Sebelumnya...
Si pemuda memandang berkeliling ruangan dengan kerenyitkan kulit kening. “Apa-apaan ini?!” tanyanya membentak. “Jika kau tidak mengaku bahwa kau adalah Pendekar Pemetik Bunga sendiri, jangan harap kau bisa keluar hidup-hidup dari sini!” hardik Ketua
Biara Pensuci Jagat.
“Eeeeee... kenapa memaksa aku yang bukan-bukan?!”
“Jangan banyak bacot! Mengaku atau mampus?!” Yang membentak
kali ini adalah Biarawati Lima.
Si pemuda geleng-geleng kepala. “Tidak sangka biarawati-biarawati
yang berhati suci jujur bisa bicara membentak dan galak, serta agak kotor!”
Biarawati Lima melompat ke muka. Pedangnya diacungkan tepat-
tepat ke arah hidung si pemuda. Dia berpaling pada Supit Jagat. “Ketua,
tunggu apa lagi?!”
“Pemuda, kau sungguh tidak mau mengaku diri?!” bertanya Ketua
Biara Pensuci Jagat.
“Kalau aku tidak mengaku, aku mau dibikin mampus! Kalau aku
mengaku bahwa aku Pendekar Pemetik Bunga, seribu kali lebih mampus!
Kuharap kalian semua suka berpikir pakai otak dan jangan galak-galakan!
Tak ada perlunya! Kalau aku Pendekar Pemetik Bunga sudah sejak tadi
terjadi kemesuman di ruangan ini!”
Ketua Biara Pensuci Jagat menimbang ucapan si pemuda. Memang
betul juga, kalau pemuda ini adalah Pendekar Pemetik Bunga tentu sudah
sejak tadi terjadi hal-hal yang mengerikan!
“Sekarang, apakah kalian mau memberi jalan padaku untuk keluar
dari sini?!” terdengar si pemuda bertanya.
“Sebelum kau terangkan siapa kau punya nama, berasal dari mana
dan juga terangkan gelarmu, baru kami akan izinkan kau berlalu dari sini!”
kata Supit Jagat pula.
Pemuda itu garuk-garuk kepalanya. Tiba-tiba meledaklah
tertawanya! Lantai, dinding, langit-langit den tiang ruangan bergetar oleh
kumandang tertawanya yang panjang ini. Setiap hati manusia yang ada di
situ, termasuk Ketua Biara Pensuci Jagat sendiri ikut tergetar oleh
kehebatan suara tertawa si pemudal “Kenapa kau tertawa?!” bentak Ketua Biara Pensuci Jagat.
“Siapa yang tidak bakal geli dan ketawa!” menyahut si pemuda.
“Mula-mula kalian tanya siapa aku? Siapa namaku. Siapa gelarku den
sekarang tanya aku berasal dari mana atau tinggal di mana?! Persis
pertanyaan-pertanyaan begitu macam muda mudi yang sedang pacar-
pacaran!”
Merahlah pares Ketua Biara Pensuci Jagat.
“Tak dapat dihindarkan lagi bahwa lantai ruangan ini akan basah
oleh darahmu, pemuda bermulut kurang ajar!” teriak sang Ketua. Dia
gerakkan tangan memberi isyarat. Dan selangkah demi setangkah, seratus
biarawati dari angkatan tua dan muda, dengan pedang ditangan masing-
masing, maju mendekati si pemuda!
Gilanya pemuda itu masih juga berdiri tertawa-tawa di tengah
ruangan, memandang berkeliling dan garuk-garuk rambutnya yang
gondrong!
Tiba-tiba seratus pekikkan laksana guntur yang hendak
meruntuhkan gedung biara itu berkumandang! Seratus pedang berkiblat!
“Buset!” Si pemuda membentak tak kalah nyaring. Diiringi dengan
suitan yang memekakkan telinga dia melompat tinggi-tinggi ke atas,
kepalanya hampir menyundul langit-langit. Dalam tubuh mengapung
begitu rupa pemuda ini berseru, “Ketua, harap kau sudi hentikan
serangan ini dulu!”
“Serang terus!” sebaliknya Ketua Biara Pensuci Jagat berteriak.
“Aku tak mau kesalahan. tangan dan cari permusuhan dengan
kalian! Kita adalah sama-sama satu golongan!”
“Jangan ngaco!” tukas Biarawati Lima.
“Ketua Biara, aku betul-betul tidak mau bikin cilaka orang--
orangmu!” berseru lagi si pemuda.
