Sebelumnya...
Lalu terus saja dibelainya tubuh isterinya agar wanita itu ketagihan dengan rasa birahi dan memanglah usahanya mendekati hasil. Ki Senik meronta dengan dengus nafasnya yang deras, memeluk Ki Rotan secara membabi buta, tapi Ki Rotan mendorong tubuh isterinya sehingga jatuh lagi ke sampingnya.
“Berikan satu rahasia itu”, kata Ki Rotan.
“Tapi penuhi keinginankul” kata Ki Senik.
“Tentu”.
“Kau sertakan saya ikut kesana ?” tanya Ki Senik.
“Itu soal mudah. Sebutkan dulu rahasianya!”
“Rahasianya di ... Lembah Tujuh Bidadari”. ujar Ki Senik yang terus menerkam tubuh suaminya dan menyerangnya dengan beringas sampai tercapailah kebutuhan indahnya akan persetubuhan.
Sepuas apa yang dia butuhi itu, dengan bermandi peluh dia pun tergelimpang di samping suaminya bagai seorang yang pingsan. Dia barusan terjaga dari tidur pulasnya, ketika cahaya matahari memasuki celah dinding nipah. Tapi ketika dia meraih pakaiannya, segera dia sadari, bahwa kenikmatannya semalam sudah dikhianati oleh sumpah yang dilanggar, dia meraba perutnya, dan yakin bahwa dia akan hamil sebagai akibat kepuasannya semalam. Ah, ketika dia mencari-cari suaminya, Ki Rotan sudah tak ada lagi. Ki Rotan sudah meninggalkan Bukit Tunggal, bahkan sudah terlibat dengan pergumulan menyeberangi sungai Selawi yang airnya buas akibat banjir.
KI ROTAN sebenarnya sudah hampir dapat meraih akar pohon ganjuling, namun dia lepas lagi. Lalu tubuhnya membentur satu batu besar, terbanting lagi ke kiri dan ke kanan.
Di luar dugaan, Ki Harwati ternyata mengalami musibah banjir sungai Selawi, lebih hebat lagi dan yang dialami oleh Ki Rotan. Dia selama dua hari satu malam terombang - ambing dihempaskan arus sungai Selawi, karena kesalahan menempuh jalan setelah dia pergi meninggalkan Ki Senik menuju mudik. Dia yang merasa dirinya mampu meniti arus sungai, mendadak sontak diserbu oleh banjir raksasa dari arah hulu sungai itu.
Dikiranya mudah melawan arus mendadak. Dan dia hampir saja tanggelam hanya karena ular piransa yang membelit keningnya copot dari lilitan kepalanya. Dia lebih mengutamakan mencari ular sebesar telunjuk jari itu ketimbang berusaha menyelamatkan diri.
Dan seluruhnya berurusan dengan nasibmalang atau melintang. Dia tersangkut pada akar pohon gading hijau yang akarnya mencengkeram sungai. Lalu tak bisa lepas lagi seperti masuk perangkap. Ketika itu pulalah, setelah beberapa jam dalam perangkap akar tanpa daya, dia melihat satu sosok terlempar membentur batu tebing ke kiri dan ke kanan. Ki Harwati berteriak: “Tolong .....! Tolong!”.
Ki Rotan segera mencoba mengendalikan diri dari hempasan arus sungai Selawi yang mengamuk itu, menuju suara minta tolong itu. Usahanya berhasil. Dan dia tercengang ketika memegang akar pohon gading hijau yang sepertinya memenjarakan Ki Harwati.
“Ki Rotan, tolong cabut pedangku, dan tebaslah akar pohon gading hijau ini!”, ujar Ki Harwati dengan nafas terengah mau manyerah.
“Aku bisa saja mengeluarkan kamu dari penjara musibah ini. Tapi kau harus bersedia bersamaku mencari Lembah Tujuh Bidadari”, kata Ki Rotan.
“Kini, bahkan diriku sendiri pun seutuhnya kusediakan memberinya pada tuan, tidak menolak lagi seperti dulu, asal saya terlepas dari cengkeraman akar pohon gading hijau ini. Tolong cabutkan pedang saktiku ini, tuan Guru”.
“Baik, baik, Jika kau langgar janjimu, kau akan celaka”, kata Ki Rotan.
Dengan susah payah, Ki Rotan berusaha mencabut pedang Turki itu dari sarangnya yang terjepit di pinggang Ki Harwati. Tetapi rupanya mencabut pedang sakti begitu tidak semudah mencabut pisau di pinggang tukang mangga.
Begitu semangatnya Ki Rotan berusaha untuk mencabut, sementara Ki Harwati pun sudah meronta-ronta dengan lebih bersemangat untuk membebaskan diri, segera setelah ..... pedang itu tercabut maka bergemuruhlah air yang mendadak datang dari arah hulu, banjir yang lebih besar sehingga pohon gading hijau di tepi tebing itu tumbang.
Satu kilatan kelihatan, yakni kilatan mata pedang yang terpelanting entah ke mana.
Sementara itu pula Ki Harwati terseret bersama-sama akar pohon yang hanyut menuju hilir, disertai oleh suara gegap gempita. Ki Rotan sendiri lebih mengutamakan keselamatan dirinya daripada dia sendiri tenggelam.
