Sebelumnya...
Tapi, risaunya bangkit lagi ketika Lambada orang utas yang tangannya dibuntungi sembari dititip pesan: Bahwa penduduk Kumayan akan dihabisi. Tak jelas pula suami isteri Lambada orang utas siapa pengancam itu. Tapi dia sudah dibuntungi sedikit menciptakan keyakinan, bahwa pengancam itu menganut Ilmu Iblis.
Kini, Guru Gumara sudah kembali. Harapan Ki Putih Kelabu mulai bersemai di hati.
Begitupun Ki Lading Ganda setelah mendapat kabar dari Guru Alif, sedikitnya merasa terhibur.
Tapi Ki Lading Ganda maupun Ki Putih Kelabu, pagi hari ketika mendatangi Guru Gumara lantas kecewa.
“Tuan adalah Harimau Ketujuh, pendekar pelengkap. Anda yang membuat enam harimau bersatu, dan anda adalah Yang Ketujuh”, ujar Ki Lading Ganda.
“Saya manusia biasa. Saya kesini akan kembali jadi guru biasa, guru sekolah. Jangan sebutkan diriku Harimau Ketujuh julukan itu terlalu berat bagiku”.
Sungguh, kerendahan hati yang menjengkelkan dua guru yang datang. Tiga pendekar harimau yang lain sudah tak bersedia datang karena berpendapat bahwa Gumara dirasakan amat angkuh.
“Jadi anda tetap tidak bersedia jika desa Kumayan akan diobrak-abrrk pengacau?”
“Desa inikan tersedia sarana keamanan?” kata Gumara.
“Memang sekiranya perampok, maling dan pemberontak yang datang ke sini, polisi kira-kira cukup untuk mengatasinya. Tapi saat ini desa kita justru mau dikacau oleh pemilik ilmu Hitam, ilmu iblis? Kita semua ini, yang merasa diri memiliki ilmu Putih harus turun tangan lebih dulu”.
“Saya rasa semua itu baru gertak sambal”, ujar Gumara.
“Ha?” Ki Lading Ganda terdongak.
“Mau bukti?” tanya Ki Putih Kelabu sedikit geram. “Nah, kalau tuan mau bukti, panggil sebelas remaja di luar itu, dan juga Lambada yang sudah dibuntungi! Ayoh panggil kesini tuan Khatib!” serunya.
Tuan Khatib memanggil sebelas anak bertangan buntung.
Ketika dilihatnya Lambada si orang utas, dia pun dipanggil Khatib: “Kamu juga, orang utas”.
Sebelas remaja, dan satu orang utas, dihadapkan pada Gumara. Gumara hanya diam.
Tapi kendati wajahnya tak ada reaksi, namun keringat yang bermanik-manik dikeningnya itu adalah bukti terperangahnya dia. Dia diam membisu, kemudian berkata:
“Aku menyatakan duka dan prihatin atas dibuntunginya lengan adik-adik tak berdosa ini. Mau pun anda, orang utas Lambada. Tapi siapa di antara kalian yang jadi korban ini yang mengetahui pelaku kekejaman ini?”
“Seorang lelaki”, ujar anak buntung.
“Dan kau?”
“Juga seorang lelaki”, kata Lambada, “Cuma saya segan untuk menambahkan carita ini”.
“Katakan saja padaku”, kata Gumara.
“Soalnya dia ada pertalian darah dengan Guru yang dimuliakan di sini, yakni Tuan Guru Karat yang sudah meninggal”, kata orang utas itu.Gumara terdongak. Terbayang olehnya Harwati, adik tirinya. Dia jadi malu oleh keterangan ini, berdiri tegak dan berkata tenang: “Dia yang dimaksud adalah saudara satu darah denganku. Lain Ibu.
Aku meninggalkan Kumayan karena ingin meluruskan jalan ilmunya. Lalu apakah adik perempuanku itu yang memotong dengan Pedang Turki itu?”
ORANG UTAS yang digelari Lambada itu menggelengkan kepala. Hal ini membuat semua orang terheran-heran. Gumara lalu mendesak: “Jadi siapa yang memotong lengan anda.
Lambada?”
