Sebelumnya...
Tetapi anak itu puas karena telah bertemu dengan seorang “pahlawan Kumayan” yang sudah jadi cerita dari mulut ke mulut sebab sudah mengusir tiga pengacau.
Tapi hari itu sampai magrib Gumara diliputi perenungan. Tentu tidak lain dia merenungi nasib Pita Loka yang pasti sebentar lagi akan ditanya oleh Ki Putih Kelabu.
Ketika dia memasuki rumah Ki Putih Kelabu, dia merasakan ada satu tenaga, yang mirip kekuatan magnit. Di cobanya melayani tenaga itu dengan perlawanan nafas, tapi rasanya kekuatannya jauh besar. Langkah Gumara dirasanya berat sewaktu masuk ke ruang tamu.
Ki Putih Kelabu belum nampak. Tapi dia sudah yakin, bahwa kekuatan magnit tadi bukannya dikirimkan oleh Ki Putih Kelabu. Orangtua itu bukan guru yang jahat yang punya kesukaan mencoba–cobakan.
Begitu Ki Putih Kelabu muncul, Gumara sudah duduk bersila di lantai yang dilapisi tikar rotan Bugis.
“Apa yang tuan rasakan saat ini?” tanya Ki Putih Kelabu. Gumara hanya diam saja, sebab dia sedang melayani semacam serangan gaib entah dari mana.
“Apa tuan merasa ada kelainan?” tanya Ki Putih Kelabu. Gumara cuma mengangguk.
Dia tidak akan bicara. Sebelum jelas siapa ssbenarnya di balik serangan berkekuatan magnit ini.
“Kalau begitu, apa yang anda rasakan tentu saya rasakan juga. Rasanya tengkuk saya ini berat sekarang”. Ujar Ki Putih Kelabu dan lalu bertanya pada Gumara: “Anda juga merasakan tengkuk berat?”
Gumara mengangguk. Lalu Ki Putih Kelabu bertanya lagi: “Adasemacam bau wangi?”
Juga Gumara mengangguk.
“Apa guru mau pindah tempat duduk?” tanya Ki Putih Kelabu seraya menunjuk ke tempat dimaksud. Yaitu tempat yang menghadap ke pintu. Gumara menggelengkan kepala, menolak.
“Tadi langkah kaki saya berat sekali, seperti digantung besi”, ujar Ki Putih Kelabu, lalu bertanya: “Anda juga merasa begitu waktu masuk ke sini?”
Gumara mengangguk.
“Wah. ini harus kita lawan”, kata Ki Putih Kelabu.
Gumara tidak memberi reaksi. Dia tiba-tiba merasa ada benda yang berat menghimpit kepalanya, sepertinya piring raksasa. Gumara mengatur pernafasan! Gumara mencoba memenuhi isi lambung dengan tarikan kepusar, dan kemudian manyalurkan gelombang udara itu merambat urat - urat darah ka atas, menuju ubun kepala. Ketika tiba di ubun kepala, Gumara seperti memompa ke luar udara gelombang tadi. Wajah Gumara bercucuran keringat.
Keringat itu semakin menderas. Ubun kepala Gumara seperti mendidih, Ki Putih Kelabu melihat asap atau uap yang mengepul di ubun kepala Gumara. Tiba-tiba tampak ada semacam kilat yang melesat dari kepala Gumara. Lalu loteng yang terbuat dari papan kepayau itupun berlobang.
Gumara waspada tidak menghentikan pangaturan nafasnya, ada gelombang di lambung bisa terus dihalau ke ubun kepala. Kelihatan lagi oleh Ki Putih Kelabu satu bundaran bagai kilat melesat. Bila benda itu membentur loteng kayu kepayau, tampak loteng itu berlubang.
Kini Gumara benar - benar bermandi keringat. Benda yang bertengger di ubun kepalanya itu terasa jauh lebih berat dari sebelumnya, sehingga tanpa disadari Gumara terpaksa minta bantuan ke dua belah lengannya. Tinju dia genggam. Tinju itu sejak ditaruh di dua dengkulnya sudah dicobanya berisi kekuatan pembantu. Kini, sembari bersila itu, Gumara mengumpulkan kekuatan pada dua ujung tinju itu. Tinju itu didorongnya ke depan, ke samping, ke bawah, dan kemudian dua tinju itu menghantam ke atas, tepat di depan batang hidungnya sendiri.