Tapi sang Ketua Biara tak mau ambil perduli malah membentak
lebih keras agar orang-orangnya menggempur pemuda itu. Puluhan
biarawati melesat ke atas, puluhan pedang berkelebat!
Pemuda itu menggerendeng dalam hatinya. Kedua telapak
tangannya dikembangkan dengan cepat kemudian dipukulkan ke bawah!
Maka angin dahsyat laksana topan menderu ke bawah memapasi
serangan-serangan lawan. Betapapun puluhan biarawati-biarawati itu
bersikeras menyerbu ke atas dan kerahkan tenaga dalam serta ilmu
meringankan tubuh mereka namun tiada berhasil. Mereka laksana
tertahan oleh satu dinding baja yang tak kelihatan. setiap mereka melesat
ke atas, tubuh mereka kembali mental ke bawah berpelantingan, banyak
yang mendeprok jatuh duduk!
Heranlah sang Ketua Biara Pensuci Jagat menyaksikan hal ini. Ilmu
apakah gerangan yang dimiliki pemuda itu, demikian dia membathin.
Melihat betapa orang-orangnya mengalarni kesia-siaan, tiada hasil
melakukan serangan mereka maka Supit Jagat sendiri segera turun dari
mimbar dan berseru, “Pemuda, turunlah! Hadapi aku!”
“Ah... Ketua Biara, sungguh satu kehormatan yang kau sendiri juga
mau turun tangan pada budak hina ini,” dan sementara itu sepasang
mata si pemuda melirik ke pintu di ujung kanan yang kini tiada terjaga
lagi karena keseluruhan biara di ruangan itu ambil bagian menyerangnya.
“Tapi,” melanjutkan si pemuda sementara kedua telapak tangannya
masih terus juga dipukulkan berkali-kali ke bawah memapasi serangan-
serangan lawan, “harap maaf, saat ini aku tidak punya kesempatan untuk
main-main dengan kau! Lagi pula aku anggap kita semua ini adalah orang
satu golongan! Sampai jumpa Ketua Biara!”
Pemuda itu melompat ke samping lalu menukik ke arah pintu.
Penasaran sekali Ketua Biara Pensuci Jagat lepaskan satu pukulan jarak
jauh yang dahsyat!
“Braak!”
Sebagian tiang pintu yang besarnya lebih dari sepemeluk tangan
hancur lebur.
Tapi si pemuda sudah lenyap!
“Kejar!” teriak Supit Jagat. “Kita musti tangkap manusia itu hidup
atau mati!”
Maka ruangan besar itupun kosong melomponglah kini. Semua
biarawati termasuk Supit Jagat rnenghambur ke luar. Seluruh halaman
diperiksa. Pintu gerbang dibuka dan belasan biarawati mengejar keluar dan
belasan iainnya melompat ke atas atap, namun si pemuda lenyap tiada
bekas!
Supit Jagat memerintahkan orang-orangnya untuk kembali masuk ke
dalam Biara. Dan waktu mereka memasuki ruangan pertemuan tadi,
semuanyapun terkejutlah!
Di lantai ruangan, dikursi-kursi dan di beberapa bagian dinding
ruangan sebelah bawah bertebaran puluhan deretan angka 212.
“Dua satu. Dua!” desis Supit Jagat. Ketua Biara Pensuci Jagat ini
memandang biarawati-biarawati angkatan tua. Ya, hanya mereka yang
seumur dengan dialah yang mengerti apa arti angka 212 itu sedang
biarawati-biarawati angkatan muda hanya melongo tak mengerti!
Ketua Biara Pensuci Jagat memberi isyarat pada kira-kira sepuluh
orang biarawati angkatan tua agar mengikutinya masuk ke dalam sebuah
kamar.
Ketua Biara ini duduk di kursi goyang yang dulu menjadi kursi
kesayangan Ketua mereka yang telah meninggal dunia. “Sekarang kita
sudah tahu siapa adanya pemuda itu,” berkata Supit Jagat. “Dia bukan
lain dari Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, murid Eyang
Sinto Gendeng dipuncak gunung Gede yang menurut guru kita tempo hari
merupakan kawan baiknya!”
“Kalau begitu,” menyela Biarawati Lima yang bertubuh gemuk
pendek dan yang tadi paling gemas terhadap pemuda itu, “keterangan yang
diberikannya bukan omong kosong belaka!”
“Betul!” Supit Jagat anggukkan kepala.