“Lelaki itu!”
“Bukun Ki Harwati dengan pedang Turkinya?”
“Wanita itu tidak punya senjata. Apalagi pedang. Yang memegang golok panjang adalah lelaki itu.”, ujar Lambada.
“Ceritakan pada kami siapa lelaki itu!”
“Tak dia sebut namanya. Saya dipanggil, ditanyakan, lalu dipotong. Dia sepertinya orang gila”, kata Lambada.
“Ini tentu Dasa Laksana”, ujar Gumara.
“Betul, itulah orang menyebut namanya di desa Anggun waktu kami disekap”, kata beberapa anak buntung “Adayang lain?” tanya Gumara.
“Adalagi satu lelaki tua, agak bongkok” Gumara lalu ingat Ki Rotan.
“Baiklah, kini aku tahu bahwa komplotan ilmu Hitam ini adalah Dasa Laksana yang menjadi biang keladinya. Jika adikku sudah tidak memegang senjata sakti Ki Turki itu, ini berarti dia tak memiliki daya apa-apa lagi namun Gumara bertanya sekali lagi pada orang utas itu: “Tuan tidak melihat ada ular Piransa membelit di kening wanita itu?”
“Hanya rambut terjurai, tidak ada apa - apanya”, kata Lambada.
Ki Lading Ganda yang tidak sabar lagi lalu berkata pada Gumara: “Tuan Guru Ketujuh, sekiranya hati tuan tak tergerak, mulut tuan membisu, maka tuan termasuk orang yang tidak berperasaan”.
“Hanya karena adik saya terlibat ya?” tanya Gumara kesal.
“Hanya karena mata tuan buta atas sebelah tangan remaja yang tak berguna lagi, dan satu tangan lelaki utas yang awam yang sudah dikorbankan gerombolan adik tiri tuan”, kata Lading Ganda.
Gumara diam. Dia tutupi mukanya entah karena malu.
Tapi kemudian berkata pada yang hadir: “Pulanglah kalian semua ke rumah masing-masing dengan jiwa damai dan berserah pada takdir Tuhan”.
“Kami tak mau!” ujar seorang ibu, “Anakku sudah buntung!”
“Tapi ibu musti tahu, bukanlah saya yang membuntungi tangan putera ibu”.
“Kalau begitu tuan pengecut!” kata ibu itu.
Gumara tak merasa perlu menjawab. Dia lalu duduk kembali. Tinjunya dia kepal.
Sementara itu, dimulai oleh Ki Putih Kelabu yang menyatakan pamit, disusul oleh Ki Lading Ganda, lalu satu demi satu penduduk yang berkumpul di pekarangan rumah Gumara yang kini jadi rumah Guru Alif itu, berangkat pergi meninggalka Gumara.
Tapi masih ada lagi tiga orang ibu yang tidak bersedia pergi. Satu orang di antaranya minta izin bicara. Gumara pun mempersilahkan.
“Saya bukan ibu dari anak yang sebelas. Saya ini ibu anak lelaki Talago biru yang menurut cerita temannya yang lain sudah dipotong tangannya oleh komplotan adik tiri tuan. Dari Ki Putih Kelabu saya sudah diberi jaminan, anakku akan diajari ilmu oleh puteri Pita Loka untuk menuntut bela atas kehormatannya. Kini saya ini wanita, janda, tak punya ilmu dan keberanian. Kalau saya sudah menyatakan kebulatan tekad membela negeri ini dihadapan Ki Putih Kelabu dan Ki Ganda, bagaimana tekad tuan? Saya ingin dengar!”
Gumara menyahut singkat: “Saya hormat pada ibu!”
“Tuan tak usah menghormati saya. Lebih baik kambing yang menyatakan hormatnya kepadaku! yang saya ingin dengar sikap tuan!”
“Ibu tak usah mendengarnya. Buat apa saya bicara sekarang, karena nilainya hanyalah angjn, tanpa bukti nyata”, ujar Gumara.
