Sebelumnya...
BELUM habislima pendekar menyaksikan pelajaran itu, mereka semua menoleh ke arah suara seorang perempuan minta tolong.
Perempuan itu dengan histeris memegang tubuh Ki Lading Ganda yang dia kenal jagoan; “Tuan guru! Kumayan mandi darah ! banyak orang dibunuh oleh pendekar sinting!”
Ki Putih Kelabu kalap, dan menoleh ke pancuran di bawah situ.
Ki Lading Ganda malah memanggil ke bawah: “Gumara, bantulah kami!” Tapi guru yang tiga lagi justru melihat Gumara sudah tak berada di Pancuran Mayang sembari tercengang heran.
Ya, dia sudah melakukan sebelas lompatan ke atas tanpa diketahui oleh lima pendekar itu, dan kini berhadepan dengan seorang pendekar yang mempermainkan goloknya, seorang wanita berambut sarang laba-laba yang tak lain Harwati yang ketawa cekikikan melulu, dan ... Ki Rotan Sebenarnya baru tiga orang menggelimpang membasahi tanah Kumayan. Mereka terkena golok liar Ki Dasa laksana yang masih menari dengan goloknya.
Gumara dalam sekelebatan seakan bagai seekor bangau yang mengibaskan telapak-tangannya ketika golok itu akan menyabet lehernya. Golok itu membal, lalu mata golok itu menghantam tangan Dasa Laksana. Darah manyembur dari pergelangan tangan pendekar sinting itu, dan dia berteriak Mendengar teriak itulah Ki Rotan bangkit dengan kemarahan hebat, menghambur dengan kedua kaki menjepit leher Gumara.
Gumara cuma mengangguk sedikit, tapi tubuh Ki Rotan dan jepitan kakinya berbalik lepas, terlempar sekitar sepertiga lapangan bola.
Detik itulah Gumara mencengkeram tubuh Ki Harwati yang menjerit histeris, dan berkata: “Ingat siapa dirimu!”
Ki Harwati menguakkan dua tangannya, lalu mundur membuka kuda-kuda. Dengan ayunan kaki ke kiri sekali, lalu kaki kanannya menguak lebar dari tubuhnya menerobos bagaikan seekor buaya menyarang dari bawah. Gumara terkena sabetan kaki adik tirinya itu bagaikan manusia terkena sabetan ekor buaya.
Gumara melompat dangan dua tangan mengincar belahan mulut Harwati, ibaratnya pawang buaya menaklukkan buaya. Kendati kaki Harwti berkelabat bagai ekor buaya menyabet, namun mulutnya sudah dikuak seakan-akan merusak pernafasan. Waktu itulah Ki Rotan menyabet tangan tongkatnya, tapi Gumara sudah menangkis sabetan itu dengan memiringkan tubuh dan tongkat itu terlempar kena telapak kaki Gumara.
Ki Harwati pingsan.
Ki Dasa Laksana yang masih melintir bergulingan di tanah menahankan nyeri tangan kirinya yang hampir buntung itu, begitu melihat Ki Harwati pingsan, lalu melarikan diri.
Tapi di mulut jalan sudah muncullima pendekar utama Kumayan, yang ingin menangkap musuhnya itu hidup-hidup. Melihat keadaannya terkepung, Ki Dasa Laksana menjatuhkan diri dengan kata-kata sembahan: “Aku menyerah. Aku akan segera menyingkir!”
Ki Lading Ganda tidak sabaran lagi, lalu dia berkelebat maju satu langkah, mencabut goloknya yang ampuh, dan golok itu menjadi kembar. Dia tancapkan golok kanannya tepat di tangan kiri Dasa Laksana yang baru akan berdiri sembari acukan tangan.
Lunaslah tangan kirinya dalam keadaan buntung total. Tetapi dia sempat menyerempet lepas dari kepungan setelah terkena satu tendangan menyamping yang dihantamkan Ki Putih Kelabu, sehingga dia terlempar sejauh 44 depa dan menabrak satu pohon pinang yang roboh seketika.