Dia terseret labih cepat ketimbang Ki Harwati yang masih terkena cengkeraman akar pohon raksasa itu. Tapi dalam berusaha menyelamatkan nyawanya, Ki Harwati pun dapat membebaskan dirinya dari cengkeraman akar. Hanya karena suatu kebetulan pohon itu membelintang dan Ki Harwati tetap diseret arus lalu lepas. Dia berenang kian kemari untuk mencari keselamatan. Sampai akhirnya dia melihat tangan menggapai-gapai di tengah sungai lebih kehilirsana , tak lain tangan Ki Rotan yang mohon pertolongan.
Banjir sungai Selawi yang bentuknya bagai lingkaran ular itu, telah menantikan nasib dua pendekar lain jenis ini berkali-kali saling tolong menolong. Dan kedua-duanya berhasil selamat dengan saling berpegangan sewaktu arus menyeret mereka ke cabang sungai yang ke kiri. Ketika itu hari senja, sewaktu Ki Harwati tanpa sengaja berseru: “Lihatlah pelangi di langit itu! Aku sudah mnemukan tempat yang mesti dituju!”
Tampak memang Bukit Segundul sebagai petunjuk di sebelah Bukit Api. Di belahannya itulah Lembah Tujuh Bidadari. Namun dalam kegembiraan itu Ki Harwati menyesali: “Sayang senjata saktiku dua-duanya lenyap karena musibah ini”.
“Jangan berdukacita, Guru Muda. Saya siap mengawal tuan untuk sampai ke tempat itu. Bukankah yang tuan maksud, di tempat lengkung pelangi jatuh itu terletak Lembah Tujuh Bidadari, dan disana pula bersemayam Kitab Tujuh?”.
Ki Harwati terdongak kaget. Sebelum dia bertanya:”Jangan dikira hanya tuan Guru saja yang mengetahui rahasia itu. Istriku janda pendekar besar Ki Tunggal. Satu diantara kita akan menjadi pemilik Kitab Tujuh itu. Hal itu tak perlu anda rahasiakan lagi”, kata Ki Rotan, yang membuat Ki Harwati tambah melongo.
AKHIRNYA, Ki Harwati terpukau oleh ramalan - ramalan yang diucapkan Ki Rotan sehingga dia berkata: “Sekiranya aku ikuti apa yang dituturkan kakakku Gumara, mungkin segalanya dengan mudah aku petik”, lalu meneruskan langkah.
“Itu tetap saja sulit, karena satu pekerjaan besar lebih baik dilakukan dua orang daripada satu orang” ujar Ki Rotan yang sebenarnya menjiplak ucapan Ki Senik.
Mereka melanjutkan langkah sembari terus bicara.
“Bagaimana caranya?”, tanya Ki Harwati.
“Bukankah kau berjanji akan menyerahkan dirimu seutuh tubuhmu jika kau selamat dari bencana sungai Selawi?” usik Ki Rotan.
“Itulah kelemahan tuan, Tuan Guru”, kata Ki Harwati.
“Dan kelemahanmu aku tahu pula. Kau pendekar serakah. Kau yakinilah, bahwa bukan kamu yang akan mendapatkan Kitab Tujuh itu”, kata Ki Rotan.
Mendengar ucapan itu, langkah Ki Harwati terhenti.
Ki Rotan merasa terancam bahaya jika Ki Harwati mengamuk. Lalu dia merasa butuh teman dan ditempuhnya cara bijaksana dan damai.
“Kita dari dulu selalu berkait dengan hutang budi. Jangan sampai kau tersinggung oleh ucapanku. Perjalanan kita masih jauh, setidaknya turun naik jurang sebanyak lekukan enam kali lagi. Mari kita tidak bicara sepatah kata pun. Kita menuju jatuhnya pelangi sekarang...”
Dan alangkah terkejutnya Ki Harwati maupun Ki Rotan, sebab warna lengkung pelangi itu hilang seketika itu juga, kendati gerimis dan cahaya matahari masih ada.
Keduanya kehilangan pedoman, saling bertanya: “Di mana kita?” Ki Rotan melihat satu jalan lurus. Ki Harwati juga melihat jalan lurus itu. Keduanya kehilangan akal, sampai muncul seseorang dari balik sebuah bukit ilalang. Orang itu melangkah bagaikan orang mabuk, dari arah Bukit Anggun.
Ketawanya membelah angkasa, langkahnya sempoyongan.
“Kalian berdua tentu tak lupa siapa saya”, kata orang itu.
“Ki Dasa Laksana!” seru Ki Harwati serentak dengan Ki Rotan.
“Kalian berdua tersesat. Dan butuh aku tentunya”, kata Ki Dasa Laksana.
“Betul, kau penolong kami”, kata Ki Harwati. “Jangan tuan guru muda”, kata Ki Rotan memperingatkan, “Janda Ki Tunggal yang aku kawini sudah meyakinkan diriku, bahwa ilmu Ki Dasa ini adalah ilmu Setan dengan iblis sebagai Penghulunya.
Jika kita dengar apa yang diucapkannya, kita malah tidak mendapatkan apa yang kita cari”.
“Aku potong pembicaraanmu, tikus tua bangka! Aku tahu apa yang kalian cari.
Bersambung...