“Kalau dia memang golongan kita sendiri, sama-sama golongan
putih,” kata Biarawati Sembilan. “Kenapa tidak siang-siang dia terangkan
diri...?!”
“Pemuda itu memang aneh,” menyahut Ketua Biara Pensuci Jagat.
“Kadang-kadang orang menganggapnya pemuda gila, edan kurang ingatan!
Kalau kalian kenal pada gurunya, gurunya Eyang Sinto Gendeng itu lebih
gila lagi! Gila dan edan, bicara seenaknya! Bahkan dalam bertempur
menyabung nyawapun dia tertawa-tawa atau bersiul-siul seperti yang
kalian lihat tadi! Sinto Gendeng ataupun muridnya yang tadi memang
bukan orang-orang yang suka agul-agulkan nama atau obral gelar di mana-
mana. Kurasa itulah sebabnya pemuda tadi tidak mau kasih keterangan
siapa dia sebenarnya!”
Sunyi beberapa lamanya.
“Ketua, bagusnya kita segera bersiap-siap menjaga segala
kemungkinan atas datangnya Pendekar Pemetik Bunga itu!”
“Ya. Biarawati Satu, kau atur semuanya. Perketat penjagaan! Tambah
alat-alat rahasia di sekitar tembok dan pintu gerbang!”
“Perintah akan kami jalankan, Ketua,” sahut Biarawati Satu, lalu
bersama kawan-kawannya yang lain segera meninggalkan tempat itu
setelah terlebih dahulu menjura memberi hormat.
Sementara itu dua orang biarawati muda yang kelelahan mencari-cari
Wiro Sableng di luar tembok halaman dan yang bekerjadi bagian dapur
biara segera langsung menuju ke bagian dapur itu. Sesudah minum
melepaskan dahaga mereka bermaksud akan meneruskan pekerjaan
mereka sehari-hari di dapur. Namun betapa terkejutnya kedua
biarawati sewaktu masuk ke dalam dapur, mereka mendapatkan
seorang pemuda yang bukan lain Wiro Sableng Pendekar Maut Naga
Geni 212 tengah duduk di sebuah kursi dengan angkat kaki dan
melahap nasi! Asyik makan dan menggeragoti paha ayam goreng sisa
malam tadi!
Segera keduanya hendak berteriak. “Ssst…” .
Wiro Sableng letakkan jari telunjuknya di atas kedua bibirnya
sedang mulutnya saat itu menggembung penuh nasi. Tapi mana dua
biarawati tak mau berdiam diri. Keduanya sama hendak berteriak lagi
dan menghambur dari dapur. Wiro tak dapat berbuat lain. Dia
hantamkan dua jari tangan kanannya ke muka! Dengan serta merta
tubuh kedua biarawati itu berhenti mematung, mulut mereka yang
tadi hendak berteriak terbuka lebar-lebar tapi tak satu suarapun yang
keluar!
Itulah ilmu totokan jarak jauh yang lihay sekali telah dilepaskan
oleh murid Eyang Sinto Gendeng! Dan selanjutnya seperti tak ada
kejadian apa-apa, seperti dirumahnya sendiri Wiro Sableng
meneruskan melahap makanannya! Selesai makan dan meneguk air,
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 ini segera tinggalkan dapur itu.
Sewaktu empat orang biarawati yang juga bekerja di dapur
memasuki dapur, keempatnya terkejut mendapatkan dua kawan
mereka berdiri tak bergerak sedang mulut menganga. Nyatalah mereka
telah ditotok. Segera totokan itu dilepaskan.
“Siapa yang menotok kalian?!”
“Pemuda itu!”
“Maksudmu Wiro Sableng?! Pendekar 212?!”
“Ya!” sahut yang seorang.
Yang seorang lagi memberi keterangan, “Kami haus dan mau
minum lalu melanjutkan tugas sehari-hari. Tahu-tahu pemuda itu
sudah nongkrong di kursi sana, melahap nasi dan makan daging
ayam!”
“Pantas dicari-cari di luar gedung tidak ada! tak tahunya
nongkrong di dapur! Pemuda lapar!”
Ketika hal itu dilaporkan kepada Ketua Biara Pensuci Jagat
mula-mula dalam terkejutnya Supit Jagat setengah tak percaya.
Namun kemudian tiba-tiba meledaklah suara tertawanya. Biarawati-
biarawati yang datang melapor itupun akhirnya ikut-ikutan pula
tertawa!
Bersambung...