Buah pinang yang lepas dari jurai mengenai kepala Ki Dasa Laksana, yang justru mengisi kekuatan baru bagi pendekar sinting ini.
Dengan tangan buntung satu, dia berubah menjadi menggila. Dia membabi buta menyerang siapa saja yang berdiri. Seorang anak kecil terpekik lalu tubuhnya menabrak dinding rumah. Dinding itu hancur dan anak itu mati, ibunya menjerit. Ya ... Dasa Laksana mengamuk bagai seekor babi yang buta. Dia membabi buta menggasak tubuh Gumara tetapi cuma kena srempetannya saja sebab Gumara mengelak sembari mengelak pula menangkis pukulan gandengan tinju sekeras batu yang dilampiaskan Harwati. Tinju Harwati mengenai batu kilo meter, dan batu itu hancur bagai es kena palu pembelah.
Harwati bertambah semangat ketika dilihatnya Data Laksana dengan tangan buntung menyerang membabi buta, saking butanya serangannya mendongkak tubuh Ki Rotan yang mental ke udara. Tapi dia sempat sadar, sebab menjelang kakinya jatuh ke tanah, sempat menyabet leher Gumara, yang tunduk hingga Ki Rotan jumpalitan. Ki Lading Ganda kini masuk dengan penasaran.
Hanya kilatan goloknya saja yang tampak karena cepatnya permainan silatnya.
Tapi belum satupun pukulan goloknya yang tepat. Dua kepal daging paha Ki Rotan tercubit oleh golok, lalu Ki Rotan lari. Serasa hanya beberapa menit saja perkelahian itu seluruhnya, lalu ... sepi sekitar.
SUNGGUH dahsyat. Sungguh, jika dilihat begitu banyaknya debu sekeliling lapangan perkelahian yang barusan berlalu .... dan bagaimana begitu lama debu itu turun, itulah bukti nyata. Betapa lama dahsyatnya pertempuran yang barusan berlalu.
Kependekaran kadang - kadang disertai kelicikan juga.
Tapi Gumara tidaklah kaget seperti kagetnya Ki Lading Ganda sewaktu usai perkelahian tidak menyaksikan bagaimana caranya Ki Harwati, Ki Rotan dan Dasa Laksana melarikan diri.
Limapendekar itu semuanya cemas.
Tapi Gumara tidak. Dia seakan-akan sudah mengetahui kemana mereka itu melarikan diri.
“Kita akan tenteram selama 100 hari”, ujarnya. Ki Putih Kelabu yang paling yakin pada ucapan Gumara.
Dia mendekati pendekar yang teramat tenang itu, dan bertanya “Apakah ramalan anda ini didapat dari mimpi?”
“Ya” sahut Gumara.
“Kalau begitu saya tambah yakin, Ki Guru berkata benar, bahwa dalam kurun waktu 100 hari desa Kumayan akan tenteram. Sebetulnya saya ingin bicara empat mata saja dengan Ki Gumara”, ujar Ki Putih Kelabu.
Ki Lading Ganda cepat memotong: “Jika demikian saya akan mengundurkan diri bersama teman-teman. Oh ya, saya minta maaf atas kelancangan saya pada Tuan Guru Muda Gumara”.
Mereka berpelukan. Setelah Ki Lading Ganda pergi, Ki Putih Kelabu berkata pada Gumara: “Tuan Guru. Saya ingin mengundang anda makan malam di rumah saya.
Itulah yang akan saya sampaikan empat mata”.
“Baik. Pak. Saya akan datang setelah mahgrib”, ujar Gumara.
