya! Bukan tidak mustahil manusia ini adalah
Pendekar Pemetik Bunga yang tengah dicarinya dan kini telah bertukar
pakaian. Dia sendiri memang tidak pernah melihat jelas tampang
Pendekar Terkutuk itu!
Menimbang begini. Sekar segera keluarkan “Rantai Petaka Bum!”
dari balik pakaiannya, terus menyerang dengan ganas! Si pemuda
terkejut!
“Gila betul! Ditanya baik-baik dijawab dengan serangan!” Cepat-
cepat dia menghindar. Angin dingin menyambar tubuhnya sewaktu
Rantai Petaka Bumi lewat di depan dadanya!
“Saudari, itu senjata sakti! Jangan dibuat main-main!”
“Tutup mulut! Justru dengan senjata inilah akan kuhancurkan
kepalamu pemuda bejat!”
Si pemuda keluarkan siulan dan tertawa gelak-gelak. Inilah ciri-
ciri khas dari pendekar yang tak asing lagi yaitu Wiro Sableng si
Pendekar 212!
“Kenal belum, ketemupun baru kali ini sudah bisa me-
nyumpahiku pemuda bejat! Kau mimpi atau apa?!”
“Keparat, terima kematianmu dalam tiga jurus!”
Sekar menyerang dengan dahsyat. Rantai Petaka Bumi menyapu
dengan mengeluarkan suara dahsyat laksana halilintar, menebarkan
angin laksana topan hingga air kali bermuncratan dan batu-batu kali
yang tersambar bola baja berduri itu hancur berantakan!
“Saudari!” seru Wiro Sableng. “Kau ini main-main atau
bagaimana?” Pemuda ini terpaksa jungkir balik di atas kali
menghindari serangan senjata lawan yang dahsyat. Dan sebelum
kedua kakinya menjejak disalah satu batu kali. Rantai Petaka Bumi itu
sudah menyapu lagi ke arah kakinya!
“Hebat!” seru Wiro Sableng benar-benar kagum.
“Ya, hebat! Memang hebat! Sebentar lagi kepalamu akan dibikin
hebat oleh bola baja berduri ini!” tukas Sekar.
Wiro Sableng terpaksa jungkir balik sekali lagi. Seorang yang
memiliki ilmu mengentengi tubuh sempurna biasa saja pasti tak akan
sanggup melakukan dua kali jungkir balik itu. Tapi Pendekar 212 ilmu
mengentengi tubuhnya sudah lebih tinggi dari kesempurnaan!
Si gadis melihat serangannya melanda angin kosong jadi penasaran
sekali. Saat itu jurus kedua. Tanpa tedeng aling-aling dia melompat ke
muka lebih dekat pada si pemuda dan putar Rantai Petaka Bumi dengan
jurus “Bumi Dilanda Lindu!”
Jurus ini memang hebat luar biasa, padahal si gadis baru mewarisi
setengahnya saja dari gurunya! Karena tak ingin melawan dan karena tak
mau membuat si gadis cilaka, lagi pula merasa tidak ada permusuhan apa-
apa, maka Wiro Sableng sejak tadi hanya mengelak, sekalipun tak balas
menyerang. Gesit sekali Pendekar dari Gunung Gede ini melompat ke tepi
kali.
“Saudari harap tahan dulu seranganmu!”
“Jangan banyak rewel Pendekar Terkutuk Pemetik Bungai Kau tetap
musti kubunuh! Arwah orang tua dan adikku tak akan tenang di alam baka
sebelum nyawa anjingmu kurenggut dari tubuh keparatmu!” Lantas si
gadis melompat pula ke tepi kali.
“Hai! Kalau begitu kau salah duga, gadis baju kuning!” kata Wiro
Sableng pula. “Aku bukannya Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga!”
“Tak perlu dusta! Kau kira bisa selamat dengan jual mutut begitu
rupa?!”
“Aku tidak dusta! Apa kau pernah lihat aku memetik bunga dan
bunga apa? Bunga matahari atau bunga mawar atau....”