“Mulut tuan cukup bebal. Saya meragukan cerita orang, bahwa tuan ini mewarisi titisan darah Ki Karat yang kami agungkan. Kami juga meragukan jaminan Ki Lading Ganda, bahwa tuan inilah Harimau Ketujuh di Kumayan ini, satu-satunya benteng utama negeri ini dari serangan musuh. Saya kira, tuan memang punya sedikit perasaan. Tapi karena adik tuan yang genit itu, Ki Harwati yang sudah bartekuk lutut pada ilmu Setan, maka pendirian tuan jadi bimbang”.
Gumara diam saja. Telinganya bagai terbakar. Tapi dia dapat mengendalikan kesabarannya!
Malamnya ketika ditawari makan, Gumara berkata pada guru Alif: “Aku malu menikmati hasil ladang penduduk sini. Aku akan pergi cari angin ke luar”.
Gumara rupanya secara rahasia menuju Bukit Kumayan.
Di tengah “paku” Bukit Kumayan itu dia duduk bersila.
Air matanya bercucuran.
SUNYI alam sekeliling. Burung-burung hantu yang biasanya berdekuk, kelihatannya enggan bersuara.
Juga jangkrik-jangkrik maupun kodok bangkong, enggan untuk memecah kesunyian tengah malam itu.
Kadang terdengar deru angin, tapi saat ini angin pun seakan enggan berderu.
Cemara-cemara yang susun bersusun di tepi bukit tidak bergoyang pertanda tak ada angin.
Tetapi Gumara mendadak menghentikan tangisnya. Ketika telinganya mendengar sejarak tiga ratus langkah di selatan sepertinya ada orang mendekat. Telinganya jadi tambah tajam ketika dia mendengar bunyi logam bergeser. Lalu hatinya berdetak: “Ini tentulah Lading Ganda. Dialah pemilik satu pedang yang jika dicabut menjadi dua pedang”.
Firasatnya timbul. Lading Ganda akan datang untuk menghabisi jiwanya. Kini berdasarkan ketajaman indera keenamnya, pendengarannya diberitahu bahwa langkah itu semakin dekat, tinggal sekira 100 langkah lagi.
Benar, langkah itu cukup cepat untuk menjadi dua puluh satu langkah lagi dari jarak duduk Gumara, lalu berhenti. Gumara membelakang. Dia mendengar suara logam beradu, senjata Ki Lading Ganda.
“Tuan, aku datang untuk menghabisi diri tuan”, terdengar suara. Gumara menghembuskan nafas panjang, amat lama, seakan-akan mengeluarkan semua hawa dalam dirinya. Sedang ketika dia menghelanya lagi, pendek saja, dan hembusannya panjang lagi, hingga menggoyangkan daun-daun kaca piring yang berumpun sekitar 10 langkah dari duduknya.
“Tuan, dulu saya berminat mengambilmu mantu. Juga Ki Putih Kelabu. Tapi kedatanganku di sini atas izin Ki Putih Kelabu maupun tiga harimau lainnya. Kami berlima sudah mengucapkan ikrar, bahwa tuan itu manusia tak berguna di Kumayan Ini.
Hewan masih lebih berguna dari tuan. Jadi aku diutus untuk menghabisi tuan”.
Gumara tak bergerak sedikitpun. Juga ketika Ki Lading Ganda sudah memulai dengan bunga persilatan, termasuk tempelan kependekaran yang sudah diisikan oleh empat pendekar lainnya. Jadi Ki Lading Ganda sudah berisikanlima jenis persilatan dalam satu diri !
Gumara hanya bergerak sedikit sewaktu satu sabetan lading keramat mau menebas kapalanya, yaitu gerakan menunduk. Angin dari dua ujung kaki pendekar bergolok itu sempat mendesing di kedua telinga Gumara. Lalu Gumara melihat dua logam tajam berkilau serentak terayun ke arah dirinya, tetapi sebelum membelah kepalanya,
Gumara cuma berguling menghindar perlahan. Akibatnya satu tendangan manyamping mengenai bahunya.
Tendangan Ki Lading Ganda itu sedemikian kerasnya, sampai melemparkan tubuh Gumara yang tadinya membulat, membentur dua pohon cemara, dan membuat pohon cemara itu terpotong dua-duanya bagai digergaji rata.
Bersambung...