Tinju itu mengenai satu benda yang menciptakan bunyi logam, tapi logamnya tak tampak. Namun kilatan cahaya yang melesat ke loteng cukup tegas. Loteng itu hancur. Dan dalam keadaan bersila, mengepal tinju. Gumara menganggap serangan musuh tak dikenal itu sudah berakhir.
KI PUTIH KELABU yang selama terjadinya serangan tanpa raga itu begitu tegang, kini tampak tenang.
“Maaf, saya akan pamitan dulu”, ujar Gumara.
“Jangan, nak”.
“Sekali lagi, maaf”, ujar Gumara, dari bersila langsung berdiri.
“Saya ingin tahu siapa penyerang tadi?”
“Murid iblis”, kata Gumara.
Lalu dia memberi salam pada Ki Putih Kelabu, dengan cara penghormatan yang luar biasa hebatnya. Telapak tangannya dia tempel ke kening, lalu merendahkan kepala, lalu berlalu.
Dan telapak tangan yang menempel di kening itu baru dia lepas dari keningnya setelah dia tiba di pekarangan.
Jalan kecil menuju rumahnya lengang, Gumara melangkah dengan perlahan dan semakin perlahan. Sebab kakinya seperti diberati lagi. Gumara mencoba melangkah, semakin tebal rasanya tapak kakinya. Dan Gumara kini memutuskan untuk meladeni gangguan lawan, sekali lagi!
Dalam berdiri itu Gumara menggenggam dua tinjunya.
Lalu tinju itu dibuang kesamping kiri dan ke kanan. Dan bergantian, tinju kanan dan kiri menebah dada. Delapan kali debahan dada kiri dan kanan, Gumara tiba-tiba melihat satu lesatan sinar menuju ke arah mukanya, tapi cepat Gumara menangkisnya dengan dua tinjunya terhantamkan ke depan. Bunyi logam berdenting disertai kilatan sinar yang melesat berjumpalitan di udara. Di udara dia menjadi semacam kepulan asap ledakan.
Dan ketika mata kanan Gumara melihat ada sinar menyerang dari kanan, Gumara menangkisnya dengan tinju dan kedengaran bunyi logam disertai kilat melesat ke udara.
Lalu di udara tampak asap bagai kembang api pecah.
Lalu datang lagi serangan dari kiri. Bunyi logam membentur kedengaran tepat ketika tinju tangan kiri Gumara dia buang ke kiri.
Tanpa perduli dia kemudian meneruskan langkah yang ringan.
Sampailah dia di pekarangan rumah yang ditempati Alif. Begitu akan masuk pekarangan. belum lagi sampai di tangga, Gumara melihat sosok berdiri di hadapannya, dalam jarak tiga meter, seperti mencegat.
Sosok itu diam berdiri. Gumara pun mengambil posisi diam berdiri. Gumara mengepal tinju. Lawannya pun mengepal tinju. Gumara mengangkat dua tinjunya, lalu menebah tinju itu ke dada. Lawannya itu pun berbuat sama.
Gumara memekarkan tinjunya, lawannya pun demikian.
Jari-Jari mekar itu kemudian merambat dari paha, naik ke dada lalu dia buang ke depan.
Di sini lawannya pun melakukan hal sama. Bahkan ketika sama - sama membuang telapak tangan ke depan, dua telapak tangan itu seakan – akan hampir saling menempel.
Jarak dua telapak tangan yang hampir menempel itu hanya berjarak tiga centimeter saja.
Tapi apakah yang sedang terjadi?
Telapak tangan Gumara, maupun telapak tangan lawannya, sama-sama mengeluarkan keringat. Sama-sama keringat menetes. Bahkan kadang diseling oleh pijaran api.
Gumara masih barada dalam hembusan satu helai nafas yang secara berangsur dikeluarkannya sedikit - sedikit Dia hematkan energi untuk mengangsur satu nafas itu agar tidak terlanjur terhambur. Wajah Gumara mulai mandi sinar kehijauan karena percikan keringat.
Begitupun lawannya. Sehingga makin lama semakin jelas siapakah lawannya itu.
Lama kelamaan wajah itu berupa wajah Ki Karat, ayah kandungnya sendiri. Tapi Gumara tidak tergoda untuk berseru setelah mengenal wajah itu, sebab dia kuatir itu cumalah godaan belaka.
Dia terus mengontrol nafasnya, yang tiap per 1000 detik adalah pancaran kekuatan cahaya. Gumara tahu,dirinya dipenuhi mega elektro magnetik, yang demikian dahsyatnya, yang jika ditempelkan neon sekian ribu watt maka cahayanya akan menerangi seluruh desa Kumayan.
Bersambung...