“Bunga bola baja kematianmu ini, laknat!” sentak Sekar. Dan
kembali dia menyerang secara ganas.
Pendekar kita terpaksa mengelak lagi dan lompat ke cabang sebatang
pohon.
“Kalau keliwat kesusu bisa tidak beres saudari. Aku masih belum
habis bicara! Kuharap kau suka simpan itu senjata dan mari kita bicara
baik-baik...”
Bukannya si gadis baju kuning simpan senjata meiainkan bola baja
berduri itu diluncurkannya ke batang pohon di atas mana Wiro Sableng
berada.
“Kraak!”
Batang pohon hancur dan tumbang. Pendekar 212 sendiri sudah
lompat ke pohon yang lain!
Gemas sekali Sekar segera melompat ke pohon itu! Dan di atas
cabang pohon yang tak seberapa besar itu maka kini terjadilah
pertempuran yang seru! Namun Wiro Sableng tetap tidak mengadakan
perlawanan atau balas menyerang. Ini membuat si gadis jadi penasaran.
“Ayo, pemuda keparat! Kenapa diam saja?! Apa nyalimu sudah
lumer?! Keluarkan senjatamu!”
Lama-lama diserang gencar demikian rupa Wiro Sableng kewalahan
juga. Dia Iompat ke bawah. Sekar sebatkan rantai baja ke pinggang si
pemuda. Dengan gesit Wiro Sabieng mengelak kesamping lalu gerakkan
tangan kanannya!
Sekar terpelanting dari cabang pohon akibat betotan Wiro Sableng
pada rantai bajanya. Ketika dia turun ke tanah dengan jungkir balik,
Rantai Petaka Bumi sudah berada di tangan Wiro Sableng!
“Kembalikan senjataku!” teriak Sekar.
Wiro Sableng tertawa dan bersiul-siul. Rantai baja yang panjangnya
dua meter itu dililitkannya di pinggangnya. Lalu dengan bertolak pinggang
dia berkata. “Silahkan ambil sendiri, nona manis!”
Tiada terkirakan geramnya murid Empu Tumapel itu. Tapi dasar
bernyali besar, dengan tangan kosong dis menerkam ke muka dan
lancarkan satu jurus aneh bernama “Kabut Pagi Menelan Embun.”
Jurus ini dilakukan dengan gerakan yang sangat cepat hingga waktu
menyerang itu tubuh Sekar lenyap laksana kabut tipis! Tapi mata Pendekar
Sakti 212 tak dapat ditipu. Betapapun cepatnya gerakan lawan namun
dalam kelebatan itu masih sanggup dilihatnya bagaimana kedua tangan
lawan terkembang hendak mencengkeram muka sedang sepasang kaki
menendang ke dada dan ke selangkangan!
Murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede itu dengan gerakan
kilat miringkan tubuhnya ke samping. Sewaktu tumit lawan masih akan
menyerempet pinggulnya dengan cepat di tangkapnya ujung kaki si gadis
dan dibantingkan ke atas! Sekar jungkir balik di udara! tapi jatuhnya tetap
berdiri! Hidung gadis ini kembang kempis. Mukanya merah kelam karena
marah! Hatinya geram karena sadar tiada akan sanggup menghadapi
pemuda yang sangat tinggi ilmu silatnya itu!
“Kau letih eh?!”
“Diam!” lengking Sekar.
“Saudari, dalam hidup ini, dalam segala hal manusia itu tidak boleh
serba kesusu....”
“Jangan jual kentut!”
“Juga jangan suka lekas marah penasaran....”
“Diam!” teriak Sekar hingga suaranya menggema diseantero kali.
Si pemuda tertawa dan geleng-gelengkan kepala. Dia berpikir
bagaimana caranya menghadapi gadis galak macam yang satu ini.
Tiba-tiba dia dapat akal.
“Saudari, kalau kau tetap keras kepala tak bisa bicara baik-baik aku
akan pergi dari sini dan larikan senjatamu!”
“Ke ujung bumipun kau lari aku akan kejar!”
Wiro Sableng angkat bahu dan garuk-garuk kepala!