Gumara lalu pamitan, dan dia melangkah menuju sekolah SMP, bekas tempat dia mengajar. Di sekolah itu, tiada lagi bekas muridnya. Gumara mengetuk pintu ruang Dewan Guru, dan beberapa orang guru lama yang dia kenal menyambutnya. Tapi tidak ada seorang pun yang menanyakan soal kepergiannya yang misterius. Dan tidak pula ada yang berbasa basi kepadanya untuk kembali mengajar di SMP itu.
Karena itu Gumara pula yang memulai: “Saya rindu berdiri di depan kelas kembali.
Permohonan saya untuk mengajar, belum saya ajukan. Tapi apakah Kanwil disini kira-kira bersedia menerima saya kembali?”
Menyela Direktur SMP Kumayan: “Sebaiknya melamar mengajar matematika di SMA saja, yang baru akan diresmikan tak lama lagi”.
“Sepertinya akan sulit. Kepergian saya tanpa izin. Tapi keinginan saya yang sesungguhnya justru mengajar di SMP ini. Apa Pak Direktur punya salinan berkas saya diberhentikan?”
“Sabaiknya ditanyakan pada Pak Kakanwil. Beliau lebih tahu”, kata Pak Direktur.
Lalu Gumara pamit dengan sopan. Diluar dugaan, di kantor Kanwil dia disambut hangat. Namun bukan sebagai guru SMP. Dia disambut karena sudah tersiar berita dari mulut ke mulut, bahwa dekat lapangan Bukit Kumayan barusan saja Guru Gumara menumpas pengacau.
“Itu soal kebetulan, Pak Kakanwil”, ujar Gumara, “Setiap munculnya kekacauan, pasti akan muncul pula orang yang menertibkannya. Yang saya urus sekarang ini ke sini, soal status saya sebagai guru SMP Kumayan. Apakah saya sudah dipecat?”
“Saya sulit melindungi anda, Pak Gumara. Soalnya pemberhentian anda itu karena kurangnya anda menegakkan displin guru. Tiga Tahun lebih tanpa memberitahu anda ke mana, cukup merepotkan kami membela anda ketika Inspektur SMP datang ke Kumayan ini melakukan inspeksi, jadi posisi saya pun sulit”.
Mendadak muncul seorang anak muda buntung, tangan menyerobot masuk: “Guru Gumara ada di sini, Pak?”
“Saya Guru Gumara. Adik perlu apa?”
“Orang bilang, keadaan desa Kumayan akan tenteram 100 hari Apa betul itu, Pak?”
tanya anak buntung itu. Gumara lebih tertarik melihat tangan buntung itu. Diraihnya bahu anak itu, dielusnya tangan butung itu. Dan bertanya: “Musibah apa yang menyebabkan tanganmu begini?”
“Kami semuanya 17 orang mengalami musibah “, kata anak itu.
“Siapa namamu?”
“Makara, Pak”.
“Mana temanmu yang 16 orang lagi?” tanya Gumara.
“Kami yang kembali ke Kumayan cuma 11 orang”, kata Makara.
“Lalu yang enam lagi kemana ? “ tanya Gumara.
“Mereka diajak oleh puteri Ki Putih Kelabu entah ke mana, Pak!”
GUMARA lalu menepuk bahu Makara dan berkata; “Kamu beruntung pulang ke Kumayan.
Jadi bisa melanjutkan sekolah. Masih sekolahkan ?”
“Masih, Pak Tapi sekarang menulis dangan tangan kiri karena buntung. Tapi kami 11 orang dianggap jagoan di Kumayan ini, Pak”
“Ingatlah, jagoan hari ini belum tentu jagoan esok hari. Karena mungkin besok akan ada jagoan yang lebih jago. Tapi sejago-jago ayam jago, masih kalah dengan ayam betina. Ayam jago hanya menyumbangkan dagingnya, tapi ayam betina menyumbangkan dagingnya dan telur-telurnya bagi manusia. Nah, jangan kamu pikirkan lagi soal desa Kumayan. Dan jangan sekali-kali menganggap aku ini jagoan”
Bersambung...