“Tak pernah aku ketemu gadis yang keras kepala dan tak mau
mengerti macammu ini, saudari!”
“Kembalikan senjataku”
“Aku akan kembalikan. Tapi kalau kau pergunakan lagi untuk
menyerangku...?”
“Kau tahu itu senjata milik, siapa?”
“Aku tidak tanya!”
Sekar memaki-maki!
“Kalau guruku Empu Tumapel tahu senjatanya dibuat main dan
dihina, pasti nyawamu yang cuma selembar tak akan aman'“
“Heh... jadi kau muridnya Empu Tumapel?! Akh... orang tua itu adalah
kawan main kelerengku sewaktu masih kecil. Dan kau tahu, dia suka main
curang. He.... He... he...!”
Marahlah Sekar. Dia menyerbu dengan kerahkan seluruh bagian
tenaga dalamnya ke lengan. Tapi kali ini Wiro Sableng tidak tinggal diam.
Lebih cepat dari serangan si gadis baju kuning, lebih cepat pula sepasang jari telunjuknya menotok jalan darah di tubuh si gadis! Maka mematunglah
Sekar, tapi telinga masih bisa mendengar dan mulut masih bisa bicara! Wiro
Sablang tertawa cengar cengir.
“Sebetulnya aku tidak punya waktu banyak, tapi kau bikin
perjalananku terhalang! Menyerang membabi buta tanpa alasan....”
“Diam! Lekas lepaskan totokan ini!”
“Sabar gadis manis! Kalau kau marah dan membentak begitu parasmu
makin cantik, tahu...?!”
Wajah Sekar bersemu merah.
“Kau menyangka bahkan menuduh aku tetah membunuh orang tua
serta adikmu! Apakah kau punya alasan? Punya bukti!”
Sekar diam.
“Kau bilang aku Pendekar Pemetik Bunga! Kau yakin betul?!”
Sekar tetap diam Wiro Sableng tertawa.
“Dengar saudari, semua tuduhanmu salah belaka! Justru aku tengah
dalam perjalanan mencari manusia yang bergelar Pendekar Pemetik Bunga
itu.”
“Kau dusta!” tukas Sekar.
“Terserah. Tapi aku tak punya waktu lama melayanimu! Pertumpahan
darah akan segera terjadi di Biara Pensuci Jagat! Aku tak boleh terlambat!”
“Kembalikan dulu senjataku dan lepaskan totokan ini!” Wiro
Sableng buka lilitan Rentai Petaka Bumi dari pinggangnya. Dilepaskannya
totokan di tubuh Sekar lalu diserahkan rantai baja itu kepada si gadis
kemudian segera balikkan tubuh.
“Tunggu!” seru Sekar.
Wiro Sableng hentikan langkah.
“Tadi kau bilang bahwa kau dalam perjalanan mencari Pendekar
Terkutuk Pemetik Bunga. Apa kau tahu di mana manusia itu berada...?”
“Tahu atau tidak tahu memangnya kenapa?!”
“Aku juga punya urusan yang harus diselesaikan dengan manusia
bejat itu....”
“Ya, kau sudah bilang tadi. Jadi maksudmu mau sama-sama
seperjalanan dengan aku heh?!”
Untuk kesekian kalinya paras si gadis jadi bersemu merah.
“Kuharap kau jangan bicara keliwat kurang ajar, saudara!” bentak Sekar.
“Sudahlah, kita tak banyak waktu! Kalau mau sama-sama memburu
itu manusia biang racun penimbul bahala, lekaslah!”
“Kau jalan duluan,” kata Sekar yang hatinya masih bimbang dan
bercuriga terhadap si pemuda. Dia khawatir kalau Wiro Sableng adalah
benar-benar Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga yang hendak menipunya.
“Tak perlu tanya! Jalanlah!”
Pendekar 212 bersiul dan pencongkan hidungnya. Sekali dia
berkelebat maka tubuhnya sudah melompat lima tombak ke muka. Sekar
tidak tinggal diam, segera pula dia kerahkan ilmu larinya untuk mengikuti
Wiro Sableng.
Bersambung...